Mencegah Generasi Next To Nothing

Kamis, 27 April 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal

Hampir semua ilmu itu kini tersedia bebas untuk bisa kita pelajari di belantara dunia maya, namun ini tidak menjadi jaminan bahwa orang yang hidup di jaman ini menjadi lebih cerdas dalam mengatasi perbagai persoalan hidupnya. Bahkan kini muncul generasi yang next to nothing (NTN) – sangat sedikit menguasai sesuatu. Banyak sekali pekerjaan terbuka, tetapi serba tidak bisa dilakukannya – disuruh bekerja ini tidak bisa, yang itu-pun tidak bisa. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan generasi NTN ini ?


Bisa jadi mereka rajin berjam-jam berinteraksi dengan dunia maya, tetapi mereka tidak belajar sesuatu. Bisa jadi mereka lulusan perguruan tinggi ternama, lagi-lagi mereka tidak belajar sesuatu. Maka waktu yang ditempuh dalam seluruh proses yang seharusnya menambah ilmu dan ketrampilannya, terbuang sia-sia.

Dunia bisa berubah dengan sangat cepat di era teknologi informasi, tetapi proses menuntut ilmu dan mengembangkan ketrampilan tidak berubah. Metode paling efektif-nya exactly the same dengan yang diajarkan oleh Allah kepada utusan terakhirnya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Melalui ayat yang pertama turun Iqra’ – bacalah ! ini jendela ilmu terbuka untuk pertama kalinya. Maka dengan melimpahnya sumber ilmu di dunia maya, kita bisa mempelajari apa saja apabila kita rajin membaca.

Tetapi membaca saja tentu tidak cukup bila dia tidak membekas dalam pikiran kita, maka kita juga harus memiliki daya ingat yang baik untuk bisa mengingat apa yang kita baca. Bahkan ada sumber segala sumber ilmu yang dijamin mudah diingat atau dihafalkan – yaitu Al-Qur’an.

Sampai empat kali Allah mengulang ayat yang sama :   Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran (diingat), maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al-Qamar : 17,22,32,40).

Dibaca saja Al-Qur’an sudah memberi manfaat, dihafalkan tentu lebih baik lagi bagi yang mau melakukannya – tetapi lebih dari itu karena Al-Qur’an juga merupakan jawaban untuk seluruh persoalan kehidupan (QS 16:89), dia juga harus dipahami. Bagaimana menjawab persoalan jaman bila tidak memahami petunjuk yang senantiasa valid untuk itu ?

Tetapi hanya sampai paham juga belum menyelesaikan persoalan, masalah yang perlu dihadapi di masyarakat adalah konkrit – maka solusinya juga harus konkrit. Seperti konon ungkapan para wali dalam menyelesaikan tantangan dakwahnya di Jawa :  sing udo klambenono, sing luwe pakanono, sing ngelak ombenono, sing kudanan/kepanasan payungono – yang telanjang berilah pakaian, yang lapar berilah makan, yang haus berilah minum, yang kehujanan/kepanasan berilah payung (rumah) !

Dalam berusaha mengamalkan ayat-ayatNya inipun jalannya tidak selalu mudah, ujian demi ujian bisa saja datang. Justru pada tingkat pengamalan inilah resiko itu mulai hadir, sebab kalau baru paham saja belum ada resikonya. Seperti Anda belajar usaha, apapun yang Anda pelajari belum mendatangkan resiko karena Anda belum berbuat. Tetapi begitu Anda terjun langsung dengan usaha yang sesungguhnya, sejak pertama kalinya terjun tersebutlah resiko sudah  menemani Anda.

Maka dari waktu kewaktu kita juga harus selalu melakukan evaluasi atau muhasabah, petunjuk yang datang dariNya sudah dijamin kebenarannya – hanya pemahaman dan pengamalan kita yang bisa saja keliru. Muhasabah dari waktu kewaktu inilah media untuk meluruskan kembali kekeliruan-kekeliruan tersebut.

Dari muhasabah ini pula akan timbul kebutuhan untuk memverifikasinya dengan sumbernya yang semula, yaitu bacaan kita tadi. Maka siklus ini akan terus berulang :Membaca è Mengingat/Menghafalkan è Memahami èMengamalkan è Mengevaluasi dst.

Bagimana kalau kita tidak lakukan ini ? kita tidak mulai membaca dan membaca ? Kita akan menjadi masyarakat ummiyyun seperti kaum Yahudi yang disindir Allah dalam ayat berikut :

Dan di antara mereka ada yang ummiyyun (buta huruf), tidak mengetahui Al Kitab , kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS 2:78)

Tantangan umat jaman ini tentu bukan lagi buta huruf dalam arti tidak bisa membaca, tantangannya adalah bagaimana mendorong agar umat mau membaca banyak-banyak – sebagai titik awal masuknya petunjuk. Petunjuk yang ada di depan mata-pun tidak ada gunanya bila kita tidak mulai membacanya.

Seperti pepatah itik mati di lumbung padi, generasi next to nothing justru lahir di era informasi. Tidak ada jalan untuk untuk mencegahnya kecuali dengan mengikuti petunjukNya yang dicontohkan langsung dengan perintah Iqra’ – bacalah. Dan tentu kita juga sepakat bahwa tidak ada bacaan lain yang lebih baik dari Kitabullah – Al-Qur’anul Karim, maka sudah seharusnyalah membaca Al-Qur’an harus kita berikan prioritas yang terbesar dari segala yang kita baca. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar