We Can Be Whatever We Want To Be…

Rabu, 22 Oktober 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Hari-hari ini euphoria kemenangan kepemimpinan baru negeri ini merebak ke seluruh negeri. Barangkali memang ada baiknya ini, setidaknya memberi gairah baru ke masyarakat luas sampai ke pedasaan untuk kembali memiliki mimpi dan cita-cita. Bahwa telah ada contoh seorang biasa, dari golongan rakyat kebanyakan – wong ndeso-pun bisa menjadi seorang presiden dari sebuah negara besar dunia. Tetapi pada saat yang bersamaan, juga harus ada yang mengingatkan – bahwa kita punya contoh terbaik yang sesungguhnya, contoh yang sempurna yang tidak berbatas negeri dan jaman.


Bila contoh itu manusia biasa – seorang presiden sekalipun – kita telah belajar dari sejarah yang panjang bahwa sebagai manusia biasa, tidak sepenuhnya bisa dicontoh. Pemimpin-pemimpin besar negeri ini telah menorehkan sejarahnya untuk menjadi contoh di jamannya masing-masing, tetapi tentu tidak ada yang sempurna.

Demikian pula harapan, rakyat perlu disadarkan bahwa mereka tidak bisa berharap terlalu banyak apalagi sampai bergantung pada manusia. Kemakmuran dan kesejahteraan kita tidak tergantung pada siapa pemimpin kita dan pada apa yang mereka lakukan – meskipun mereka dalam kapasitasnya sebagai yang diberi amanah untuk mengurusi rakyat yang sangat banyak ini – tentu saja punya tanggung jawab terbesar untuk berbuat maksimal dalam memakmurkan rakyatnya.

Skenario Allah pasti terjadi dengan atau tanpa peran pemimpin kita, demikian pula skenario Allah pasti terjadi  baik kita ikut berperan di dalamnya ataupun kita tidak ikut berperan. Ketika kita diperintahkan oleh Allah untuk melakukan sesuatu seperti memakmurkan bumi misalnya, bukan karena Allah membutuhkan kita untuk memakmurkan bumi ini.

Tetapi itu semata adalah kesempatan terbaik kita untuk menjadi tentaran Allah dalam memujudkan kemakmuran yang memang sudah diskenariokanNya. Dengan atau tanpa kita, bumi pasti makmur seperti yang dijanjikanNya – yang tidak pasti adalah apakah kita terlibat di dalam memakmurkannya atau malah sebaliknya – yang terlibat dalam merusaknya.

Ini sama dengan perintah berperang seperti dalam ayat berikut : “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudaratan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 9:39)

Jika kita tidak berbuat seperti yang diperintahkan untuk berbuat, misalnya perintah untuk beriman dan bertakwa untuk dihadirkannya keberkahan dari langit dan dari bumi (QS 7:96), atau perintah untuk beriman dan beramal shaleh untuk dijadikannya kita memimpin dunia (QS 24:55), atau perintah untuk mengikuti kitabNya agar dicukupkan rezeki dari bawah kaki dan dari atas kita (QS 5:66) – maka bila ini semuapun tidak kita lakukan,  bisa jadi kita tetap makmur secara duniawi, dunia tetap ada yang memimpin dan kita tetap bisa makan – hanya saja semuanya yang mengurusi orang lain dan kita kehilangan kesempatan emas kita untuk berbuat seperti yang diperintahkanNya atau dicontohkan oleh rasulNya.

Maka disinilah letak cita-cita kita yang seharusnya – kita bisa menjadi apa saja yang kita kehendaki,  tetapi cita-cita kita harus benar, contoh kita harus benar dan jalan yang ditempuh juga harus benar.

Kita sudah melihat begitu banyak contoh-contoh kegagalan umat ini. Kegagalan dalam politik, dalam ekonomi, dalam budaya, pendidikan dan peradaban – semuanya antara lain karena berangkat dari cita-cita dan contoh yang salah.

Dalam ekonomi syariah misalnya, teman-teman yang bergerak di bank, asuransi , pasar modal syariah dan lain sebagainya gagal mencapai market share yang berarti di tengah penduduk muslim yang 87 % negeri ini. Mengapa ?, ya karena contohnya salah.

Mereka justru mencontoh bank, asuransi dan pasar modal yang seharusnya digantikannya. Mereka mengikuti aturan main yang sama, skenario yang sama bahkan juga produk-produk yang sama – bagaimana mungkin hasilnya bisa berbeda ? Padahal karakter dari petunjuk kita itu adalah “…Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS 2:185)

Sama dengan misalnya saya bercita-cita ingin menjadikan pertanian negeri ini makmur, para petaninya makmur sedemikian rupa sehingga mampu naik Lamborghini – meskipun tentu mereka tidak perlu malakukannya – karena itu pemborosan dan temannya setan !, dapatkah ini saya lakukan dengan mencontoh pola pertanian yang ada selama ini ? pertanian yang membuat negeri ini tidak berdaya untuk memberi makan yang cukup pada penduduk yang membutuhkannya ?

Sunatullah itu juga berlaku di dunia business modern yang nyata. Kita melihat betapa besarnya Facebook misalnya, sampai anak muda yang menggagas perusahaan ini layaknya pemimpin negara saja – yang dengan mudahnya menemui pemimpin negara lainnya. Bisakah Mark Zuckerberg melakukannya bila dia hanya mencontoh ide bisnis orang lain atau konsep business yang sudah ada sebelumnya ?

Maka keywords untuk bisa melakukan segala sesuatu secara luar biasa itu memang harus dengan cara yang tidak biasa – dengan cara yang berbeda. Dan berbeda itu adalah ‘gen’ kita, ‘gen’ umat dan Agama ini ketika diturunkan di  bumi Arab yang jahiliah saat itu.

Kini ketika kejahiliahan modern bermanifestasi dalam berbagai bidang kehidupan, datang dalam berbagai bentuk perwujudannya – maka sekali lagi perlu hadir cita-cita besar dari umat ini, dari anak-anak kita yang masih kecil sampai kita yang sudah kawakan bergelut di bidang kita masing-asing – untuk kembali memimpin dunia dengan cara yang berbeda dengan bagaimana dunia dipimpin saat ini.

Kita semua insyaAllah bisa berperan dalam bidang kita masing-masing – we can be whatever we want to be – tetapi bukan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita kita itu dan bukan meniru orang lain selain uswatun hasanah kita. Kita menempuhnya hanya dengan petunjuk dan penjelasanNya, dengan pembeda yang juga telah digariskanNya. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar