Rekonstruksi Pertanian Untuk Ketahanan Pangan

Jum'at, 22 Mei 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Beberapa tahun lalu Chinese Academy of Science mengadakan workshop menarik di Beijing, judulnya adalah Workshop on Agriculture Culture and Sustainable Development in Asia. Yang menarik bukan workshopnya sendiri, tetapi ada subject khusus yang menghadirkan pembicara seorang professor Sejarah Ekonomi dari University of Toronto  - Canada.  Apa menariknya ? Sang professor yang sudah sepuh sekali ini diundang dari tempat yang sangat jauh khusus untuk membahas sejarah inovasi pertanian di dunia Islam, bagaimana terjadinya dan mengapa inovasi tersebut berhenti !



Professor tersebut adalah Andrew M. Watson – yang memang sangat menguasai sejarah pertanian Islam  - karena dialah yang lebih dari 30 tahun sebelumnya menerbitkan buku dengan judul : “Agricultural Innovation in the Early Islamic World , The diffusion of crops and farming techniques, 700-1100” (Cambridge University Press, New York 1983). Angka 700-1100 adalah menunjukkan rentang angka tahun yang dikajinya.

Jadi sang professor tersebut memang sangat fasih menguasai sejarah kemajuan inovasi pertanian Islam dalam rentang waktu yang sangat lama yaitu selama lebih dari empat abad antara awal abad ke 8 Masehi (abad 2 H) sampai awal abad 12 Masehi (6 H).

Sang professor-pun mengakui bahwa di rentang waktu yang sangat panjang tersebut, memang pertanian Islam-lah yang maju. Dia mencatat misalnya, di masa sebelum Islam, pertanian bangsa Romawi, Byzantium dlsb. masih sangatlah sederhana. Paling banter lahan hanya dipakai sekali dalam satu tahun, dan lebih seringnya hanya sekali dalam dua tahun.

Petani-petani dalam wilayah Romawi enggan menguasai lahan karena pajak tanah yang tinggi – terlepas apakah tanah menghasilkan ataupun tidak, bahkan mereka banyak yang lebih suka hidup tanpa peradaban – berpindah-pindah, berburu, memetik hasil hutan – juga antara lain karena pajak tanah yang tinggi ini.

Ketika Islam mulai memperluas wilayahnya ke barat dan ke timur, terbentanglah wilayah dari Asia Tenggara sampai Afrika Utara dan bahkan melalui Spanyol sampai ke sebagian Eropa, sejak saat itulah perlakuan terhadap pemilik tanah menjadi sangat berbeda. Mereka tidak lagi terkena pajak atas tanah, tetapi hanya terkena kalau tanah tersebut menghasilkan – yaitu berupa zakat pertanian.

Lebih dari itu kepemilikan tanah terjamin, bahkan sampai ke anak cucu karena adanya hukum waris yang melindunginya. Dengan system kepemilikan dan pajak yang sangat berbeda inilah maka di negeri yang sudah masuk dalam kekuasaan Islam, rakyat bersemangat mengolah lahan dan bertani.

Semangat ini juga menular kepada kaum pedagang yang menempuh perjalanan jauh, mereka menjadi gemar membawa ‘oleh-oleh’ berupa aneka bibit tanaman yang aneh-aneh yang sebelumnya tidak dikenal di daerah mereka. Misalnya pedagang yang sampai India dan Asia Tenggara ,  mereka membawa bibit beras dan bahkan tebu sampai ke negeri Magribi – Maroko, juga sampai ke Spanyol dan Eropa lainnya.

Karena padi dan tebu biasa tumbuh di daerah yang banyak hujannya, tanaman-tanaman ini membutuhkan air yang banyak – yang tidak mudah tersedia di negeri-negeri barunya. Apa yang terjadi ? bukannya kendala ini menghentikan niat mereka – malah sebaliknya mereka menemukan berbagai cara untuk membangun system pengairan yang canggih di jaman itu !

Itulah sebabnya mengapa tidak mengherankan ketika Ibnu Awwam menulis Kitab Al-Filaha pada awal abad 12 (6 Masehi)– yang merupakan kitab paling lengkap yang mendokumentasikan praktek pertanian sejak empat abad sebelumnya – antara lain juga menjelaskan tata cara menanam tebu, padi dlsb.

Ketika inovasi-inovasi muslim yang agung ini menjadi referensi dan minat tersendiri bagi kalangan ilmuwan abad terakhir seperti Proferssor Watson dan Chinese Academy of Science tersebut, akan sangat mengherankan bila kita umat Islam sendiri justru tidak tergerak untuk menghidupkan kembali kejayaan Islam antara lain melalui dunia pertanian ini.

Maka dari sinilah kita sekarang ingin memulai, sebagaimana kaidah yang diikuti para ulama dahulu – yaitu memulai dari yang diakhiri. Kita tinggal meneruskan di jaman ini, pencapaian-pencapaian ulama-ulama sebelumnya yang telah begitu komprehensif mengembangkan pertanian yang sangat modern untuk jamannya.

Bahkan semua istilah keren yang kini digandrungi oleh banyak petani modern seperti  permaculture, organic farming, natural farming, sustainable agriculture dlsb. sesungguhnya hanyalah baru sebagian kecil dari Islamic Agriculture yang meliputi aspek yang sangat luas dari dunia pertanian.

Tetapi masalahnya adalah dari mana kita akan memulai membangun kembali  system pertanian Islam ini sekarang ?, lha wong kitab-kitab karya ulma-ulama terdahulu-pun sudah berserakan – sangat sedikit yang tersisa dan lebih sedikit lagi yang kita kuasai.

Namun alhamdulillah bermula dari yang serba sedikit tersebut, insyaAllah akan bisa kita rekonstruksi kembali kejayaan pertanian Islam ini oleh umat ini sendiri. Agar tidak menjadi ironi bila yang mereknostruksi-nya justru orang lain seperti professor Watson dan Chinese Academy of Science tersebut di atas.

Untuk mudahnya kita mulai, dan memudahkan orang lain untuk memahami sehingga juga bisa membantu – maka rekonstruksi system pertanian Islam itu saya visualisasikan dalam kerangka bangunan 3 D disamping. Saya sederhanakan bentuknya menjadi tenda supaya tidak terlalu njlimet.

Fondasi adalah  yang menentukan  kekokohan suatu bangunan, dan dari fondasi inilah system pertanian Islam memang secara fundamental berbeda dengan system yang di luar Islam. Fondasi pertanian Islam adalah Iman, Takwa, Tawakkal, Sholat, Taubat dan Infaq.

Al-Qur’an adalah kitab yang sangat lengkap, petunjuk dan jawaban untuk seluruh persoalan manusia (QS 16:89) – maka di bidang pertanian-pun petunjukNya itu sangat lengkap dan detil. Bila kita hayati ketika kita membacanya, insyaAllah kita akan menemukan begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengkaitkan langsung  ataupun tidak langsung antara dunia pertanian dengan fondasi-nya tersebut.

Kita butuh fondasi iman dan takwa karena tanpa  iman dan takwa ini, kita tidak akan bisa menerima petunjuk utama kita yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an adalah petunjuk yang hanya berlaku bagi orang yang beriman dan bertakwa (QS 2 :2-4), sehingga janji Allah untuk keberkahan dari bumi dan langit juga hanya berlaku bagi orang yang beriman dan bertakwa ini (QS 7:96). Dengan keimanan dan ketakwaan inilah kita akan bisa mematuhi segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-laranganNya.

Kita butuh tawakkal kepada Allah karena peran kita dalam menumbuhkan tanaman sebenarnya hanya sangat-sangat sedikit. Hanya melubangi tanah kemudian meletakkan benih, sedangkan yang bisa menumbuhkan hanyalah Allah semata (QS 6:95). Dan ketika kita bertawakkal, maka Allah akan mencukupi kebutuhan kita (QS 65:3).

Ketika kita sombong dan merasa semua adalah karya kita – karena ilmu kita, maka kita diingatkan oleh Allah atas kebun yang sangat indah tetapi dengan mudah dihancurkan oleh Allah karena kesombongan pemiliknya. Pemiliknya lupa tidak mengucapkan Masya Allah. La Quwwata Illa Billah – ketika memasuki kebunnya ( QS 18 : 39).

Karena manusia itu sangat lemah juga ketika dia bertani, dia perlu secara terus-menerus memohon pertolongan kepada Sang Maha Kuasa. Karena kasih sayangNya-lah bahkan kita diajari cara memohon pertolongan kepadaNya itu. Seperti apa caranya ? petunjukNya adalah agar kita memohon pertolongan itu melalui sabar dan sholat. Tetapi sholat ini sungguh sangat berat bagi kebanyakan manusia, maka kita juga diberi petunjuk detilnya agar tidak merasa berat ketika sholat – yaitu dengan cara sholat yang khusu’.

Sholat khusu’ juga sangat-sangat sulit bagi kebanyakan manusia, maka kita diberi tahu cara yang lebih detil lagi untuk bisa khusu’ yaitu dengan meyakini akan berjumpa denganNya. Petunjuk untuk minta tolong melalui sholat yang khusu’, serta cara untuk bisa mencapai kekhusu’an ini ada dalam dua ayat yang berurutan berikut :

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS 2:45-46).

Karena bagaimanapun kita tidak terbebas dari dosa-dosa; maka sebagai petani kita juga harus sering-sering bertaubat dan terus-menerus memohon ampunannya. Dengan ini pula akan berlaku janji Allah di ayat berikut :

Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,  dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS 71 :10-12).

InsyaAllah kita bisa berhasil dengan itu, tetapi bila berhasil panen – jangan lupa bukan semua hasil panenan itu untuk kita. Ada hak orang lain, minimal pada yang wajib yaitu zakatnya (5 % atau 10 % tergantung system pengairannya) – apabila dilebihkan sampai 1/3 akan sangat baik, akan mengundang awan khusus untuk kita.

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS 6 :141)

Setelah fondasi terbangun sangat kokoh dengan Iman, Takwa, Tawakkal, Sholat, Taubat dan Infaq ; maka kita bisa mulai mengisi bangunan di atasnya. Yang pertama adalah ilmu – seperti ilmu-ilmu tentang pertanian yang sudah ditulis dengan sangat detil oleh ulama-ulama terdahulu yang kemudian dikumpulkan oleh Ibnu Awwam tersebut diatas, tugas kita kemudian tinggalah menyempurnakan saja – tetapi tentu tidak boleh merusaknya atau membangun bangunan yang tidak sesuai dengan fondasinya.

Yang berikutnya adalah tentang amal, karena ilmu saja tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi umat. Ilmu perlu terus diamalkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di lapangan, dengan pengamalan tersebutlah ilmu diambil manfaatnya dan dapat terus disempurnakan.

Ketika ilmu semakin mendalam diamalkan dengan ketakwaan, akan terbangun kearifan-kearifan yang spesifik dengan bidang amal tersebut. Di bidang pertanian misalnya, akan muncul kearifan-kearifan tentang apa yang seharusnya ditanam, dimana, kapan, bagaimana caranya dlsb.

Darimana datangnya kearifan-kearifan pertanian itu ? dari Allah untuk orang yang bertani dengan ketakwaannya sebagaimana janjinya “…bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajari kamu…” (QS 2:282). Dan ketika Allah memberi kita kearifan-kearifan atau hikmah ini, itulah kebaikan yang sangat banyak untuk kita.

Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS 2:269)

Bayangkan kalau dunia pertanian kita dipenuhi dengan hikmah – yang berasal dari kepahaman yang dalam dari Al-Qur’an dan hadits, insyaAllah tidak akan ada lagi problem kerawanan pangan dan sejenisnya di negeri ini. Tetapi berdasarkan ayat tersebut  hikmah ini tidak datang dari sumber lain selain ketakwaan kita dalam mengikuti petunjuk-petunjukNya, maka dari situlah kita perlu merekonstruksi – membangun ulang – dunia pertanian kita, agar kita kembali kejalanNya ! InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar