Nasrettin Hoca

Rabu, 11 Februari 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal 

Dalam suatu kunjungan ke Panorama – Musium Al-Fatih – Turki , saya menyempatkan mampir di toko buku yang ada di dalam bangunan museum tersebut. Sayangnya semua buku berbahasa Turki kecuali satu yang berbahasa Inggris, yaitu buku berjudul Nasrettin Hoca (dibaca Ho-dja yang artinya guru) - Hoca ini adalah tokoh humor dan satire di Turki sejak abad ke 13. Cerita-cerita tentang Hoca yang penuh anecdote – rupanya merupakan imaginasi kolektif bangsa Turki untuk mengatasi masalah hidup yang berat dan kompleks dengan cara mentertawakannya.



Dikisahkan misalnya bagaimana suatu hari Hoca ditolak datang pada suatu hajatan karena pakaiannya yang kumal. Lalu dia pulang dan mengambil pakaian terbaiknya dari bulu kemudian balik ketempat hajatan, dia disambut sangat baik dan ditempatkan di tempat duduk yang istimewa.

Ketika disajikan makanan, Hoca mengambilnya kemudia bicara pada pakian bulunya – “ makan ini , makan ini”. Orang yang berada di sekitarnya penasaran dan bertanya – “mengapa kamu lakukan itu ? pakaian bulumu kan tidak bisa makan ?” Hoca menjelaskan bahwa yang berhak makan sebenarnya pakaian bulu dia, karena ketika dia datang tanpa pakian tersebut – dia ditolak masuk di jamuan ini.

Bukankah sehari-hari kita juga mengalami hal ini ? Orang sering men-judge kita berdasarkan pakaian yang kita pakai, mobil yang kita kendarai, uang yang kita miliki, jabatan yang kita pegang dlsb. Bukankah semua itu hanya topeng di permukaan, sedangkan nilai yang sesungguhnya ada di jati diri kita ?

Dalam kesempatan lain datang ke Hoca orang dusun yang tidak bisa baca tulis membawa sebuah surat, dia minta tolong Hoca untuk membacakan isi surat tersebut. Setelah membukanya Hoca kaget karena tulisan dan bahasanya tidak dia kenali, dia minta maaf kepada orang dusun tersebut bahwa dia tidak bisa membacanya.

Si orang dusun kecewa dan mengomeli Hoca, “seharusnya kamu malu dengan sorban kamu – masak tidak bisa membaca surat ini”. Hoca kemudian mencopot sorbannya dan memasangnya ke kepala si orang dusun sambil berkata : “sekarang kamu sudah memakai surban, baca sendiri suratmu”.

Ini mengingatkan kita pada sejumlah majlis yang menempatkan orang berdasarkan jubah yang dipakainya. Sampai suatu saat saya kaget disalami dan dipeluk oleh orang yang berjubah besar dan bicara sangat akrab, saya tidak mengenalinya sampai dia menyebutkan namanya.

Ternyata dulu dia teman saya yang biasa saja, tetapi kini memiliki majlis dzikir sendiri – oleh karenanya dia harus mengubah tampilannya. Tampilan mungkin memang perlu, tetapi lebih penting dari itu adalah bertambahnya ilmu.

Suatu saat Hoca kecurian keledainya dan para tetangga berdatangan untuk mengetahui kisahnya. Setelah dia bercerita panjang lebar tentang kejadiannya, semua tetangganya menyalahkan Hoca : “itu karena kamu tidak melakukan ini, itu, dst”.

Setelah tetangganya puas menyalahkan dia, Hoca angkat bicara : “ kalian ini bagaimana, saya yang kecurian keledai – malah saya yang salah ? bukankah yang salah mestinya adalah pencuri yang mencuri keledai saya ?

Ini mengingatkan kita pada sikap terhadap orang lain yang tertimpa musibah, kita sering menyalah-nyalahkannya bukan malah menolongnya. Mencari tahu penyebab suatu musibah memang perlu agar tidak berulang, tetapi musibah yang sudah terjadi harus segera diatasi.

Dalam suatu prosesi pemakaman, orang berdebat tentang dimana seharusnya berjalan, di depan keranda, dibelakangnya, dikirinya atau di kanannya. Karena perdebatan tidak usai, lantas orang-orang bertanya ke Hoca untuk menengahi – dimana seharusnya orang-orang tersebut berada.

Jengkel dengan pertanyaan ini Hoca menjawab : “Di mana saja tidak masalah, selagi kamu bukan yang berada di dalam keranda !” Ini mengingatkan kita tentang perdebatan-perdebatan yang tidak perlu, sementara hal yang esensial tidak kita laksanakan.

Hoca punya dua anak laki-laki, yang satu pekebun dan yang satu perajin keramik. Ketika berkunjung ke anak pertama yang pekebun, Hoca menanyakan bagaimana kebun dia. Anaknya menjawab dengan antusias : “ Tahun ini saya banyak sekali menanam aneka tanaman di kebun saya, bila hujun turun maka hasil panenan saya akan baik. Bila tidak hujan, ibu akan bercururan air mata untuk saya (sedih karena kegagalan anaknya)”.

Lalu dia datang ke anak kedua dan menanyakan hal yang sama, bagaimana hasil kerajinan keramiknya. Anak yang kedua juga menjawab dengan antusias : “ saya sudah membuat begitu banyak keramik, bila tidak turun hujan – maka hasil keramik tersebut akan baik. Bila turun hujan, ibu akan bercucuran air mata untuk saya”.

Setelah Hoca pulang, istrinya bertanya apa kabar dengan anak-anak yang baru dikunjunginya. Hoca menjawab dengan muka sedih : “Begini istriku, semuanya buruk untukmu – bila hujan tidak turun kamu akan bercucuran air mata untuk anak pertama, bila hujan turun  kamupun akan bercucuran air mata untuk anak yang kedua”.

Begitulah peran ibu, dia rela mengorbankan seluruh kebahagiaannya demi untuk anaknya – maka jasa ibu ini tidak akan pernah bisa dibayar oleh si anak. Ketika masalah hidup begitu kompleks, menyederhanakannya dengan cerita imajinatif  atau bahkan belajar mentertawakannya, barangkali akan membantu. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar