Oleh: Muhaimin Iqbal
Bahwasanya perbuatan baik atau amal shaleh itu nampak semakin langka di masyarakat dapat kita saksikan buktinya hari-hari ini di televisi. Berita-berita yang ada seputar begal saja seolah terintegrasi dari yang skala kecil yang dilakukan preman kampung, sampai skala ibukota negeri dalam permainan APBD – entah siapa yang memainkannya. Amal shaleh menjadi langka karena makanan masyarakat yang tidak thoyyib dari sisi zat maupun cara perolehannya. Dari mana kita bisa memperbaikinya ? salah satunya adalah melalui apa yang saya sebut wakaf kreatif !
Memperbaiki masyarakat melalui perbaikan apa yang mereka makan ini sesuai dengan perintah kepada para Rasul “Hai
para Rasul, makanlah dari makanan yang thoyyibaat, dan kerjakanlah amal
shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS 23:51). Sebagaimana rusaknya makanan melalui dua jalur yaitu zat dan
cara perolehannya, maka perbaikannya juga melalui dua jalur – yaitu
memperbaiki zat makanan dan memperbaiki cara-cara perolehannya.
Bila
makanan kita yang berupa sumber protein nabati utama – yaitu kedelai
yang kita impor – dirusak dari sananya melalui perusakan keturunannya
atau lebih dikenal dengan Genetically Modified Organism (GMO), maka perbaikannya adalah kita harus menggerakkan kembali kegemaran menanam kedelai yang masih alami.
Bila makanan kita yang berupa sumber protein hewani – daging sapi – kita kawatirkan telah bercampur dengan daging sapi jalalah karena
maraknya iklan pakan ternak yang bersumber dari darah di majalahnya
para peternak, maka perbaikannya adalah melalui menghidup-hidupkan
kembali pekerjaan para nabi yang diperintahkan ke kita hingga kini yaitu
menggembala.
Dengan
menggembala, kita bisa yakin bahwa ternak-ternak kita makan makanan
alami mereka yaitu rumput. Barangkali inilah salah satu hikmahnya
mengapa menggembala adalah termasuk hal yang diperintahkan di dalam
Al-Qur’an : “Makanlah
dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian
itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54)
Katakanlah
kita bisa mulai memperbaiki makanan kita yang bersifat zatnya, ini
belum akan berarti banyak bila system ekonomi kita masih didominasi oleh
ekonomi ribawi – apalagi bila diperburuk dengan ekonomi riswah, korupsi
dan sejenisnya seperti yang tergambar dalam permainan APBD tersebut di
atas.
Bagaimana
kita mulai bisa merintis jalan untuk menggantikan ekonomi ribawi ini ?
hanya dua jawabannya di Al-Qur’an yaitu melalui perdagangan dan melalui
sedekah (QS 2:275-276). Umat harus kembali dibangkitkan kekuatan
dagangnya – sebagaimana agama ini turun di masyarakat pedagang kota
Makkah.
Umat
juga harus dibangkitkan kekuatan sedekahnya, bukan hanya sedekah uang
receh di kencleng masjid-masjid – tetapi sedekah yang massif dengan
porsi yang besar dari harta terbaik kita, itulah wakaf. Bagaimana
sedekah yang massif berupa wakaf ini akan bisa mengikis ekonomi ribawi ?
saya buatkan ilustrasinya melalui case study industri kedelai Non-GMO – yang sebagiannya akan kami integrasikan dengan kreatifitas wakaf di jaman ini.
Inti
dari industri kedelai Non-GMO adalah dari pengelolaan bibitnya. Kita
harus bisa menemukan bibit kedelai yang masih bener-bener asli, belum
dirusak oleh rekayasa genetika. Benih semacam inilah yang kita jaga dan
kembangkan dengan prinsip 1/3, sehingga diharapkan kedelai yang kita tanam ini nantinya insyaAllah akan terus membaik dari waktu-kewaktu.
Ketika ditanam, kita sudah niatkan dengan prinsip 1/3 pula bahwa 1/3 hasil akan kita sedekahkan. Namun karena kita ingin multiplier effect
dari sedekah ini bisa berkelanjutan, sedekah 1/3 hasil pertanian
tersebut bukan untuk langsung dimakan. Sedekah ini dapat diakadkan
sebagai salah satu wakaf kreatif jaman ini, yaitu dirupakan dalam bentuk
wakaf modal kerja.
Sebagai
wakaf modal kerja, hasil panen tersebut akan terus bisa diproses untuk
menjadi produk-produk industri tempe, tahu dlsb. Produknya dijual,
tetapi modal pokok dan keuntungan bersihnya diputar kembali begitu
seterusnya. Hasil usaha inilah yang nantinya dipakai untuk menyantuni
para fakir miskin dan mendidik/melatih para pemuda untuk bisa bekerja
yang baik – agar mereka tidak memilih jalan pintas menjadi para pembegal
di tingkat manapun !
Hasil
usaha ini pula yang kemudian bisa dipakai untuk berbagai kegiatan amal
shaleh lainnya seperti untuk membiayai kesehatan para da’i dan ustadz -
agar kalau mereka sakit tidak perlu dipaksa diobati oleh system yang
ribawi. Sebab bila dana-dana riba ikut meracuni para da’i dan ustadz,
kasihan jerih payah mereka tidak memberi hasil yang diharapkan – kasihan
pula masyarakat yang akan kehilangan panutannya.
Jadi
pabriknya adalah wakaf sehingga tidak perlu dibebani dengan beban riba,
modal kerjanya-pun terus bertambah selain dari sebagian keuntungan yang
diputar kembali – juga akan terus ada injeksi modal baru dari 1/3
panenan-panenan berikutnya yang memang sedari awal sudah diniatkan untuk
diwakafkan.
Apakah langkah ini akan meaningful dalam memperbaiki kerusakan yang ada di masyarakat seperti diungkapkan di awal tulisan ini ? Wa Allahu A’lam, kita hanya mulai melakukan perbaikan yang kita bisa. Tetapi secara hitung-hitungan manusia-pun ini dimungkinkan.
Pertama,
bila masyarakat berlomba menemukan cara terbaik untuk beramal shaleh
antara lain dengan wakaf pabrik-pabrik tahu dan tempe – maka akan
bermunculan industri tahu dan tempe yang berbasis wakaf ini. Industri
ini insyaAllah juga tidak akan kekurangan modal kerja, karena ada wakaf
kreatif lainnya yaitu wakaf modal kerja yang diambilkan dari 1/3 hasil
panenan kedelai yang ditanam.
Kedua, potensi industri kedelai sebagai sumber protein utama negeri ini mencapai hampir Rp 60 trilyun atau sekitar 0.5 % dari GDP kita,
bila sebagian saja dari potensi ini digerakkan oleh dana wakaf – maka
ini akan bisa menjadi cikal bakal yang sangat baik – tentang bagaimana
kita bisa mulai mengantikan sedikit-demi sedikit ekonomi ribawi kita
dengan ekonomi yang berbasis sedekah khusus berupa wakaf.
Dengan
demikian kita akan bisa mulai melangkah secara konkrit, bagaimana
perbaikan – perbaikan makanan itu bisa bener-bener kita mulaki lakukan,
baik dari sisi zatnya maupun dari sisi cara perolehannya. Dengan
perbaikan makanan inilah nantinya masyarakat akan menjadi ringan untuk
beramal shaleh berikutnya.
Saya
bayangkan suatu saat nanti, tontonan di televisi kita akan dipenuhi
oleh ide-ide kreatif masyarakan dalam beramal shaleh – berwakaf kreatif
untuk mengatasi problem-problem yang nyata di masyarakat. Masyarakat
perlu tontonan yang menginspirasi untuk berbuat baik, bukan sebaliknya –
tontonan yang membuat kita stress dan bahkan menginspirasi sebagian
masyarakat untuk meniru perbuatan jahat. Na’udzubillahi min dzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar