Muslim ‘Minoritas’…

Senin, 30 Maret 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal

Menurut data CIA, umat Islam di Indonesia saat ini secara jumlah masih berada pada angka 87.2 %. Namun dalam kekuatan ekonomi, sangat bisa jadi kita sudah menjadi ‘minoritas’ di negeri ini. Hal ini dapat kita rasakan betul ketika kita sedang berada di pusat-pusat bisnis di kota besar seperti Jakarta. Bila ada tamu negara yang datang ke negeri ini, sejak turun pesawat, sampai masuk kota, Jl. Sudirman, Thamrin dan kemudian Istana – dia tidak menyaksikan adanya masjid di jalan-jalan utama yang dilaluinya tersebut.


Hal ini juga berlaku bagi kita yang tidak bekerja di kantoran di pusat kota Jakarta, tidak mudah untuk menemukan tempat berhenti yang enak untuk sholat – bila lagi ada urusan di pusat kota.

Jum’at pekan lalu saya mengalami ini, ada urusan di pusat kota dan selesai nanggung jam 10 siang hari Jum’at. Saya pikir akan sampai di Depok sebelum sholat Jum’at untuk bisa sholat di Masjid komplek.

Ternyata jalanan macet luar biasa, sejak di jalan Thamrin, Sudirman dan bahkan jalan tol di Gatot Subroto. Rata-rata perkantoran sebenarnya punya tempat sholat Jum’at, tetapi pada umumnya di design hanya cukup untuk memfasilitasi para karyawan di gedungnya masing-masing. Untuk masuk numpang sholat di gedung-gedung tersebut, nyari parkirnya saja sudah setengah mati.

Alhamdulillah di Gatot Subroto masih ada masjid di pinggir jalan yang lumayan besar, tetapi lagi-lagi – perjuangan tersendiri untuk bisa memperoleh parkir di Masjid tersebut pada hari Jum’at.

Saya mutuskan untuk masuk tol dan mengejar untuk sampai At Tien yang lebih bersahabat dari sisi parkir, tetapi kemacetan menghadang sejak menjelang keluar pintu Taman Mini. Yang paling memungkinkan berikutnya adalah sholat Jum’at di rest area menjelang Cibubur, Alhamdulillah masih mengejar untuk bisa sholat Jum’at di rest area tersebut.

Bayangkan sekarang orang-orang yang bermacet ria di jalan-jalan tersebut. Karena 87.2 % penduduk negeri ini adalah Muslim, maka mayoritas yang macet di jalan pada jam sholat Jum’at tersebut pastinya juga adalah Muslim.

Sangat bisa jadi mereka juga sangat ingin mengejar sholat Jum’at  di tengah kesibukan urusannya, tetapi berapa banyak yang akhirnya tidak bisa mendapatkan tempat parkir dan kemudian juga ketinggalan sholatnya.

Bayangkan sekarang kehidupan keseharian karyawan umumnya di kantor-kantor di Jakarta. Jam kantor selesai rata-rata jam 5, dan kebanyakan langsung pulang pada jam tersebut. Hampir pasti magrib mereka masih di jalan, dan bahkan kemungkinan besarnya Isya-pun masih di Jalan.

Mayoritasnya muslim dan sebagian besarnya pasti ingin bisa sholat tepat waktu secara khusu’, tetapi di mana mereka bisa melakukan ini ? jalan-jalan utama kita tidak bersahabat – untuk bisa sekedar parkir kemudian sholat.

Tidak hanya di kota besar seperti Jakarta, di pinggiran kotanya seperti Depok-pun demikian. Di Jalan utamanya kota Depok – yaitu jalan Margonda, tidak Anda jumpai ada Masjid yang Anda mudah parkir kemudian sholat di dalamnya. Yang paling mungkin adalah mampir ke Mall, kemudian mencari pojok mall tersebut yang digunakan untuk Musholla ala kadarnya.

Saya membayangkan alangkah indahnya kalau ada Masjid sebesar At Tien – lengkap dengan halaman parkir yang memadai, tetapi lokasinya di kanan dan kiri Jalan Thamrin, di kanan dan kiri Jalan Sudirman begitu seterusnya sehingga negeri yang mayoritas mulim ini bisa melayani kebutuhan rakyatnya untuk bisa beribadah dengan baik.

Tentu ini tidak mudah karena kavling-kavling di jalan utama sudah dimiliki para konglomerat , tetapi pemerintah mestinya bisa membantu. Pembayar pajak mayoritas kan muslim juga, apa salahnya bila beberapa puluh trilyun diantaranya dipakai untuk membebaskan lahan dan membangun Masjid-Masjid di jalan-jalan utama.

Daya tawar Muslim-pun besar khususnya pada musim pemilu dan pilkada, tinggal mencantumkan syarat pada calon yang didukungnya – harus memperhatikan kebutuhan muslim untuk bisa beribadah secara kongkrit. Pilkada DKI yang akan datang misalnya, pemilih muslim mensyaratkan dibangunnya Masjid-Masjid yang memadai tempat sholat dan parkirnya di kanan dan kiri setiap jalan utama  Jakarta.

Pilkada Depok juga demikian, saya akan mau ikut menggerakkan komunitas saya untuk calon yang berjanji bahwa dalam 5 tahun kepemimpinannya minimal akan membangun masjid yang nyaman dengan tempat parkirnya di kanan-kiri jalan Margonda dan kanan– kiri Jalan Juanda – yang sekarang semakin rame dan macet bersamaan dengan dibukanya tol baru Cijago.

Anda dapat lakukan hal yang sama di daerah Anda masing-masing, agar Muslim ini tidak hanya dirayu untuk memilih pasangan calon tertentu di musim Pemilu dan Pilkada tetapi setelah itu dilupakan – tidak ada program konkrit yang berpihak kepada kebutuhan Muslim.

Bila plan A yaitu mengharapkan para pemimpin nasional maupun kepala  daerah untuk memperhatikan kebutuhan Muslim ini tidak bisa jalan, mungkin ada hikmahnya juga. Karena anggaran pemerintah utamanya adalah dari pajak dan dari obligasi pemerintah. Untuk pajak kebanyakan orang kurang rela membayarnya, jadi mungkin bukan sumber yang baik untuk membangun masjid. Obligasi apalagi, dia pinjaman yang mengandung riba – masa untuk membangun masjid ?

Maka Plan B-lah yang paling memungkinkan, yaitu menggerakkan sumber dana yang sama dengan sumber dana yang digunakan untuk membangun Masjid-Masjid dari dahulu hingga sekarang – yaitu dana wakaf.

Kita perlu lebih proaktif dan kreatif menggerakkan sumber-sumber kekuatan umat ini agar Muslim yang secara jumlah masih mayoritas ini, tidak menjadi semakin minoritas dari sisi kekuatan riilnya. Tidak adanya Masjid yang layak singgah untuk para musafir di jalan-jalan utama kota-kota besar Indonesia tersebut, bisa jadi hanyalah puncak gunung es – dari masalah yang lebih besar dari ini.

Dari kunjungan ceramah saya ke suatu daerah dua pekan lalu, saya terkejut mendengar dari pejabat setempat bahwa ada pengusaha kaya di daerah tersebut yang memiliki kelolaan hutan 800,000 hektar. Tahukah Anda seberapa luas 800,000 hektar ini ? luas wilayah Depok yang dihuni 1.8 juta jiwa hanya  200 km2 atau 20,000 hektar. Artinya wilayah yang dikuasai oleh pengusaha tersebut adalah 40 kali luas Depok !

Lebih dari itu, saya juga mendengar langsung dari seorang mantan menteri yang menuturkan bahwa ada lho pengusaha Indonesia yang menguasai lahan di negeri ini seluas kerajaan Inggris !

Kami berusaha membangkitkan kembali kekuatan wakaf ini dengan gerakan Waqf Indonesia atau waqf.id , hanya saja karena kekuatan kami sendiri yang serba terbatas – kami mengundang teman-teman yang mau menyumbangkan waktunya untuk merintis gerakan ini.

Untuk sementara saat ini yang kami perlukan adalah anak-anak muda yang kreatif, berlatar belakang IT diutamakan atau paling tidak familiar dengan pengelolaan web – untuk membantu kami mengelola web yang hampir jadi – untuk mempromosikan gerakan Waqf Indonesia ini.

Kita ingin anak cucu kita bisa merasakan kembali nuansa nikmatnya Masjid – meskipun mereka berkarir di pusat-pusat kota. Ini diperlukan gerakan besar dan ini baru puncak gunung es-nya. Bila kita bisa menghadirkan Masjid di pusat-pusat kota, sangat bisa jadi kita juga bisa kembali menguasai sumber-sumber kekuatan ekonomi lainnya seperti pasar, hutan dlsb. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar