3 in 1 Solusi Bebas Riba

Selasa, 17 Januari 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Bila riba begitu dilarang dalam Islam, pastilah karena riba sangat banyak menimbulkan mudharat – sampai-sampai kenaikan harga cabe, kelangkaan bahan pangan dan berbagai produk kebutuhan lainnya-pun bisa karena riba. Tetapi Dia Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, pasti tidak akan membiarkan hambanya begitu saja terlilit dengan riba tanpa memberinya solusi. Dan solusi dariNya itu begitu efektif sehingga satu solusi kadang menyelesaikan begitu banyak masalah sekaligus. Untuk mengatasi riba ini saya melihat adanya solusi 3 in 1-nya, satu solusi untuk mengatasi tiga pilar ekonomi sekaligus yaitu pasar, produksi dan modal.


Sebelum menguraikan 3 in 1 solusi riba ini, saya berikan contoh dahulu betapa satu solusi di Al-Qur’an mengatasi 3 masalah sekaligus yaitu kemiskinan, kekeringan dan ketiadaan keturunan (kemandulan) – satu solusi untuk ini adalah Istighfar (QS 71: 10-12).

Sedangkan dalam masalah riba, riba meruntuhkan tiga pilar ekonomi tersebut di atas. Di pasar, Umar bin Khattab dahulu sebagai muhtasib (pengawas pasar) sering berdiri di gerbang pasar dan berteriak ‘tidak boleh jual beli di pasar kecuali yang tahu syariat jual beli, (bila tidak) saya khawatir kalian terlibat dalam riba tanpa mengetahuinya’.

Dalam hal produksi, hampir di setiap barang yang kita konsumsi dan kita gunakan sehari-hari saat ini menjadi mahal karena riba menyusup di ongkos produksinya. Di bidang sandang, pakain yang kita produksi menjadi mahal karena produsen menghitung beban bunga. Di pangan cabe dan daging dlsb menjadi mahal karena bersaing dengan beban bunga. Di papan, rumah menjadi tidak terjangkau karena harga rumah sudah memperhitungkan beban bunga. Pendek kata seluruh kebutuhan kita di sandang, pangan, dan papan semuanya dibebani dengan biaya bunga.

Dalam hal modal-pun masalahnya sama yaitu riba ini. Karena adanya riba suku bunga bank 6% misalnya, orang yang hendak memutar hartanya harus bersaing dengan bunga 6 % yang dijamin pemerintah dan rakyatnya ini.

Efeknya menjadi lebih serius karena bank yang mengelola dana masyarakat akan mengambil margin yang kurang lebih sama dengan yang diberikan ke para penabungnya. Bila ke masyarakat bunga yang diberikan 6%, ditambah jumlah yang sama untuk bank-nya – maka kalau Anda hendak pinjam ke bank untuk usaha – Anda terkena beban bunga sekitar 12 % per tahun.

Usaha dengan tingkat hasil 10 % per tahun sudah merupakan usaha yang sangat baik untuk standar dunia, dengan tingkat hasil 20 % per tahun adalah usaha yang extra ordinary – luar biasa. Tetapi meskipun Anda berkinerja sangat baik, hasilnya belum cukup untuk membayar bunga bank. Dengan kinerja extra ordinary, lebih dari separuh hasil Anda hanya untuk membayar bunga bank.

Inilah sebabnya, jalan satu –satunya untuk negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya adalah bila kita bisa membebaskan diri dari belenggu riba. Sulitkah ini ? mestinya tidak – karena ada petunjuknya yang sangat terperinci, detail, urut – yang direnceng oleh Allah dalam 9 ayat mulai dari Surat Al-Baqarah 275 sampai 283.

Begitu Allah memperingatkan ancaman riba, Allah langsung memberikan solusinya yaitu jual beli (QS 2:275), maka hanya melalui menghidup-hidupkan jual beli inilah kita bisa menghilangkan riba. Salah satu jenis jual beli yang mengandung rukhsah – kemudahan dari Allah seperti jual beli dengan akad salam misalnya, sudah akan bisa mengatasi tiga masalah tersebut di atas sekaligus – yaitu masalah pasar, produksi dan modal.

Dengan akad salam, di pasar akan ada jaminan ketersediaan produk sehingga terhindar dari kelangkaan yang mendorong harga naik seperti kasus mahalnya harga cabe dan daging. Di produksi akan ada aliran modal yang membiayainya, sehingga produksi bisa optimal dalam kwalitas dan kwantitas.

Mengapa Apple Washington mulus-mulus dan bisa membanjiri pasar ini sekuat daya beli kita – ya karena suku bunga riba di negeri itu jauh lebih rendah dari kita hanya 1.35%. Mengapa daging dan perbagai produk turunannya dari New Zealand dan Australia bisa membanjiri pasar ini, ya antara lain karena suku bunga di negeri itu kurang lebih hanya separuh dari suku bunga di negeri ini.

Bayangkan kalau kita bisa menghilangkan riba, petani dan produsen kita akan kebanjiran modal, tenaga-tenaga dengan skills terbaik akan menyerbu sektor ini, dan bukan hanya kebutuhan pangan dalam negeri yang bisa diatasi tetapi juga kita akan mampu bersaing secara global.

Tentu tidak fair kalau hanya menyalahkan riba yang menjadi semua penyebab kekacauan ekonomi ini, tetapi dengan upaya meninggalkan riba – yang merupakan bentuk ketaatan kita – Allah akan memudahkan kita untuk memperoleh ilmunya (QS 2:282) yang lain dalam mengatasi berbagai persoalan yang kita hadapi.

Untuk melawan riba, awalnya kita disuruh berdagang (QS 2:275) – karena dengan itulah umat ini akan memiliki kekuatan untuk bersedekah – menolong yang kurang mampu– yang dengan itulah riba akan dimusnahkanNya (QS 2:276). Kalau kita sendiri yang kurang mampu, bagaimana bisa menolong orang lain ? yang tidak memiliki tidak bisa memberi – itulah mengapa solusi berdagang oleh Allah ditaruh ditempat yang sangat awal – yaitu begitu Allah mengingatkan bahaya riba – kita sudah langsung diberi solusi berdagang ini.

Solusi itu begitu detil dan antisipatif – sehingga permasalahan yang timbul dari perdagangan inipun sudah diberikan solusinya oleh Allah dalam rangkian ayat tersebut. Pada saat saya memperkenalkan konsep jual beli salam ini pada tulisan sebelumnya, ada pertanyaan tentang bagaimana kalau petani gagal memproduksi hasil pertanian yang sudah dibeli dengan akad salam misalnya.

Saya tidak langsung menjawabnya – karena inilah realita di lapangan, benar bahwa hasil panen bisa gagal atau tidak memberikan seperti yang diharapkan. Lantas apa solusinya bila terjadi yang demikian ? Ternyata jawabannya juga sudah disitu-situ juga, yaitu di ayat lanjutannya.

Petani atau produsen yang gagal berproduksi seperti yang dijanjikannya, posisinya seperti orang yang berhutang. Orang yang berhutang biasanya lebih lemah dari yang memberi hutangan, maka yang memberi hutangan di-encouraged oleh Allah untuk memberi kelonggaran waktu, dan bahkan lebih baik lagi kalau mau mensedekahkannya ( QS 2:280).

Bagaimana kalau pembeli akad salam ini ngotot ingin barangnya harus sempurna seperti yang dijanjikan dan tepat pada waktunya ? diapun berhak melakukan ini karena itulah yang ada di perjanjikan, dan muslim terikat dengan apa yang diperjanjikannya. Lantas apa solusinya bagi petani/produsen ? dari mana dia bisa memenuhi kewajibannya ? dari mana dia akan punya modal untuk memberikan barang pengganti sekaligus modal untuk menenanam atau memproduksi kembali ?

Itulah perlunya umat ini bersyirkah, berasosiasi atau berjamaah dalam pekerjaan besar ini. Masalah seperti ini-pun muncul di era-era Islam menguasai peradaban dunia, maka ada yang disebut naqabah atau guild – integrasi horizontal dan vertical untuk pelaku produksi sejenis.

Karena produsen barang sejenis saling bahu membahu melayani pasarnya bersama-sama – bukan saling bersaing dan saling mematikan seperti persaingan di era kapitalisme – maka masalah seperti gagalnya produksi satu produsen bisa ditanggung rame-rame dan ditolong oleh produsen lainnya.

Di era modern ini, konsep tersebut selain bisa diwujudkan melalui menghidupkan kembali konsep naqabah, bisa juga melalui konsep takaful atau taawun – yang dikelola oleh risk manager yang professional di bidangnya.

Maka kalau kami akan menghadirkan akad salam di jaman ini misalnya, insyaAllah kami juga akan ajak teman-teman asuransi syariah untuk mengembangkan produk yang sesuai untuk mem-back-up resiko yang timbul.

Bahkan kami juga akan melibatkan teman-teman di bank syariah untuk pencatatan transaksi keuangannya seperti yang diamanahkan di surat Al-Baqarah 282. Selama kita masih menggunakan uang kertas, maka kita tetap butuh bank untuk mengelola uang tersebut karena kita tidak mungkin menumpuk uang di bawah bantal atau di celengan – yang justru mati tidak berputar.

Tetapi dari kebutuhan (dzarurat) akan hadirnya bank ini, patut juga kita renungkan hadits berikut :

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum) dengan sya’ir(gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka jumlahnya (takaran atau timbangan) harus sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Jika jenis barang berbeda, maka silakan mempertukarkannya sesukamu, namun harus dilakukan dari tangan ke tangan (tunai). (HR. Muslim)

Artinya ketika jual beli sudah bisa dilakukan dengan begitu canggihnya, jual beli bisa dilakukan dengan mempertukarkan kembali barang dengan barang seperti hadits tersebut di atas – keberadaan bank tidak lagi menjadi suatu keharusan, dan inipun dimungkinkan di era Financial Technology (Fintech) ini.

Bentuknya seperti apa ? Wa Allahu A’lam tetapi dunia memang sedang berlomba untuk me –redefine – mendefinisikan ulang konsep uang ini, dan mestinya juga harus ada sebagian dari umat ini yangn ancang-ancang di titik start terdepan – siap adu lari kencang dengan yang lain. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar