Bu, Kapan Kita Bisa Berbuka ?

Senin, 6 Juli 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Bila produksi pangan dunia terdistribusi merata, maka setiap penduduk dunia saat ini bisa makan sebanyak 2790 kcal/orang/hari atau jauh melebihi kebutuhan kalori rata-rata manusia yang di kisaran 2100 kcal/orang/hari. Kenyataannya hingga kini masih ada 805 juta orang atau 1 dari setiap 9 orang di dunia masih kelaparan, apa yang sebenarnya terjadi ? Untuk kepentingan ekonomi, politik dan dominasi penguasaan dunia – ada segelintir orang yang suka menimbun dan menyalah gunakan kekuasaan atau kemampuannya dalam mengendalikan bahan pangan dunia.


Tetapi saya yakin masih ada juga sebagian manusia yang tidak ingin menimbun makanan, tidak ingin kenyang sendirian sementara ratusan juta orang di luar sana kelaparan. Sebagian orang inilah antara lain yang dikehendaki sebagai hasil berpuasa.

Dengan berpuasa kita dapat langsung merasakan sendiri betapa tidak enaknya merasa lapar 12 jam saja. Itupun selepas magrib kita seperti balas dendam, makan melebihi takaran yang biasanya. Tetapi puasa mestinya bukan hanya untuk kita sendiri, agar kita juga bisa merasakan penderitaan orang lain yang lapar – sehingga setelah itu mestinya kita berbuat sesuatu untuk mengatasinya.

Saya yakin bahwa sangat banyak diantara kita yang ingin berbuat sesuatu ini, tetapi apa ? dan bagaimana kita akan berbuat ? Karena banyaknya yang tidak tahu harus berbuat apa inilah team kami menyiapkan solusi langkah bersama untuk mengatasi kelaparan dunia dengan proyek yang kami beri nama Hunger Zone – yang juga sudah kami perkenalkan melalui dua tulisan sebelumnya.

Proyek ini digagas setelah ada di antara kami yang tidak bisa menahan tangisnya menyaksikan sebuah dialog antara seorang balita miskin dengan ibunya.

Dari kejauhan dia melihat anak-anak dan orang kebanyakan riang gembira pulang dari sholat tarawih, si anak kecil miskin bertanya kepada ibundanya : “ Ibu, orang-orang sudah pulang sholat tarawih  - kapan kita akan berbuka bu ?"  si ibu hanya menunduk dan menahan tangisnya.

Sejak pagi si ibu tahu si balita lapar, tetapi dihiburnya dengan kata-kata : “nak, kita belajar berpuasa ya ! nanti magrib, insyaAllah kita akan berbuka dengan makanan yang enak”. Si ibu berharap menjelang magrib akan ada yang membaginya makanan – entah dari masjid atau tetangga-tetangganya yang kaya.

Tetapi hari itu tidak ada tetangganya yang kaya yang memberinya makan, pengurus masjid terdekat juga tidak menyadari bahwa ada tetangganya yang kelaparan. Sedangkan si ibu terlalu malu untuk meminta kepada manusia, maka hingga taraweh selesai dan menjelang waktunya tidur si anak tetap bertanya kembali “ ibu, kapan kita bisa berbuka ?”

Tahukah Anda bahwa si anak dan si ibu tersebut sangat bisa jadi adalah tetangga Anda juga ? Data terakhir di Indonesia masih ada sekitar 27.8 juta orang miskin atau hampir 11 % dari jumlah penduduk negeri ini. Menurut FAO masih 19.4 juta orang yang dalam kondisi kelaparan seperti kisah anak dan ibu tersebut. Dari dua data ini sebenarnya saling menunjang dalam teori himpunan, bahwa di dalam himpunan orang miskin terdapat himpunan orang yang lapar. Yang lapar adalah orang miskin, tetapi orang miskin tidak semuanya lapar.

Dalam radius 160 rumah yang termasuk definisi tetangga kita (40 masing-masing kanan –kiri – depan dan belakang) ada rata-rata 12 rumah yang berpotensi lapar – yaitu dari sebagian orang msikin tersebut. Jadi ada 12 rumah tetangga kita yang didalamnya berkemungkinan terjadi dialog tersebut di atas. Tidakkah kita ingin bergerak untuk mengatasinya ? 12 jam berpuasa sudah cukup berat bagi kita, bagaimana kita bisa tidur nyenyak bila ada tetangga kita yang ‘berpuasa’ jauh lebih panjang dari itu karena tidak ada yang dipakai untuk berbuka ?

Tetapi konkritnya bagaimana kita akan mengatasi kelaparan ini ? Masyarakat biasa seperti kita bisa mengatasinya bila kita mau berbagi. Setiap 1 orang yang lapar di dunia, ada 8 orang yang kenyang. Bila salah satu dari yang delapan tersebut mau berbagi saja, maka masalah kelaparan akan teratasi. Bagaimana caranya ?

Di system Hunger Zone yang kami kembangkan saat ini, bila nantinya siap dalam satu dua bulan kedepan (insyaallah akan ada di hunger.zone) – masyarakat bisa menandai –identifikasi- lingkungan masing-masing yang berpotensi terjadi kelaparan.

Potensi kelaparan ini sangat besar  - tetapi kita baru bisa melihatnya sendiri setelah kita melakukan effort untuk itu. Kondisi ini yang kemudian melahirkan filosofi logo gerakan Hunger Zone yang kalu diterjemahkan dengan kata-kata menjadi “Once you see the one, you see the other…”  Anda baru akan memahami logo ini setalah Anda perhatikan dengan seksama.

Setelah diidentikfikasi, langkah berikutnya diverifikasi untuk memastikan kakuratan data kelaparan tersebut. Kedua fungsi identifikasi dan verifikasi ini dilakukan oleh sukarelawan Hunger Zone tetapi harus oleh orang yang berbeda – agar terjaga independensinya.

Tugas selanjutnya setelah data kelaparan terkonfirmasi adalah mengatasi persoalan yang ada (overcome). Bisa berupa santunan rutin bila yang lapar adalah orang-orang tua yang tidak bisa bekerja lagi, janda-janda dlsb. Bisa berupa pemberdayaan, bila yang lapar masih muda dan masih punya tenaga untuk bekerja.

Bagaimana kita tahu tetangga kita tersebut lapar atau tidak ? sebenarnya tidak terlalu sulit untuk melakukan ini. Kalau kita ambil standar kemiskinan absolut dunia yang US$ 1.25/hari/kapita , maka dibutuhkan daya beli sekitar  Rp 16.250,- per kapita untuk orang tidak dikatakan miskin.

Kalau satu keluarga ayah , ibu dan dua anak – maka keluarga tersebut butuh penghasilan setidaknya Rp 65,000 per hari. Maka bila penghasilan keluarga tersebut kurang dari angka ini, dalam keluarga tersebut  berpeluang terjadi kelaparan – karena dari penghasilan yang ada tentu juga dibutuhkan untuk keperluan lainnya.

Karena kita semua sangat ingin puasa kita bermakna, mumpung saat ini kita lagi lapar – mari kita secara serius mulai memikirkan untuk berbuat dalam hal ini. Kita ingin nantinya setiap ibu bisa menjawab bila anaknya bertanya : “bu, kapan kita bisa berbuka ?”. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar