Potensi Krisis Tiga Penjuru

Senin, 6 Oktober 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Potensi krisis itu begitu nyata sampai mulai bisa dikwantifisir magnitude-nya, bahkan kali ini  sumber krisis itu bukan hanya satu tetapi tiga sekaligus. Krisis yang saya maksud adalah krisis daya beli yang juga berarti krisis kesejahteraan. Sedangkan sumber ancamannya dari tiga penjuru adalah perkembangan geopolitik global, perkembangan politik dalam negeri dan yang terakhir adalah kapasitas produksi pangan dalam negeri. Lantas apa yang harus kita lakukan agar kita bisa melalui krisis ini ? 


Kekuatan-kekuatan politik dan militer global yang semakin terpolarisasi antara lain oleh krisisi-krisis di negeri Arab, secara langsung berdampak pada fleksibilitas aliran perdagangan komoditi utama dunia. Ketika terjadi ketegangan antara Amerika dan Rusia dalam menyikapi dukungan terhadap Suriah misalnya, Rusia akan mengurangi atau bahkan menghentikan impor gandum dari Amerika.

Untuk memenuhi kebutuhannya, Rusia akan mengumpulkan gandum-gandum dari negeri lain di luar Amerika. Dampaknya negeri-negeri yang selama ini juga meng-ekspor gandumnya ke Indonesia, akan kekurangan supply. Hukum ekonominya adalah bila supply menurun, demand tetap apalagi meningkat – maka harga akan melonjak.

Indonesia tentu tetap bisa impor gandum dari Amerika – yang ditinggalkan Rusia, tetapi ketergantungan pada sedikit sumber ini juga bermasalah. Selain posisi tawar menjadi rendah, juga bisa sewaktu-waktu kehilangan supply bila karena satu dan lain hal ada masalah atau keperluan lain dari negeri pengeskpor – ingat kejadian Huru Hara Tortilla di Meksiko !

Perkembangan politik dalam negeri juga tidak nampak kondusif untuk perekonomian kita. Kegaduhan-kegaduhan politik yang sudah bisa ditebak antara parlemen dan eksekutif bahkan sudah mulai menghantam dua icon perekonomian kita yaitu pasar modal dan nilai tukar Rupiah.

Perseteruan era PEMILU Presiden yang berkelanjutan dikawatirkan akan terus menghantui negeri ini dan belum kunjung terlihat bagaimana dan kapan akan berakhirnya. Dampaknya investor akan tetap was-was dan Rupiah terus melemah.

Di sektor riil, kapasitas produksi pangan Indonesia terganggu oleh musim kering yang panjang, hama penyakit yang meningkat di-trigger oleh udara panas dan berkurangnya lahan produktif. Selama sepuluh tahun antara 2003-2013 saja, telah terjadi alih fungsi lahan pertanian sekitar 5 juta hektar.

Bila disatukan tiga potensi ancaman tersebut terhadap daya beli kita terhadap kebutuhan pokok, khusunya pangan – maka kita bisa melihat sekarang realita krisis itu yang tanpa kita sadari kita sudah ujug-ujug berada di dalamnya.

Tahun lalu Indonesia impor bahan pangan dengan nilai sekitar US$ 8.6 Milyar. Dengan rata-rata nilai tukar Rupiah tahun lalu sebesar Rp 10,446,- - maka nilai impor pangan kita tahun lalu sekitar Rp 90 trilyun. Seandainya jumlah impor pangan kita dalam Dollar tetap saja, rata-rata Rupiah yang sudah mengalami  pelemahan sekitar 13 % tahun ini, akan membuat Impor pangan tersebut melonjak di atas Rp 100 trilyun. Artinya rakyat untuk bisa membayar pangan yang sama perlu jumlah uang Rupiah yang jauh lebih banyak.

Padahal bisa jadi penghasilan kita tidak bertambah setinggi itu, maka dampaknya kita harus mengorbankan kebutuhan lainnya atau menurunkan kesejahteraan kita.

Yang menarik untuk menjadi pelajaran adalah adanya lonjakan impor pangan untuk protein hewani yang berasal dari impor sapi hidup dan daging. Krisis harga daging sapi tahun lalu, rupanya diatasi pemerintah dengan melonggarkan keran impor.

Dampaknya dapat kita lihat di angka-angka statistik yang dikeluarkan oleh BPS. Bila 12 bulan tahun 2013 kita mengimpor sapi hidup senilai US$ 341 juta, enam bulan (sampai Juni) tahun ini saja kita sudah mengimpor US$ 318 juta.

Untuk yang sudah berupa daging-pun tidak kalah buruknya, bila 12 bulan tahun 2013 kita mengimpor sekitar  US$238 juta, enam bulan saja di tahun ini kita mengimpor daging senilai sekitar US$ 236 juta.

Lonjakan impor daging bahkan terjadi untuk jenis daging yang di negeri asalnya bernilai sangat rendah seperti jeroan, hati dan lidah. Enam bulan pertama tahun ini kita mengimpor senilai kurang lebih US$ 41 juta untuk daging jenis ini, padahal sepanjang tahun lalu kita hanya impor sekitar US$ 27 juta.

Selain kebutuhan protein dari daging yang difokuskan ke sapi tersebut, kita juga impor jumbo untuk urusan karbohidrat dari biji-bijian utamanya gandum. Impor biji-bijian kita tahun lalu sekitar US$ 3.6 milyar atau sekitar 42 % dari seluruh impor pangan kita.

Ini masih ditambah lagi sekitar US$ 205 juta yang diimpor dalam bentuk tepung atau pati. Sehingga secara keseluruhan kita impor biji-bijian dan produk turunannya (tepung) sekitar  US$ 3.8 milyar atau 44 % dari impor pangan kita tahun lalu.

Bilai ini ditambahkan dengan impor buah kita yang sudah saya bahas sebelumnya dalam tulisan Jalan Kemenangan Para Petani, maka praktis dari lima unsur makanan kita karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral – hanya lemak (dari minyak) yang kita punya keunggulannya di dalam negeri. Selebihnya kita diserbu oleh produk-produk dari negeri lain.

Impor ini sebenarnya juga tidak terlalu menjadi masalah bila kita memang memiliki daya belinya. Masalahnya adalah justru terletak pada daya beli yang terus menyusut secara cepat yang terakselerasi oleh tiga ancaman tersebut di atas.

Lantas apakah kita akan diam tidak bergerak dan pasrah dengan apa yang akan kita alami ? Mestinya juga tidak. Justru sebaliknya adalah apabila kita bisa mengubah ancaman ini menjadi peluang.

Ancaman ini akan menjadi peluang manakala kita bisa memakmurkan negeri ini sedemikian rupa sehingga produksi pangan kita – bukan hanya beras – tetapi juga seluruh unsur-unsur utama pangan kita dari karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral bisa kita produksi sendiri secara cukup dan syukur-syukur lebih.

Dan ini amat sangat dimungkinkan karena ini termasuk yang dijanjikan olehNya untuk kita – asal kita bisa memenuhi syarat-syaratnya. Apa syarat-syaratnya itu ? berikut adalah dua ayat yang saling menguatkan – yang menjadi kabar baik bagi kita untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan kita lainnya.

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan(mendirikan/menegakkan) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS 5 :66)

Senada dengan ini adalah ayat :

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)

Pasti bukan kebetulan bila Allah menjanjikan kecukupan pangan, rezki dan limpahan berkah itu kepada orang-orang yang beriman, bertakwa dan menjalankan apa-apa yang ada di dalam kitabNya. Karena di didalam kitabNyalah terdapat petunjuk beserta penjelasannya ( QS 2:185) untuk segala hal yang menjadi urusan kehidupan kita (QS 16:89).

Tetapi hanya orang beriman yang sampai derajat tanpa ragu (QS 49:15) – lah yang bisa menerima petunjuk-petunjuk Al-Qur’an itu kemudian benar-benar melaksanakannya tanpa terlalu banyak mempertanyakannya. Hanya orang yang bertakwalah yang akan benar-benar menggunakan A-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajarannya (QS 3:138).

Maka solusi krisis dari tiga penjuru itu sungguh-sungguh ada di depan mata kita, tinggal kita mau menggunakannya atau tidak, semoga kita termasuk yang percaya akan janjiNya sehingga kita-pun akan tunduk dan patuh mengikuti petunjukNya semata agar dimudahkannya kita dalam urusan-urusan kita ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar