Revolusi Pangan

Selasa, 18 Nopember 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal

Bila negeri yang paling kaya biodiversity, mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun dan hampir seluruh wilayahnya mendapatkan hujan  ini hingga kini belum ada tanda-tanda akan bisa mencukupi pangannya sendiri – pasti ada sesuatu yang seriously wrong dalam pengelolaan pangan kita. Yang saya lihat salah satunya adalah salah memilih guru. Selama ini kita berusaha bertani mengikuti cara barat, yang mereka sendiri ternyata baru menyadari kekeliruan mendasarnya – bahwa pertanian mereka ternyata tidak sustainable !

 

Ibarat mobil tua yang sudah harus segera dimusiumkan, cara bertani barat – yang berusaha kita  ikuti itu – sudah sangat tidak efisien sehingga tidak sustainable. Bila dipaksakan jalan terus akan menimbulkan berbagai masalah demi masalah dan berujung pada tidak tercukupinya kebutuhan pangan bagi masyarakat dunia – yang seharusnya terjamin kecukupannya bila saja dikelola dengan benar.

Ada setidaknya lima inefisiensi yang saya pahami dari cara mereka bertani selama ini, yang saya maksud bertani adalah bertani dalam arti luas – termasuk peternakan, perikanan, agroforestry dlsb. Inefisiensi ini terjadi pada penggunaan energi, penggunaan air, penggunaan lahan, penggunaan pupuk dan dampaknya pada lingkungan.

Inefisiensi dalam penggunaan energi terjadi mulai dari produksi bahan pangan di lahan pertanian (on farm), transportasi, processing sampai penyimpanannya. Ambil contohnya adalah mie instant atau roti yang kita makan.

Gandumnya ditanam dengan energi besar traktor-traktor pertanian, disimpan hasilnya di gudang kemudian dikirim menempuh perjalanan lebih dari separuh bumi, sebelum akhirnya masuk ke pabrik pengolahan tepung di Indonesia, kemudian masih satu kali lagi masuk pabrik roti atau pabrik mie – sebelum dikirim dan sampai ke piring kita. Bisa dibayangkan energi yang dibutuhkan untuk ini.

Daging impor kurang lebih juga menempuh jalan panjang semacam ini sebelum sampai ke kita. Bahkan untuk produksi dagingnya di negeri asal mereka sendiri, setiap 1 kcal protein hewani dibutuhakn 28 kcal energi fosil untuk memproduksinya. Kebutuhan energi untuk produksi daging ini kurang lebih 8 kali dari yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kcal protein nabati.

Pilihan menu makanan yang berat di daging juga berdampak pada penggunaan air. Untuk memproduksi daging 1 kg dibutuhkan tidak kurang dari 40 m3 air, sementara pembandingnya untuk memproduksi 1 kg bahan makan nabati dibutuhkan air rata-rata kurang dari 2 m3.

Dampak berikutnya adalah pada penggunaan lahan, untuk memproduksi 1 kcal energi dari bahan daging sapi misalnya dibutuhkan rata-rata lahan seluas 31 m2 - untuk memproduksi pakan serta memeliharanya. Sementara untuk memproduksi 1 kcal yang sama dari buah dan sayur, kebutuhan lahan rata-ratanya kurang dari 2 m2 – inipun sebelum menggunakan konsep kebun-kebun yang rindang seperti yang saya tulis dalam ‘Daun Swasembada’.

Agar pakan ternak tersebut terus bisa diproduksi dari hijauan dan biji-bijian, mereka melakukan kesalahan berikutnya yaitu bertani dengan bergantung pada pupuk-pupuk kimia yang semakin banyak. Ibarat orang berbohong yang akan cenderung terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya, demikian pula dalam hal kesalahan bertani ini. Awalnya salah memilih makanan, berdampak pada pemborosan energi, pemborosan air dan pupuk – dan akhirnya harus ditutup dengan dampak ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kesalahan awal.

Dari sisi ekonomi biaya makanan menjadi sangat mahal dan dari sisi lingkungan lahan-lahan pertanian menjadi sakit seperti sakitnya orang yang kecanduan – bila tidak diberi obat (pupuk) dia tidak berproduksi maksimal, bila diberi pupuk (lagi) dia semakin rusak/kecanduan dalam jangka panjang. Efek spiralnya bahan makanan menjadi semakin langka dan tentu saja menjadi semakin mahal.

Kesalahan-kesalahan ini bukannya tidak mereka sadari, di dunia barat sendiri sekarang berkembang trend peralihan pola makan ke arah yang mereka sebut Plant-Based Diet – pola makan berbasis tanaman. Inipun suatu kesalahan karena tidak semua kebutuhan tubuh kita bisa di-supply oleh makanan dari tanaman secara menyeluruh – kita tetap butuh makan daging secara proporsional.

Maka disinilah letaknya perbedaan kita dengan mereka, dalam hal memilih makanan dan memproduksi bahannya-pun kita berbeda. Kita memiliki kitab yang menunjuki kita ke jalanNya, kitab itu memberi penjelasan detil untuk setiap kebutuhan kita – dan kitab itu membuat kita memang berbeda dengan mereka. (QS 2:185)

Maka bila kita mengikuti kitab ini dalam setiap aktivitas kehidupan kita, pasti terjadi perubahan besar dan cepat – yang dalam bahasa populernya sering disebut revolusi. Lantas di dunia makanan ini dimana revolusinya ?

Disinilah peluangnya ! bila kita bisa me-revolusi pangan kita, bukan hanya kita akan menjadi negeri yang swasembada pangan – tetapi insyaAllah kita bisa menjadi pemain industri pertanian yang sangat efisien sehingga bisa menolong negeri-negeri lain yang membutuhkannya. Kita bisa menjadi solusi bagi pangan dunia dan bukan malah menjadi salah satu problemnya.

Lantas darimana kita mulai revolusi pangan ini ? Kita bisa mulai mengambil pelajaran dari kegagalan pengelolaan pangan dunia seperti gambaran tersebut di atas - agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahan makanan kita seimbang, tidak tergantung berlebihan pada daging – tetapi juga tidak sampai ekstrim sehingga tidak makan daging sama sekali.

Secara lengkap bahan makanan kita di-guide melalui petunjukNya di surat ‘Abasa ayat 24-32 yang terdiri dari biji-bijian secukupnya,  buah-buahan dari berbagai jenis buah yang banyak, sayur-sayuran dari dedaunan yang hijau, dan tentu juga daging dari ternak kita.

Untuk kebutuhan daging ini utamanya dari ternak besar, kemudian yang kedua dari jenis ikan dan yang terakhir dari jenis unnggas. Ternak besar utamanya adalah yang digembala dan urutan prioritasnya mulai dari domba, kambing dan baru yang terakhir sapi – karena kita tidak memiliki unta (QS 6:143-144).

Karena kita makan biji-bijian secukupnya – tidak terlalu bergantung padanya juga, maka kebutuhan sawah atau lahan subur juga tidak terlalu besar. Lahan subur khususnya sawah butuh air yang banyak, maka kita kurangi ketergantungan pada jenis makanan yang membutuhkan lahan semacam ini.

Sebaliknya pohon buah-buahan dan juga dedaunan hijau tidak harus dihasilkan dari lahan subur yang banyak airnya, lahan tegalan yang marginal-pun cukup dan bisa menghasikan buah serta hijauan yang optimal.

Karena untuk menghasilkan 1 kcal dari protein nabati hanya dibutuhkan  1/8 dari kebutuhan energi untuk protein hewani, kebutuhan airnya hanya 1/20 dan kebutuhan lahannya hanya 1/15 – maka menggeser sebagian besar kebutuhan protein ke nabati akan menjadikan penggunaan energi, air dan lahan menjadi sangat efisien.

Kita masih makan daging yang juga kita produksi secara efisien karena makannya adalah rumput sambil menyuburkan lahan-lahan kebun buah kita tersebut (QS 16 : 10-11). Namun bila karena satu dan lain hal kita belum bisa makan daging yang cukup, makanan dedaunan bergizi tinggi-pun dapat mengimbangi kebutuhan protein dari daging ini.

Tepung Daun Kelor Dengan 26.3 % Protein
Foto disamping misalnya, adalah contoh tepung dari daun kelor (Moringa oleifera) yang kemarin dihadiahkan ke saya oleh mitra baru kita. Sepenuhnya sudah diproduksi dalam negeri dengan kwalitas yang sangat-sangat baik, hasil uji labnya menunjukkan kandungan protein 26.3 % dan ini kurang lebih sama dengan kandungan protein yang ada di daging sapi pada umumnya.

Yang masih harus diatasi dari protein berbasis daun bergizi tinggi tersebut adalah produksinya. Dengan tingkat produksi yang ada sekarang memang jadinya masih mahal – dan baru ekonomis untuk dijadikan bahan obat herbal. Tetapi segera setelah kita memproduksinya secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) dengan teknik seperti yang saya tulis dalam ‘Daun Swasembada’ – maka insyaAllah akan segera menjadi murah dan available secara luas.

Proporsi makanan yang berat di nabati inipun tidak harus membuat kita tergantung pada pupuk kimia. Semua sumber pupuk dan obat-obatan pertanian bisa digantikan dengan limbah peternakan maupun sisa hasil pertanian kita sendiri.

Unsur-unsur makro yang dibutuhakn oleh seluruh tanaman seperti N, P dan K tersedia cukup pada kotoran ternak – khususnya kencing domba. Unsur NPK ini juga dapat dihasilkan secara cukup dari ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dan juga dari kulit pisang, sehingga kita bisa bener-bener bertani tanpa harus melibatkan bahan kimia.

Bahkan untuk obat penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan bahkan virus semuanya juga bisa dibuat dari ekstrak daun zaitun yang memang bersifat antifungal, antibacterial dan antiviral. Jadi dari dua daun saja – yaitu daun zaitun dan daun kelor – kita sudah bisa memproduksi pupuk dan juga obat yang cukup bagi tanaman-tanaman kita.

Setelah komposisi makanan kita sudah jelas, tinggal bagaimana kita memproduksinya dengan se efisien mungkin. Dengan lahan yang terbatas, dengan air yang sedikit dan nyaris tanpa energi-pun kita harus bisa menanam dan menghasilkan bahan makanan yang banyak – untuk memberi makan bagi milyaran penduduk dunia yang membutuhkannya.

Bagaimana dengan yang serba sedikit tersebut (lahan, air dan energi)  bisa terus tersedia bahan makanan yang cukup bagi manusia yang terus bertambahan banyak ? Inilah jawaban yang tidak sepenuhnya harus bisa dijelaskan dengan ilmu manusia – inilah yang disebut berkah.

Keberkahan hanya bisa hadir dengan keimanan dan ketakwaan, demikian pula jaminan kecukupan rezeki dari bawah kaki kita dan dari atas kita hanya terjadi bila kita mengikuti petunjuk di kitabNya.

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan(mendirikan/menegakkan) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS 5 :66)

Dengan berkahNya kita bisa menanam pohon atau tanaman yang sangat rindang /padat (QS 80:30) di tanah yang sempit sekalipun, tanaman kita bukan menyerap air tetapi malah memancarkan mata air (QS 36:34), bukan menghabiskan energi malah menghasilkan energi (QS 36:80 ; QS 56 :71-72 dan QS 24:35), tanaman-tanaman kita menghasilkan makanan yang cukup bagi seluruh penduduk negeri tanpa ada yang merusak lingkungan – malah sebaliknya menjadikan negeri kita negeri yang baik dan indah dan Allah-pun mengampuni dosa-dosa kita (QS 34:15). Inilah revolusi yang layak untuk kita perjuangkan bersama. InsyaAllah.

Ibarat mobil tua yang sudah harus segera dimusiumkan, cara bertani barat – yang berusaha kita  ikuti itu – sudah sangat tidak efisien sehingga tidak sustainable. Bila dipaksakan jalan terus akan menimbulkan berbagai masalah demi masalah dan berujung pada tidak tercukupinya kebutuhan pangan bagi masyarakat dunia – yang seharusnya terjamin kecukupannya bila saja dikelola dengan benar.

Ada setidaknya lima inefisiensi yang saya pahami dari cara mereka bertani selama ini, yang saya maksud bertani adalah bertani dalam arti luas – termasuk peternakan, perikanan, agroforestry dlsb. Inefisiensi ini terjadi pada penggunaan energi, penggunaan air, penggunaan lahan, penggunaan pupuk dan dampaknya pada lingkungan.

Inefisiensi dalam penggunaan energi terjadi mulai dari produksi bahan pangan di lahan pertanian (on farm), transportasi, processing sampai penyimpanannya. Ambil contohnya adalah mie instant atau roti yang kita makan.

Gandumnya ditanam dengan energi besar traktor-traktor pertanian, disimpan hasilnya di gudang kemudian dikirim menempuh perjalanan lebih dari separuh bumi, sebelum akhirnya masuk ke pabrik pengolahan tepung di Indonesia, kemudian masih satu kali lagi masuk pabrik roti atau pabrik mie – sebelum dikirim dan sampai ke piring kita. Bisa dibayangkan energi yang dibutuhkan untuk ini.

Daging impor kurang lebih juga menempuh jalan panjang semacam ini sebelum sampai ke kita. Bahkan untuk produksi dagingnya di negeri asal mereka sendiri, setiap 1 kcal protein hewani dibutuhakn 28 kcal energi fosil untuk memproduksinya. Kebutuhan energi untuk produksi daging ini kurang lebih 8 kali dari yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kcal protein nabati.

Pilihan menu makanan yang berat di daging juga berdampak pada penggunaan air. Untuk memproduksi daging 1 kg dibutuhkan tidak kurang dari 40 m3 air, sementara pembandingnya untuk memproduksi 1 kg bahan makan nabati dibutuhkan air rata-rata kurang dari 2 m3.

Dampak berikutnya adalah pada penggunaan lahan, untuk memproduksi 1 kcal energi dari bahan daging sapi misalnya dibutuhkan rata-rata lahan seluas 31 m2 - untuk memproduksi pakan serta memeliharanya. Sementara untuk memproduksi 1 kcal yang sama dari buah dan sayur, kebutuhan lahan rata-ratanya kurang dari 2 m2 – inipun sebelum menggunakan konsep kebun-kebun yang rindang seperti yang saya tulis dalam ‘Daun Swasembada’.

Agar pakan ternak tersebut terus bisa diproduksi dari hijauan dan biji-bijian, mereka melakukan kesalahan berikutnya yaitu bertani dengan bergantung pada pupuk-pupuk kimia yang semakin banyak. Ibarat orang berbohong yang akan cenderung terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya, demikian pula dalam hal kesalahan bertani ini. Awalnya salah memilih makanan, berdampak pada pemborosan energi, pemborosan air dan pupuk – dan akhirnya harus ditutup dengan dampak ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kesalahan awal.

Dari sisi ekonomi biaya makanan menjadi sangat mahal dan dari sisi lingkungan lahan-lahan pertanian menjadi sakit seperti sakitnya orang yang kecanduan – bila tidak diberi obat (pupuk) dia tidak berproduksi maksimal, bila diberi pupuk (lagi) dia semakin rusak/kecanduan dalam jangka panjang. Efek spiralnya bahan makanan menjadi semakin langka dan tentu saja menjadi semakin mahal.

Kesalahan-kesalahan ini bukannya tidak mereka sadari, di dunia barat sendiri sekarang berkembang trend peralihan pola makan ke arah yang mereka sebut Plant-Based Diet – pola makan berbasis tanaman. Inipun suatu kesalahan karena tidak semua kebutuhan tubuh kita bisa di-supply oleh makanan dari tanaman secara menyeluruh – kita tetap butuh makan daging secara proporsional.

Maka disinilah letaknya perbedaan kita dengan mereka, dalam hal memilih makanan dan memproduksi bahannya-pun kita berbeda. Kita memiliki kitab yang menunjuki kita ke jalanNya, kitab itu memberi penjelasan detil untuk setiap kebutuhan kita – dan kitab itu membuat kita memang berbeda dengan mereka. (QS 2:185)

Maka bila kita mengikuti kitab ini dalam setiap aktivitas kehidupan kita, pasti terjadi perubahan besar dan cepat – yang dalam bahasa populernya sering disebut revolusi. Lantas di dunia makanan ini dimana revolusinya ?

Disinilah peluangnya ! bila kita bisa me-revolusi pangan kita, bukan hanya kita akan menjadi negeri yang swasembada pangan – tetapi insyaAllah kita bisa menjadi pemain industri pertanian yang sangat efisien sehingga bisa menolong negeri-negeri lain yang membutuhkannya. Kita bisa menjadi solusi bagi pangan dunia dan bukan malah menjadi salah satu problemnya.

Lantas darimana kita mulai revolusi pangan ini ? Kita bisa mulai mengambil pelajaran dari kegagalan pengelolaan pangan dunia seperti gambaran tersebut di atas - agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahan makanan kita seimbang, tidak tergantung berlebihan pada daging – tetapi juga tidak sampai ekstrim sehingga tidak makan daging sama sekali.

Secara lengkap bahan makanan kita di-guide melalui petunjukNya di surat ‘Abasa ayat 24-32 yang terdiri dari biji-bijian secukupnya,  buah-buahan dari berbagai jenis buah yang banyak, sayur-sayuran dari dedaunan yang hijau, dan tentu juga daging dari ternak kita.

Untuk kebutuhan daging ini utamanya dari ternak besar, kemudian yang kedua dari jenis ikan dan yang terakhir dari jenis unnggas. Ternak besar utamanya adalah yang digembala dan urutan prioritasnya mulai dari domba, kambing dan baru yang terakhir sapi – karena kita tidak memiliki unta (QS 6:143-144).

Karena kita makan biji-bijian secukupnya – tidak terlalu bergantung padanya juga, maka kebutuhan sawah atau lahan subur juga tidak terlalu besar. Lahan subur khususnya sawah butuh air yang banyak, maka kita kurangi ketergantungan pada jenis makanan yang membutuhkan lahan semacam ini.

Sebaliknya pohon buah-buahan dan juga dedaunan hijau tidak harus dihasilkan dari lahan subur yang banyak airnya, lahan tegalan yang marginal-pun cukup dan bisa menghasikan buah serta hijauan yang optimal.

Karena untuk menghasilkan 1 kcal dari protein nabati hanya dibutuhkan  1/8 dari kebutuhan energi untuk protein hewani, kebutuhan airnya hanya 1/20 dan kebutuhan lahannya hanya 1/15 – maka menggeser sebagian besar kebutuhan protein ke nabati akan menjadikan penggunaan energi, air dan lahan menjadi sangat efisien.

Kita masih makan daging yang juga kita produksi secara efisien karena makannya adalah rumput sambil menyuburkan lahan-lahan kebun buah kita tersebut (QS 16 : 10-11). Namun bila karena satu dan lain hal kita belum bisa makan daging yang cukup, makanan dedaunan bergizi tinggi-pun dapat mengimbangi kebutuhan protein dari daging ini.

Tepung Daun Kelor Dengan 26.3 % Protein
Foto disamping misalnya, adalah contoh tepung dari daun kelor (Moringa oleifera) yang kemarin dihadiahkan ke saya oleh mitra baru kita. Sepenuhnya sudah diproduksi dalam negeri dengan kwalitas yang sangat-sangat baik, hasil uji labnya menunjukkan kandungan protein 26.3 % dan ini kurang lebih sama dengan kandungan protein yang ada di daging sapi pada umumnya.

Yang masih harus diatasi dari protein berbasis daun bergizi tinggi tersebut adalah produksinya. Dengan tingkat produksi yang ada sekarang memang jadinya masih mahal – dan baru ekonomis untuk dijadikan bahan obat herbal. Tetapi segera setelah kita memproduksinya secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) dengan teknik seperti yang saya tulis dalam ‘Daun Swasembada’ – maka insyaAllah akan segera menjadi murah dan available secara luas.

Proporsi makanan yang berat di nabati inipun tidak harus membuat kita tergantung pada pupuk kimia. Semua sumber pupuk dan obat-obatan pertanian bisa digantikan dengan limbah peternakan maupun sisa hasil pertanian kita sendiri.

Unsur-unsur makro yang dibutuhakn oleh seluruh tanaman seperti N, P dan K tersedia cukup pada kotoran ternak – khususnya kencing domba. Unsur NPK ini juga dapat dihasilkan secara cukup dari ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dan juga dari kulit pisang, sehingga kita bisa bener-bener bertani tanpa harus melibatkan bahan kimia.

Bahkan untuk obat penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan bahkan virus semuanya juga bisa dibuat dari ekstrak daun zaitun yang memang bersifat antifungal, antibacterial dan antiviral. Jadi dari dua daun saja – yaitu daun zaitun dan daun kelor – kita sudah bisa memproduksi pupuk dan juga obat yang cukup bagi tanaman-tanaman kita.

Setelah komposisi makanan kita sudah jelas, tinggal bagaimana kita memproduksinya dengan se efisien mungkin. Dengan lahan yang terbatas, dengan air yang sedikit dan nyaris tanpa energi-pun kita harus bisa menanam dan menghasilkan bahan makanan yang banyak – untuk memberi makan bagi milyaran penduduk dunia yang membutuhkannya.

Bagaimana dengan yang serba sedikit tersebut (lahan, air dan energi)  bisa terus tersedia bahan makanan yang cukup bagi manusia yang terus bertambahan banyak ? Inilah jawaban yang tidak sepenuhnya harus bisa dijelaskan dengan ilmu manusia – inilah yang disebut berkah.

Keberkahan hanya bisa hadir dengan keimanan dan ketakwaan, demikian pula jaminan kecukupan rezeki dari bawah kaki kita dan dari atas kita hanya terjadi bila kita mengikuti petunjuk di kitabNya.

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7:96)

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan(mendirikan/menegakkan) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS 5 :66)

Dengan berkahNya kita bisa menanam pohon atau tanaman yang sangat rindang /padat (QS 80:30) di tanah yang sempit sekalipun, tanaman kita bukan menyerap air tetapi malah memancarkan mata air (QS 36:34), bukan menghabiskan energi malah menghasilkan energi (QS 36:80 ; QS 56 :71-72 dan QS 24:35), tanaman-tanaman kita menghasilkan makanan yang cukup bagi seluruh penduduk negeri tanpa ada yang merusak lingkungan – malah sebaliknya menjadikan negeri kita negeri yang baik dan indah dan Allah-pun mengampuni dosa-dosa kita (QS 34:15). Inilah revolusi yang layak untuk kita perjuangkan bersama. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar