Integrasi Wakaf Dalam Ecosystem Ekonomi

Jum'at, 6 Maret 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal

Bahwasanya perbuatan baik atau amal shaleh itu nampak semakin langka di masyarakat dapat kita saksikan buktinya hari-hari ini di televisi. Berita-berita yang ada seputar begal saja seolah terintegrasi dari yang skala kecil yang dilakukan preman kampung, sampai skala ibukota negeri dalam permainan APBD – entah siapa yang memainkannya. Amal shaleh menjadi langka karena makanan masyarakat yang tidak thoyyib dari sisi zat maupun cara perolehannya. Dari mana kita bisa memperbaikinya ? salah satunya adalah melalui apa yang saya sebut wakaf kreatif !


Memperbaiki masyarakat melalui perbaikan apa yang mereka makan ini sesuai dengan perintah kepada para Rasul Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang thoyyibaat, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 23:51). Sebagaimana rusaknya makanan melalui dua jalur yaitu zat dan cara perolehannya, maka perbaikannya juga melalui dua jalur – yaitu memperbaiki zat makanan dan memperbaiki cara-cara perolehannya.

Bila makanan kita yang berupa sumber protein nabati utama – yaitu kedelai yang kita impor – dirusak dari sananya melalui perusakan keturunannya atau lebih dikenal dengan Genetically Modified Organism (GMO), maka perbaikannya adalah kita harus menggerakkan kembali kegemaran menanam kedelai yang masih alami.

Bila makanan kita yang berupa sumber protein hewani – daging sapi – kita kawatirkan telah bercampur dengan daging sapi jalalah karena maraknya iklan pakan ternak yang bersumber dari darah di majalahnya para peternak, maka perbaikannya adalah melalui menghidup-hidupkan kembali pekerjaan para nabi yang diperintahkan ke kita hingga kini yaitu menggembala.

Dengan menggembala, kita bisa yakin bahwa ternak-ternak kita makan makanan alami mereka yaitu rumput. Barangkali inilah salah satu hikmahnya mengapa menggembala adalah termasuk hal yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an : “Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54)

Katakanlah kita bisa mulai memperbaiki makanan kita yang bersifat zatnya, ini belum akan berarti banyak bila system ekonomi kita masih didominasi oleh ekonomi ribawi – apalagi bila diperburuk dengan ekonomi riswah, korupsi dan sejenisnya seperti yang tergambar dalam permainan APBD tersebut di atas.

Bagaimana kita mulai bisa merintis jalan untuk menggantikan ekonomi ribawi ini ? hanya dua jawabannya di Al-Qur’an yaitu melalui perdagangan dan melalui sedekah (QS 2:275-276). Umat harus kembali dibangkitkan kekuatan dagangnya – sebagaimana agama ini turun di masyarakat pedagang kota Makkah.

Umat juga harus dibangkitkan kekuatan sedekahnya, bukan hanya sedekah uang receh di kencleng masjid-masjid – tetapi sedekah yang massif dengan porsi yang besar dari harta terbaik kita, itulah wakaf. Bagaimana sedekah yang massif berupa wakaf ini akan bisa mengikis ekonomi ribawi ? saya buatkan ilustrasinya melalui case study industri kedelai Non-GMO – yang sebagiannya akan kami integrasikan dengan kreatifitas wakaf di jaman ini.

Wakaf Dalam Ecosystem Kedelai Non-GMO
Saya ambilkan dari studi kasus kedelai Non-GMO karena ini bisa merepresentasikan perbaikan dua jalur tersebut diatas sekaligus – yaitu perbaikan zat yang kita makan, dan perbaikan cara-cara perolehannya. Untuk mudahnya dipahami, saya akan jelaskan melalui ilustrasi integrasi wakaf dalam ecosystem ekonomi kedelai Non-GMO dibawah.

Inti dari industri kedelai Non-GMO adalah dari pengelolaan bibitnya. Kita harus bisa menemukan bibit kedelai yang masih bener-bener asli, belum dirusak oleh rekayasa genetika. Benih semacam inilah yang kita jaga dan kembangkan dengan prinsip 1/3, sehingga diharapkan kedelai yang kita tanam ini nantinya insyaAllah akan terus membaik dari waktu-kewaktu.

Ketika ditanam, kita sudah niatkan dengan prinsip 1/3 pula bahwa 1/3 hasil akan kita sedekahkan. Namun karena kita ingin multiplier effect dari sedekah ini bisa berkelanjutan, sedekah 1/3 hasil pertanian tersebut bukan untuk langsung dimakan. Sedekah ini dapat diakadkan sebagai salah satu wakaf kreatif jaman ini, yaitu dirupakan dalam bentuk wakaf modal kerja.

Sebagai wakaf modal kerja, hasil panen tersebut akan terus bisa diproses untuk menjadi produk-produk industri tempe, tahu dlsb. Produknya dijual, tetapi modal pokok dan keuntungan bersihnya diputar kembali begitu seterusnya. Hasil usaha inilah yang nantinya dipakai untuk menyantuni para fakir miskin dan mendidik/melatih para pemuda untuk bisa bekerja yang baik – agar mereka tidak memilih jalan pintas menjadi para pembegal di tingkat manapun !

Hasil usaha ini pula yang kemudian bisa dipakai untuk berbagai kegiatan amal shaleh lainnya seperti untuk membiayai kesehatan para da’i dan ustadz  - agar kalau mereka sakit tidak perlu dipaksa diobati oleh system yang ribawi. Sebab bila dana-dana riba ikut meracuni para da’i dan ustadz, kasihan jerih payah mereka tidak memberi hasil yang diharapkan – kasihan pula masyarakat yang akan kehilangan panutannya.

Wakaf Modal Kerja dan Pabrik Tahu
Wakaf kreatif yang berupa modal kerja ini akan memancing wakaf kreatif berikutnya, yaitu siapa yang akan mengadakan mesin-mesin pemroses tahu dan tempe yang bersih dan higienis ? Inilah kesempatan Anda yang memiliki kelebihan rezeki, dengan beberapa puluh juta Anda sudah bisa berwakaf dengan pabrik tahu dan tempe misalnya.

Jadi pabriknya adalah wakaf sehingga tidak perlu dibebani dengan beban riba, modal kerjanya-pun terus bertambah selain dari sebagian keuntungan yang diputar kembali – juga akan terus ada injeksi modal baru dari 1/3 panenan-panenan berikutnya yang memang sedari awal sudah diniatkan untuk diwakafkan.

Apakah langkah ini akan meaningful dalam memperbaiki kerusakan yang ada di  masyarakat seperti diungkapkan di awal tulisan ini ? Wa Allahu A’lam, kita hanya mulai melakukan perbaikan yang kita bisa. Tetapi secara hitung-hitungan manusia-pun ini dimungkinkan.

Pertama, bila masyarakat berlomba menemukan cara terbaik untuk beramal shaleh antara lain dengan wakaf pabrik-pabrik tahu dan tempe – maka akan bermunculan industri tahu dan tempe yang berbasis wakaf ini. Industri ini insyaAllah juga tidak akan kekurangan modal kerja, karena ada wakaf kreatif lainnya yaitu wakaf modal kerja yang diambilkan dari 1/3 hasil panenan kedelai yang ditanam.

Kedua, potensi industri kedelai sebagai sumber protein utama negeri ini mencapai hampir Rp 60 trilyun  atau sekitar 0.5 % dari GDP kita, bila sebagian saja dari potensi ini digerakkan oleh dana wakaf – maka ini akan bisa menjadi cikal bakal yang sangat baik – tentang bagaimana kita bisa mulai mengantikan sedikit-demi sedikit ekonomi ribawi kita dengan ekonomi yang berbasis sedekah khusus berupa wakaf.

Dengan demikian kita akan bisa mulai melangkah secara konkrit, bagaimana perbaikan – perbaikan makanan itu bisa bener-bener kita mulaki lakukan, baik dari sisi zatnya maupun dari sisi cara perolehannya. Dengan perbaikan makanan inilah nantinya masyarakat akan menjadi ringan untuk beramal shaleh berikutnya.

Saya bayangkan suatu saat nanti, tontonan di televisi kita akan dipenuhi oleh ide-ide kreatif masyarakan dalam beramal shaleh – berwakaf kreatif untuk mengatasi problem-problem yang nyata di masyarakat. Masyarakat perlu tontonan yang menginspirasi untuk berbuat baik, bukan sebaliknya – tontonan yang membuat kita stress dan bahkan menginspirasi sebagian masyarakat untuk meniru perbuatan jahat. Na’udzubillahi min dzalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar