Biji-Bijian Yang Dimakan

Kamis, 8 Januari 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal

Sebenarnya ada petunjuk yang sangat detil dan jelas untuk setiap problem kehidupan kita, hanya saja kita sering abai terhadap petunjuk tersebut. Dalam hal pangan misalnya, negeri agraris yang sudah hampir berusia 70 tahun ini masih jungkir-balik untuk sekedar memenuhi kebutuhannya sendiri saja yang belum juga kesampaian – apalagi membantu orang lain yang negerinya gersang.  Lantas bagaimana seharusnya kebutuhan mendasar kita dalam hal pangan ini dipenuhi ? 


Kita yakin petunjuk itu ada di Al-Qur’an hanya tinggal pertanyaannya adalah bagian yang mananya yang bisa menuntun negeri ini untuk swasembada pangan. Untuk ini memang dibutuhkan utamanya ahli-ahli Al-Qur’an, kemudian juga orang yang bisa mengimplementasikannya di lapangan.

Dalam Al-Qur’an misalnya ketika Allah mengurutkan sesuatu yang sejenis atau sekelompok, maka urutan itu bukan sekedar urutan yang kebetulan. Urut-urutan itu menunjukkan tingkat kepentingan, keutamaan atau prioritas.

Misalnya ayat tentang sekelompok penerima zakat : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 9:60)

Para ulama sepakat bahwa top priority untuk penerima zakat adalah orang-orang fakir selagi ada orang fakir tersebut, kemudian orang miskin dan baru yang juga berhak berikutnya. Nah sekarang bagaimana kalau kaidah yang sama ini kita terapkan untuk solusi swasembada pangan kita ?

Ketika Allah memerintahkan kita untuk memperhatikan makanan kita (QS 80 : 24-32), urut-urutannya sebagai berikut : biji-bijian ; anggur dan tanaman bergizi; zaitun dan kurma, tanaman kebun, buah-buahan dan rerumputan.

Hal yang kurang lebih sama juga ketika kita diajari Allah untuk menghidupkan bumi yang mati (QS 36 : 33-35) dengan urutan sebagi berikut : biji-bijian yang dimakan, kurma dan zaitun.

Kita tahu bahwa biji-bijian yang disebut dalam dua surat tersebut adalah untuk biji-bijian yang dimakan karena di surat ‘Abasa memang konteksnya makanan, sedangkan di surat Yaasiin secara spesifik menyebutkan ‘…dari biji-bijian itu mereka makan’.

Dari dua surat tersebut Allah memudahkan kita agar tidak salah tanam, karena di ayat lain Allah juga memberi tahu kita bahwa ada dua jenis biji-bijian. Bij-bijian yang dimakan disebut ‘habba’, sedangkan biji-bijian yang tidak dimakan disebut ‘an-nawa’.

Sesungguhnya Allah menumbuhkan biji-bijian yang dimakan (padi-padian, kacang dlsb) dan biji-bijian yang tidak dimakan (biji kurma – tidak dimakan tetapi untuk ditumbuhkan)…” (QS 5:95)

Nah sekarang bagaimana kita meng-aplikasikan petunjuk tersebut di lapangan ? Top priority kita dalam mengelola lahan pertanian di negeri ini – agar bisa makan secara cukup – mestinya mengikuti urut-urutan dalam petunjuk tersebut.

Kita harus mengutamakan tanaman biji-bijian yang dimakan, baik itu dari jenis padi-padian maupun dari jenis kacang-kacangan. Kedua jenis tanaman ini (padi-padian dan kacang-kacangan) telah disusun sangat Indah oleh Allah dalam memenuhi kebutuhan utama kita. Perhatikan pada table di bawah.


Per 100 gr , DV = Daily Value

Padi-padian secara umum mengisi kebutuhan kita akan karbohidrat, sedangkan protein maupun lemak kurang tersedia secara cukup pada padi-padian ini. Jadi kita tidak bisa hanya fokus pada tanaman padi-padian saja, musti melengkapi dengan tanaman kacang-kacangan.

Tanaman kacang-kacangan telah dipersiapkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan kita akan protein (seperti kedelai yang berprotein sangat tinggi) dan lemak yang baik (seperti kacang tanah yang memiliki kandungan lemak/minyak yang sangat baik).

Sekarang kita bisa melihat bahwa dengan kombinasi padi-padian dan kacang-kacangan, maka kebutuhan unsur-unsur utama dari makanan kita terpenuhi dengan sangat baik.

Lantas apa yang terjadi di lapangan ? Tanaman padi di Indonesia ada sekitar 13.8 juta hektar, asumsinya per hektar bisa memproduksi 5 ton saja – maka kita bisa memproduksi sekitar 69 juta ton – jumlah yang kurang lebih cukup untuk menutupi kebutuhan kita akan karbohidrat.

Tetapi bagaimana dengan kebutuhan protein dan lemak yang baik ?, Berdasarkan datanya BPS sampai tahun 2013 Indonesia hanya punya tanaman kedelai seluas kurang lebih 551,000 ha dengan produksi rata-rata sekitar 1.42 ton/ha atau total produksi hanya sekitar 780,000 ton – jumlah yang sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan protein 250 juta penduduk.

Kacang tanah kurang lebih juga demikian, tahun 2013 kita hanya memiliki tanaman sekitar 520,000 ha dan hasil rata-rata 1.35 ton/ha atau sekitar 700,000 ton kacang tanah. Lagi-lagi ini adalah jumlah yang sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lemak yang baik dari 250 juta penduduk. Untuk kebutuhan lemak ini memang relatif ada solusinya – meskipun belum sebaik lemak dari biji-bijian, yaitu lemak dari minyak kelapa sawit.

Sekarang kita bisa melihat lebih jelas peta problem mendasar kita yaitu potensi krisis pangan yang khususnya untuk pemenuhan kebutuhan akan protein. Mau dipenuhi dari mana ?, dari protein hewani ? produksi protein hewani lebih banyak lagi membutuhkan resources berupa lahan untuk produksi pakannya  dan air.

Mau impor saja ? ada segudang masalah dengan ketergantungan impor ini. Pertama kontinyuitas supply-nya tidak terjamin, maka demikian pula dengan harganya. Kedua kita tidak tahu persis apa yang ada dalam biji-bijian impor tersebut, bahkan untuk kedelai datanya sangat kuat bahwa yang kita impor adalah kedelai GMO – yang bahanya terus perlu diwaspadai. Ketiga ya kita tidak memiliki tingkat keamanan pangan- food security – yang dibutuhkan bila kita terus bergantung pada impor.

Maka solusi terbaiknya ya kita harus mulai memprioritaskan alokasi penggunaan lahan seperti di dalam ayat-ayat tersebut di atas, fokuskan pada biji-bijian yang dimakan (padi maupun kedelai dan kacang tanah) , baru kemudian untuk tanaman-tanaman yang lain.

Dalam hal biji-bijian pun challenge-nya bukan pada produksi beras karena untuk ini sudah seharusnya kita mandiri, challenge yang sesungguhnya adalah pada biji-bijian penghasil protein tinggi seperti kedelai. Maka challenge ini juga menjadi peluang terbesar kita untuk mata pencaharian, investasi sekaligus berkhidmat untuk memenuhi kebutuhan sesame. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar