Membenarkan dan Melaksanakan

Jum'at. 3 Oktober 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal

Hari-hari ini ratusan ribu jama’ah haji Indonesia sedang wukuf di Arafah untuk selanjutnya besuk mulai melempar jumrah di Mina. Melempar jum’rah adalah bagian dari rangkaian ibadat haji – yang pelajarannya diambil dari apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam dan putranya Ismail ‘Alaihi Salam sekitar 3,900 tahun lalu. Syariatnya kemudian dicontohkan langsung oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ada pelajaran yang dimudahkan oleh Allah di syariat ini, tetapi apakah kita sudah mengambil pelajaran ? 


Pelajaran yang dimudahkan itu antara lain melalui kisah yang luar biasa – yang bila diceritakan sekali saja manusia akan langsung  bisa mengingatnya. Ini menyangkut karakter manusia, bila dia mendengar cerita yang biasa-biasa saja – akan mudah tumpang tindih dengan cerita-cerita biasa lainnya sehingga tidak mudah untuk diingat.

Tidak demikian dengan cerita yang luar biasa – yang tidak ada padanannya, tidak ada kemiripannya dengan yang lain – maka pasti cerita itu mudah diingat. Dari anak kecil sampai orang tua muslim, hampir pasti dia tahu cerita tentang Ibrahim yang disuruh menyembelih putra satu-satunya saat itu yaitu Ismail – putra keduanya Ishaq lahir beberapa puluh tahun kemudian.

Detik-detik peristiwa ini seperti direkam secara slow-motion oleh Allah sehingga detil ceritanya lebih mudah lagi tersimpan di memori kita. Rangkaian ayat-ayatNya adalah sebagai berikut :

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (QS 37 : 100-101)

Bagian ini menceritakan betapa gembiranya Nabi Ibrahim menjadi seorang ayah, Ibrahim yang sudah mulai tua baru dikarunia seorang anak. Tetapi kemudian diuji dengan ujian yang teramat berat di ayat berikutnya:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS 37 : 102)

Sekarang bayangkan nuansanya seorang bapak harus mengajak bicara anak satu-satunya untuk sesuatu yang teramat berat – yaitu perintah untuk menyembelihnya. Maka inilah peristiwa moment of truth yang terekam detil untuk menjadi pelajarannya ;

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS 37 : 103-107)

Inilah inti dari pelajaran yang sesungguhnya yang harusnya mudah untuk diingat dan di napak-tilasi dari Ibrahim ‘Alaihi salam bersama putranya yang sabar Ismail ‘Alaihi Salam. Pelajaran itu adalah pelajaran untuk membenarkan perintahNya dan kemudian melaksanakannya.

Bahkan dalam ayat lain nabi kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan langsung oleh Allah untuk menceritakan kepada umatnya kisah Ibrahim sebagai seorang yang sangat membenarkan ini :

Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS 19:41)

Dari pelajaran tersebut, bila setiap tahun ratusan ribu jamaah haji Indonesia melempar jumrah dan berqurban di mina, kemudian  kita yang lagi di Indonesia juga jutaan orang mengikutinya dengan ber-qurban – maka apakah kita sudah mengambil pelajarannya ? apakah kita sudah  membenarkan dan melaksanakan perintah-perintahnya ?

Tentu yang wajib-wajib dalam ibadat khusus seperti sholat, puasa, haji, zakat dlsb insyaallah kita sudah melaksanakannya. Tetapi bagaimana dengan perintah-perintah lainnya dalam kehidupan sosial, dalam muamalah, dalam berpolitik dlsb. adakah kita sudah membenarkan dan melaksanakannya ?

Kita tidak diuji oleh Allah dengan ujian yang seberat ujian Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, kita tidak sampai disuruh menyembelih anak kita. Kita hanya disuruh meninggalkan riba, memakmurkan bumi, berhukum pada hukum Allah – bukan hukum manusia yang proses pembuatannya saja sudah penuh kepentingan transaksional – dan lain sebagainya. Apakah kita sudah membenarkan dan melaksanakan perintah-perintah seperti ini ?

Sangat bisa jadi kita tidak tahu hikmah dan pelajaran dari suatu perintah, tetapi ketaatan kita untuk melaksanakan perintah – pasti mengandung kebaikan untuk kita. Segala sesuatu  yang tidak diketahui – unknown factors – yang menjadi effect atau buah dari suatu ketaatan adalah kebaikan.

Seperti yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail tersebut di atas, bukan hanya dia tidak jadi menyembelih anaknya. Tetapi Allah berikan pengganti berupa sembelihan yang besar, dan kemudian Allah juga puji dengan pujian yang baik hingga akhir jaman.

Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim"”. (QS 108-109)

Sebaliknya ketika manusia berbuat sesuatu bukan dalam rangka ketaatan dalam menjalankan perintahNya, sesuatu yang tidak diketahuinya dampaknya bisa jadi sangat buruk.

Misalnya ketika kita bermuamalah dengan riba, bisa jadi seolah kita untung dan seolah negeri ini berputar ekonominya. Tetapi sebagai system ekonomi yang Allah menyatakan perang terhadapnya (QS 2:279) – system ekonomi ini tidak memakmurkan rakyatnya meskipun sudah 69 tahun merdeka.
Lho negeri lain bisa makmur dengan system ribanya ? Untuk ekonomi satu dimensi – sebagai ekonomi saja – bisa jadi mereka kelihatan makmur, tetapi di dimensi lainnya yaitu sosial an kehidupan – mereka sejatinya juga membuat kehancuran.

Contoh lain adalah apa yang hari-hari ini kita saksikan di panggung politik, betapa menyesalnya rakyat yang sudah memilih wakil-wakilnya yang nantinya membuat hukum di negeri ini – ternyata mereka sudah berantem dan berebut kepentingan sejak hari pertama mereka dilantik.

Salah siapa ? ya salah kita juga, kita sudah diberi tahu oleh Allah hukumnya yang maha adil yang meliputi segala urusan kehidupan kita – eh malah kita merasa lebih tahu dan berusaha membuat hukum untuk kita sendiri. Bisa dibayangkan akibatnya ketika manusia yang penuh kepentingan ini dibiarkan membuat hukumnya sendiri, menentukan apa yang benar dan salah, menentukan yang boleh dan tidak boleh untuk kepentingan dirinya sendiri ? yang bener saja !

Maka kita diingatkan sampai empat kali oleh Allah di surat Al-Qomar : “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (QS 54 :17, 22, 32,40)

Mumpung besuk atau lusa kita insyaAllah akan rame-rame berqurban, coba kali ini kita hayati maknanya – pelajaran apa yang sekiranya harus dapat kita ambil dari Ibrahim ‘Alaih Salam dan putranya Ismail ‘Alaihi Salam dalam membenarkan dan melaksanakan perintahNya tersebut. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar