Oleh: Muhaimin Iqbal
Bila hari-hari ini harga cabe , daging dan bahan makanan lainnya melonjak – siapa yang paling pantas disalahkan ? Saya menyalahkan riba ! Kok bisa ? Bagaimana riba menyebabkan harga pangan melonjak ? inilah kesempatan bagi kita untuk bisa memahami dampak buruk riba seterang siang hari. Dampak itu begitu langsung dan nyata bukan hanya sekedar teori, maka setelah datang petunnjukNya yang begitu jelas itu – apakah kita masih hendak melanggengkan system ribawi dalam pengelolaan ekonomi kita ?
Untuk
memahami dampak buruk riba pada melonjaknya harga pangan secara mudah,
saya uraikan secara ringkas melalui tiga poin berikut.
Poin
pertama yang kita pelajari sejak kita belajar ekonomi di tingkat
sekolah menengah dahulu, harga dibentuk oleh mekanisme supply and
demand. Ketika supply terbatas sedangkan demand tinggi, pasti harga
melonjak.
Demand
kita terhadap daging selalu tinggi karena penduduk kita besar dan
mayoritasnya ingin bisa makan daging, demand cabe juga tinggi karena
begitu banyak menu masakan kita yang enak-enak membutuhkan rasa pedas.
Di sisi supply cenderung terbatas karena tidak banyak yang mau beternak,
yang mau bertani, menanam cabe dlsb.
Poin
kedua mengapa orang enggan beternak dan bertani ? beternak dan bertani
adalah usaha yang beresiko relatif tinggi, sementara hasilnya tidak
tinggi-tinggi amat. Bila Anda beternak atau bertani dengan hasil 15
%-20% per tahun misalnya, maka itu sudah sangat bagus. Kalau untuk usaha
ini Anda harus berbagi dengan pemodal 50/50 misalnya, maka Anda
mendapatkan hasil 7.5% -10% dan demikian pula pemodal Anda. Menarikkah
hasil sekitar 7.5 % -10% ini bagi Anda yang hendak bertani atau investor
Anda yang mendapatkan hasil bersih yang sama ?
Inilah
poin ketiga dimana riba berperan, dengan hasil yang 7.5% - 10 %
sekalipun – investor kebanyakan belum akan tertarik, mengapa ? Karena
mereka akan bandingkan investasinya dengan investasi yang aman dan
dijamin oleh pemerintah dan rakyatnya, yaitu investasi deposito yang
dengan mudah memberikan hasil di kisaran 6 % tanpa resiko !
Investor
kebanyakan akan dihadapkan pada pilihan hasil pertanian 7.5% - 10 %
tetapi beresiko, atau menaruh uang di bank saja memberikan hasil di
kisaran 6 % tetapi tidak beresiko. Pilihan kebanyakan orang yang
memiliki uang apa kira-kira ? Mayoritas mereka akan memilih menaruh
uangnya di bank saja yang tanpa resiko !
Maka
dengan 3 poin tersebut Anda sudah akan bisa melihat begitu gamblang
bagaimana riba memenangkan persaingan, melawan produksi pertanian dalam
meraih hati kebanyakan orang yang memiliki uang. Melalui proses seperti
inilah riba mengambil sumber-sumber makanan kita.
Mungkin
akan timbul pertanyaan bagi Anda, bagaimana dengan negara-negara lain ?
bukankah mereka juga negara-negara ribawi ? Kok mereka bisa survive
dengan pertaniannya sampai bisa meng-ekspor produksinya ke kita ?
Riba
juga ada di negara-negara pengekspor hasil pertanian ke kita, dan hasil
pertaniannya sebenarnya juga tidak terlalu jauh dengan hasil pertanian
di negeri kita. Yang membedakannya adalah suku bunga deposito di
negara-negara mereka rata-rata sangat rendah dibandingkan tingkat suku
bunga deposito di negeri kita.
Perhatikan
pada grafik dibawah ini, Anda akan bisa memahami bahwa seluruh negeri
pengekspor bahan pangan ke Indonesia berada di sisi kanan dari posisi
Indonesia – artinya suku bunga deposito perbank-an mereka jauh lebih
rendah dari kita.
Amerika
mengekspor kedelai ke kita, suku bunga deposito mereka hanya sekitar
1.35 % per tahun rata-rata. Artinya kalau petani kedelai mereka
menghasilkan return bersih sama dengan kita 7.5 % - 10% pun orang sudah
akan mau invest di kedelai.
Belanda
suku bunga deposito rata-rata hanya 0.05 %, artinya kalau peternak
susunya bisa memberikan hasil 5 % saja pertahun – itu sudah 100 x lebih
besar dibandingkan bunga deposito mereka, maka peternak sapi susu mereka
tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan modal.
Australian
dan New Zealand tingkat suku bunga depositonya di kisaran 3% - 3.5%,
artinya kalau peternak sapi pedaging mereka menghasilkan hasil bersih
7.5 % saja bagi investornya, itu sudah lebih dari dua kali lipat dari
suku bunga deposito perbankan mereka.
Dari
sini kita bisa melihat polanya dengan jelas bahwa seluruh negara-negara
yang berhasil mengalahkan kita dalam perdagangan bahan pangan adalah
negara-negara di posisi kanan kita pada grafik tersebut diatas – yaitu
negara-negara yang tingkat suku bunga perbankannya lebih rendah dari
kita.
Bayangkan
bila negara yang masih menggunakan system riba – tetapi dengan tingkat
bunga yang lebih rendah saja sudah dapat dengan mudah mengalahkan negara
yang tingkat suku bunganya lebih tinggi, apalagi negara yang tanpa riba
– pasti dia bisa mengalahkan kekuatan ekonomi negara-negara lainnya
yang masih menggunakan riba.
Maka
inilah peluang kita sesungguhnya, bukan hanya mencukupi kebutuhan
makanan dalam negeri dengan harga yang terjangkau – lebih dari itu bila
bisa menghilangkan riba kita akan bisa unggul dalam produksi dan
perdagangan bahan pangan dibandingkan negara-negara lain yang masih
menggunakan riba.
Meskipun
peran riba yang begitu nyata dalam menghancurkan ekonomi persis seperti
yang dingatkanNya langsung (QS 2:275-279), ironinya di negeri yang
mayoritas muslim ini – saya belum pernah mendengar satupun (calon)
pemimpin daerah maupun pusat, muslim maupun non muslim, daerah istimewa
maupun yang tidak istimewa – belum pernah ada yang mencanangkan untuk
menghilangkan riba sebagai programnya untuk memakmurkan rakyatnya.
Mestinya
sekaranglah waktunya umat ini untuk memilih pemimpinnya dengan benar,
yaitu dengan menyodorkan kontrak kerja terhadapnya – bahwa bila mereka
bener-bener terpilih nanti, mereka harus memiliki program untuk
menghilangkan riba di wilayahnya – karena itulah satu-satunya jalan
untuk menghadirkan kemakmuran yang sesungguhnya bagi negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar