Mengatasi Tragedy of The Commons…

Jum'at, 4 Juli 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
Kurang dari sebulan lagi kita akan kembali menyaksikan tragedy of the commons tahunan di negeri ini, yaitu ketika mayoritas penduduk kota besar memutuskan pulang kampung bareng. Hal yang baik untuk dilakukan orang per orang, tetapi ketika (hampir) semua orang melakukannya – menimbulkan masalah besar berupa kemacetan lalu lintas yang luar biasa. Problem ekonomi pada umumnya timbul juga karena tragedy of the commons ini.


Semua orang tentu pingin memiliki tempat tinggal yang dekat dengan kantor atau pabrik tempatnya bekerja, dampaknya adalah tanah di perkotaan harganya selangit, terjadi kekumuhan di kota, udara menjadi tidak sehat, sumber air bersih terganggu dan berbagai masalah sosial yang muncul karenanya.

Setiap hari kita juga menyaksikan tragedy of the commons di jalan- jalan raya, semua orang pingin cepat sampai ke kantor atau pulang ke rumahnya. Dampaknya justru mayoritasnya telat karena kemacetan yang semakin bertambah parah.

Lantas bagaimana mengatasi masalah seperti ini ?, cara idealnya adalah membangun masyarakat mulia yang sebagiannya bisa saling mengalah atau berkorban. Sebagian memutuskan tidak pulang kampung setiap lebaran – agar yang lain bisa pulang kampung dengan nyaman. Sebagian memutuskan untuk tidak bekerja di kota-kota besar, agar yang memang perlu bekerja di kota-kota besar dapat melakukannya secara lebih manusiawi.

Tetapi yang ideal seperti ini kan tidak terjadi dengan sendirinya di masyarakat, harus ada yang memulai sedikit demi sedikit akhirnya mencapai tipping point – meluas secara cepat di masyarakat. Tetapi siapa yang mau memulai ini ? dan bagaimana mekanismenya agar bisa meluas ?

Itulah yang sedang kita coba lakukan di iGrow Project – yaitu project Ramadhan kami bersama team anak-anak muda kreatif dari Badr Interactive. Intinya project ini adalah initiative untuk menghindari tragedy of the commons di bidang lingkungan dan masa depan kehidupan.

Ketika tanah untuk tempat tinggal semakin langka dan mahal, orang akan cenderung mengoptimalkan tanah-tanah yang ada untuk bangunan – baik itu untuk rumah, kantor, pabrik dlsb. Ini menjadi pilihan orang per orang karena rumah lebih cepat bisa dinikmati, kantor dan pabrik lebih cepat untuk memutar uang dlsb.

Dampaknya nyaris tidak ada yang menanam pohon, karena tanah yang ditanami pohon – tidak secara langsung bisa dinikmati oleh pemiliknya. Kalau toh bisa dinikmati setelah menunggu sekian lama, hasilnya tidak seberapa bila dibandingkan dengan tanah untuk perumahan dan sejenisnya.

Lantas bagaimana orang bisa kembali rame-rame mau menanam pohon secara massive di tanah-tanah yang masih tersisa ? harus ada yang mulai mengajak-ajak dan memberi insentif sehingga orang mau melakukannya. Tetapi siapa yang akan memberi insentif ini ?

Itulah proses kreatif yang sekarang sedang kita kerjakan. Nantinya insentif itu datang dari masyarakat yang saling menjamin, masyarakat yang kita ajak untuk bergabung dalam iGrow project ini.

Dengan konsep saling menjamin ini misalnya pemilik lahan di puncak-Bogor tidak harus menjual tanahnya ke orang Jakarta yang kemudian menjadikannya villa. Dia cukup menjadikan lahannya untuk menanam berbagai pohon buah, dia sudah akan memperoleh insentif yang tidak kalah menariknya dengan menjual lahan untuk dijadikan villa.

Insentif itu datang dari para sponsor yang membiayai pohon-pohon yang ditanam oleh si pemilik tanah tersebut. Kok mau para sponsor membiayai penanaman pohon-pohon ini ? apa insentif untuk mereka dan bagaimana mengetahui kalau pohon-pohon itu bener-bener ditanam ?

Insentif kepada para sponsor yaitu masyarakat luas seperti saya dan Anda adalah terjaganya lingkungan hidup dalam jangka panjang, tersedianya buah-buahan dan bahan pangan yang cukup hingga generasi mendatang, problem banjir tahunan Jakarta akan ada penyelesaiannya yang konkrit karena air dikelola dengan baik hingga ke hulu, dan bahkan bisa juga insentif bagi hasil setelah pohon berbuah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar