Negeri ½ Syariah

Selasa, 4 Nopember 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah produk itu  bermakna : “…barang atau jasa…” , namun dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) makna produk itu direduksi tinggal separuhnya yaitu hanya yang terkait barang – tidak termasuk jasa. Dampak dari reduksi makna ini sungguh luar biasa, dalam hal barang ada perlindungan jaminan halal untuk kita – tetapi dalam hal jasa, bukan hanya tidak ada perlindungan – kita bahkan bisa dipaksa ‘memakan’ yang haram. 


Perhatikan misalnya definisi produk yang ada di RUU JPH yang kini telah menjadi UU, pasal 1 ayat 1 nya berbunyi : “Produk adalah makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetik.” Tidak ada sama sekali yang mengatur produk jasa seperti jasa keuangan asuransi, dana pensiun, perbankan, pasar modal dlsb.

Saya pikir ini bukan karena factor ketidak tahuan atau ignorance tetapi sudah suatu kesengajaan – terlepas dari entah siapa yang menyegajakannya. Karena dengan tidak dimasukkannya unsur produk berupa jasa dalam UU JPH tersebut, umat ini bisa dipaksa ‘memakan’ yang haram berupa riba dari produk jasa keuangan.

BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan misalnya, menjadi wajib untuk diikuti oleh seluruh pegawai di negeri ini sekarang, wajib pula diikuti penduduk negeri ini di tahun 2019 nanti. Padahal dua produk ini jelas ribanya dan otomatis jelas keharamannya.

Apa argumen saya mengatakan ini ?, bukan saya yang mengharamkannya tetapi Fatwa MUI no 1 tahun 2004 – lah yang mengatakannya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. BPJS Kesehatan adalah asuransi konvensional yang dahulunya bernama ASKES (Asuransi Kesehatan), sedangkan BPJS Ketenaga Kerjaan dahulunya Jamsostek – keduanya masuk kategori asuransi konvensional yang mengandung riba menurut fatwa MUI tersebut di atas.

Lebih-lebih apabila Anda pelajari laporan keuangan masing-masing, BPJS Kesehatan laporan keuangan tahun terakhir 2013 masih menggunakan nama ASKES – laporannya bisa Anda baca disini. Sedang BPJS Ketenagakerjaan laporan terakhirnya masih menggunakan nama Jamsostek dan bisa dibaca disini.

Ada memang sebagian ulama yang menghalalkan BPJS ini, namun saya tidak yakin mereka membaca dengan seksama laporan-laporan keuangan tersebut dan disandingkan pula dengan fatwa MUI no 1 tahun 2004 tersebut di atas.

Soalnya bila ulama ini membaca detil laporan keuangan para pengelola BPJS ini, mereka akan tahu darimana sumber-sumber pendapatan utama mereka. Selain iuran, pendapatan utama mereka adalah bunga deposito, bunga obligasi konvensional, reksadana konvensional dan berbagai produk-produk keuangan konvensional yang bila diaudit kehalalannya oleh DSN – MUI atau teman-teman pelaku ekonomi syariah – pasti tidak lolos.

Dampak dari reduksi makna kata produk tersebut diatas akan ada ironi besar di negeri ini yang puncaknya adalah tahun 2019. Saat itu ketika UU JPH berlaku penuh, penyelenggara usaha kecil makanan seperti restoran yang tidak memiliki sertifikasi halal bisa dipenjara 1 tahun atau denda Rp 5 milyar.

Pada tahun yang sama ketika Anda tidak ikut program BPJS – yang jelas ribanya ini, Anda bisa dikenakan sangsi sosial , administrative dan layanan public. Kalau individu tidak diberi KTP, paspor dlsb. kalau perusahaan tidak diberi ijin usaha, tidak bisa mengikui tender dslb.

Lantas bagaimana sikap kita seharusnya ? apakah kita ikuti saja dengan resiko ikut makan riba ? atau kita menolaknya dengan resiko sangsi sosial ?

Inilah pentingnya umat ini berjuang bersama-sama. Baru beberapa bulan lalu dua pihak yang berseteru di negeri ini masing-masing meng-klaim memperjuangkan kepentingan umat. Dimana mereka sekarang ? yang satu di eksekutif membagi-bagikan riba ke masyarakat miskin. Yang satu di legislatif berantem sendiri. Dimana keberpihakan mereka terhadap kepentingan umat ?

Dimana pula para aktifis HAM dan para pejuang kebebasan beragama ketika umat yang mayoritas ini dipaksa makan yang riba ? Salah satu dosa besar yang bisa mengeluarkan orang dari keimanannya dan diperangi oleh Allah dan RasulNya (QS 2 : 278-279).

Saya tidak ingin merusak euphoria rakyat yang lagi berbahagia dengan berbagai layanan kesehatan dan pendidikan gratis, ini tanggung jawab pemerintah untuk memberikannya. Layanan demikian tetap harus ada, tetapi juga harus sesuai syariah.

Seperti seorang ayah pulang ke rumah membahagiakan anak dan istrinya dengan penghasilan yang cukup, ini kewajiban dia – tetapi dia juga harus menjamin bahwa yang dibawa pulang tersebut bukan hasil kejahatan, bukan hasil riba.

Maka demikian pula kritik saya terhadap BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, bukan berarti institusi nya yang dibubarkan dan rakyat tidak ada yang melayani. Kalau memang keduanya dipandang yang  bisa melayani rakyat dengan baik, tinggal undang DSN MUI untuk datang meng-guide dang meng-audit mereka agar produk-produk yang bermanfaat bagi rakyat banyak – juga dipastikan kehalalannya.

Sama pula dengan tugas pemerintah lainnya misalnya, ketika rakyat butuh daging dan produksi dalam negeri tidak memadai – maka bisa saja mereka mengimpor daging dari negeri lain yang non muslim. Tetapi daging yang diimpor untuk dikonsumsi negeri dengan rakyat mayoritas muslim ini juga harus halal bukan ?

Seperti inilah produk jaminan sosial dan kesehatan, di negeri-negeri maju memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyatnya. Ketika kita ‘impor’ (tiru) untuk negeri ini, tetap harus memperhatikan kebutuhan rakyat yang mayoritas muslim ini – yaitu kita butuh produk yang halal.

Kita tidak bisa menjadi negeri setengah-setengah karena negeri yang setengah-setengah terbukti terus berantem, kita butuh negeri yang berkah – kita butuh pertolonganNya. Dan keberkahanNya tergantung langsung dengan keimanan dan ketakwaan kita (QS 7:96), sedangkan keimanan itu berbanding terbalik dengan riba – orang beriman tidak makan riba, yang makan riba bukan orang beriman. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS 2 : 278)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar