Bertani Di Awan

Kamis, 9 Oktober 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Pada revolusi industri pertama (1700-an sampai pertengahan 1800-an) manusia berhasil meningkatkan produktifitas tenaga kerja secara berlipat-lipat dan sekitar 13 % penduduk dunia menjadi masyarakat industri.  Pada revolusi industri kedua (pertengahan 1800-an sampai akhir 1900-an) manusia berhasil melipatgandakan capital dan sekitar 16 % penduduk dunia menjadi masyarakat industri maju. Apa yang terjadi di revolusi industri ketiga dan dimana peluang kita ? 


Revolusi industri ketiga telah mulai akhir abad lalu dan kini tengah berlangsung, penggeraknya selain capital juga teknologi informasi khususnya internet seperti yang kita sedang gunakan ini. Tetapi teknologi internet saja belum cukup untuk mengatasi problem yang timbul yang terkait dengan kebutuhan dasar yang riil seperti pangan, air dan energi.

Dalam proses revolusi industri yang ketiga ini, sekitar 37 % penduduk dunia akan menjadi masyarakat industri – termasuk kita di dalamnya. Akan ada tambahan sekitar 2.5 milyar manusia tinggal di kota-kota dunia, menambah penduduk kota-kota dunia yang kini telah mencapai 1.5 milyar – menjadi 4.0 milyar.

Pertanyaannya adalah siapa yang akan memberi makan mereka, 4 milyar penduduk kota-kota dunia ini ? Maka akan terjadi perebutan-perebutan berat terhadap sumber-sumber pangan dunia , karena di tengah sumber daya alam yang menyusut  – khususnya tanah dan air untuk produksi pangan – penduduk kota yang semakin maju butuh makan yang jauh lebih banyak dan lebih baik.

Di Indonesia saja dalam 10 tahun kedepan (sekitar 2025) diprediksi 2/3 penduduknya akan tinggal di kota dan tinggal 1/3-nya di desa. Ketika penduduk kota dan desa kita berimbang sama 50/50 yang terjadi sekitar empat tahun lalu (2010), kita sudah begitu banyak mengandalkan sumber pangan kita dari negeri lain – apalagi nanti ketika manusia yang tinggal di kota menjadi jauh lebih banyak, siapa yang akan men-supply makan mereka ?

Supply dari negeri lain atau import ? saat itu belum tentu ada yang mau meng-ekspor makanannya karena negeri-negeri mereka sendiri juga sangat membutuhkannya. Mereka juga punya masalah yang sama dengan kita, yaitu jumlah penduduk kota yang jauh lebih besar yang terus perlu di-supply makanan – yang tentu saja tidak diproduksi di kota-kota !

Lantas bagaimana kita mengatasi masalah ini sekaligus menjadikannya peluang bagi kita untuk menjadi pemeran utama dalam revolusi industri ketiga ini ? Setelah kita meningkatkan keimanan kita dan menggunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajaran – kita memang dijanjikan oleh Allah akan menjadi umat yang tertinggi (QS 3:138-139), kita juga dijanjikanNya akan memimpin dunia bila kita beriman dan beramal shaleh (QS 24:55).

Maka kombinasi iman, takwa dan amal shaleh-lah yang akan menjadikan umat ini umat tertinggi dan berkuasa di dunia, termasuk di dalamnya untuk berperan penting dalam menggendalikan revolusi industri ketiga yang kini tengah berangsung.

Tetapi apa konkritnya yang bisa kita lakukan ?, peluang terbesar amal shaleh kita adalah mengatasi masalah yang dihadapi dunia tersebut di atas – 4 milyar – penduduk kota-kota dunia  yang perlu makan cukup dan baik – ini asumsinya bila yang di desa bisa mengelola sumber-sumber makanannya sendiri. Jumlahnya akan menjadi jauh lebih besar bila yang tinggal di desa ternyata juga (sebagiannya) tidak bisa mengelola makanannya sendiri.

Untuk produksi pangan ini kita mutlak memerlukan sumber daya alam khususnya tanah dan air, sementara dua sumber ini yang pasti tidak bisa bertambah menyesuaikan dengan tingkat kebutuhannya. Maka revolusi ketiga ini mengharuskan peningkatan berlipat ganda dari efektifitas penggunaan sumber daya alam tanah dan air. Konsep nyatanya antara lain seperti food forest atau hutan tanaman pangan seperti yang saya tulis sebelumnya “Memakmurkan Bumi, Dari Yang Kita Bisa”.

Tetapi masalahnya adalah mayoritas kita tidak memiliki lahan untuk mengimplementasikan konsep berkebun mengikuti petunjuk Al-Qur’an tersebut. Bagi yang punya lahan-pun belum tentu memiliki tenaga, pengalaman dan skills yang di perlukan untuk menggarapnya.

Para penduduk desa yang masih memiliki lahan tegalan-pun sulit menerapkan onsep tersebut karena disamping masalah skills, sebagian besarnya terkendala masalah modal atau capital – yang adanya terpusat di kota.

So what ? kita berhenti di sini ? ide-tinggal ide dan konsep Al-Qur’an yang begitu indah tidak sampai pada tingkat pengamalan kita ?  Tidak, kita semua harus sampai bisa bener-bener mengamalkannya.

Di jaman teknologi informasi ini, Anda yang membaca situs ini tidak tahu dimana saya menyimpan filenya, dimana server saya. Saya sendiri tidak tahu karena saya menggunakan teknologi cloud computing – dimana server saya terdiri dari sejumlah server di dunia maya yang dikelola oleh pihak ketiga.

Dengan konsep Resources As A Service (RAAS), saya tidak perlu membeli server (resource) saya sendiri, saya cukup menyewanya saja secara bulanan atau tahunan. Saya tidak perlu lagi mengeluarkan CAPEX (Capital Expenditures) untuk membeli server, gantinya saya hanya perlu mengeluarkan OPEX (Operational Expenses) bulanan atau tahunan untuk menyewa server sudah termasuk biaya tetek bengek-nya yang menyangkut pengelolaan server.

Dengan konsep RAAS yang kemudian antara lain menghasilkan istilah cloud computing ini, orang kebanyakan seperti saya – tidak lagi dipusingkan dengan pembelian dan pengelolaan server, pembelian software-software yang dibutuhkan dan tentu juga tidak perlu membayar engineer khusus untuk keperluan ini.

Saya tinggal membayar  sejumlah Rupiah atau Dollar, dan server saya bekerja 24/7/365 – tidak pernah libur. Ketika salah satu server tersebut down di tengah malam di hari libur-pun, insyaAllah selalu ada yang bisa saya kontak untuk mengecek dan  memperbaikinya.

Bagaimana kalau konsep yang sudah begitu kita kenal di dunia teknologi informasi tersebut kita terapkan di dunia pertanian ? bisakah ? InsyaAlah juga bisa.

Maka melalui tulisan ini saya perkenalkan istilah bertani di awan yang saya terjemahkan dari istilah Cloud Farming – yang juga baru mulai di tahapan introduction di beberapa negeri maju.

Bukan berarti secara harfiah kita bisa bener-bener nanam cabe di atas awan – emangnya Gatot Kaca !, tetapi sama dengan pengertian cloud computing di atas. Sebagaimana orang awam seperti saya bisa mengelola web dengan jaringan servers yang canggih dan reliable, orang-orang kota seperti Anda kini bisa bener-bener bertani seperti bertaninya para professional.

Cloud Farming Model by iGrow
Bila dalam cloud computing sejumlah server di perbagai penjuru dunia dirangkai untuk kemudian kita tinggal pakai, dalam cloud farming yang dirangkai itu adalah infrastruktur pertanian dalam arti luas. Mulai sawah, ladang, kandang sampai juga sub infrastruktur-nya seperti pergudangan dan transportasi.

Dengan adanya pihak yang merangkai dan mengelola solusi ini – yang disebut service provider – seluruh infrastruktur tersebut menjadi dapat Anda akses dengan mudah dan juga murah.

Rintisan perdana system cloud farming tersebutlah yang kini mulai diperankan oleh iGrow (www.igrow.club). Untuk bisa menanam durian dan lengkeng misalnya, Anda tidak lagi perlu  atau harus mengeluarkan CAPEX berupa pembelian lahan. Hanya dengan OPEX Rp 5 juta sekali untuk 18 tahun, Anda sudah punya satu pohon durian. Hanya dengan OPEX 1.5 juta sekali untuk 12 tahun, Anda sudah bisa punya satu pohon kelengkeng.

Anda bisa menjadi petani durian dan lengkeng tanpa harus lagi repot-repot belajar bertani dan mengatasi segala macam persoalannya. Semuanya sudah dikelola oleh Farm Infrastructure Provider – yaitu kebun-kebun yang dikelola secara professional oleh para ahlinya.

Meskipun ini baru rintisan, peluang pengembanganya menjadi tidak terbatas. Misalnya Anda nantinya pingin punya sawah untuk menanam padi organic – karena Anda ingin memastikan bahan manakan yang baik untuk Anda dan keluarga - dengan system cloud farming ini nantinya Anda akan bisa bertani di sawah-sawah yang fit untuk pertanian organic – lagi-lagi tanpa perlu membeli lahannya dan mengurusi sendiri segala macam tetek bengek-nya.

Orang-orang kota seperti saya dan Anda tiba-tiba bisa menjadi petani – sama seperti orang yang dulunya praktisi finansial kayak saya yang tiba-tiba bisa mengelola web sendiri karena adanya RAAS dalam bentuk cloud computing.

Karena uang orang kota dgunakan langsung untuk kegiatan menanam produk-produk pangan yang dikehendakinnya sendiri, maka dalam era revolusi industri ketiga – berapapun jumlahnya penduduk kota – mereka bisa langsung terlibat dalam penyiapan makanan mereka sendiri. Lahan-lahan marginal bisa berubah menjadi lahan optimal karena ada aliran modal dan skills. Para ahli dan praktisi pertanian nan canggih akan tertarik untuk menggeluti dunianya, karena modal yang mengalir ke industri ini.

Dengan keimanan dan ketakwaan yang diimplementasikan bersama modal dan skills, insyaAllah produktifitas tanah-tanah kita akan menjadi berlipat ganda sebagaimana dijanjikan oleh Allah di surat  5:66 dan surat 7:96.

Tanah-tanah tegalan yang selama ini nganggur atau hanya ditanami tanaman seadanya, dengan sytem cloud farming – dia bisa dikelola oleh Farm Infrastructure Provider (FIP) yang bekerja di areanya, tanah tidak perlu dijual dan pemilik lahan tetap bekerja di lahan tersebut – hanya capital-nya saja yang mengalir melalui system Cloud Farming ini – dari orang-orang kota para Cloud Farmers.

Terlalu luas peluangnya untuk kita eksplorasi satu per satu melalui tulisan ini, insyaAllah akan ada tulisan-tulisan berikutnya dan cloud farming  juga menjadi salah satu agenda dalam diskusi Sustainable Financing (25/10/2014) mendatang. Juga menjadi salah satu Action Plan di Agroforestry Apprenticeship Program yang akan berlangsung 3 bulan mulai minggu ke 2 November 2014. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar