Bumi Para Wali

Rabu, 22 Maret 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Selama berabad-abad kaum Yahudi tinggal di kota kecil Yastrib sebelum menjadi Madinah. Mereka berbahasa Arab, berpakaian seperti orang Arab sehingga sulit dibedakan dengan orang Arab pada umumnya. Hanya saja ketika beraktifitas ekonomi, baru karakter asli mereka nampak. Mereka melilit orang Arab dengan pinjaman berbunga tinggi – sedemikian tinggi sehingga tidak bisa dibayar. Melalui cara inilah mereka sedikit demi sedikit menguasai bumi orang Arab. Kapitalisme ribawi yang merupakan penjelmaan praktek tersebut di jaman kita ini, bahkan lebih kejam dari yang dilakukan kaum Yahudi di jaman tersebut. Bagaimana cara system ini mengambil bumi kita ?


Yahudi Yastrib masih memerlukan modal awal untuk menguasai lahan-lahan orang Arab. Modal awal ini dikumpulkan melalui produksi barang dan menguasai pasar, hasil keuntungan dari penguasaan produk dan pasar inilah yang kemudian dipakai untuk memberi pinjaman berbunga tinggi – yang akhirnya tidak terbayar kecuali dengan tanah orang Arab yang disita.

Kapitalisme ribawi yang ada sekarang lebih kejam karena sumber uang yang dipakai untuk mengambil tanah-tanah kita tersebut tidak lagi harus dari produksi barang dan penguasaan pasar. Sumber uangnya justru dari kita-kita juga, yaitu ketika uang hasil jerih payah kita berpuluh tahun terkumpul dalam tabungan, deposito, dana pensiun , tunjangan hari tua dan asuransi.

Dimana dana-dana tersebut berada ? siapa yang menggunakan dan untuk apa ?  hampir pasti kita tidak bisa menjawabnya semua. Dana-dana tersebutlah yang kemudian dipinjam oleh para pengusaha yang memiliki akses pinjaman skala besar ke perbankan dan pasar modal – yang dana besarnya datang dari institusi asuransi, dana pensiun dan sejenisnya - yang kemudian oleh mereka dipakai untuk mengembangkan kota-kota baru yang sekarang mengepung Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Sehingga kalau kita melihat deretan perkantoran menjulang ke langit di kota-kota besar, komplek-komplek perumahan kota mandiri raksasa ribuan hektar, kawasan industri dlsb. siapa pemiliknya ? yang jelas saat ini bukan milik umat. Lantas milik siapa ? tanpa menyebut nama orang-per orang, pemiliknya adalah system kapitalis tadi. Pemiliknya adalah orang-orang atau perusahaan yang memiliki akses modal, baik melalui perbankan maupun pasar modal tersebut di atas.

Untuk adilnya, kita juga tidak bisa menyalahkan mereka saja tanpa instrospeksi ke dalam diri kita sendiri. Apa salah kita sehingga bumi Allah yang luas ini belum diwariskan untuk kita ? padahal Allah berjanji “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam az-Zikra(Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamaKu yang Sholeh”. (QS 21 :105)

Janji Allah tersebut benar ketika diturunkan, kota Yastrib yang lahan-lahan utamanya dikuasai Yahudi – kembali ke tangan umat ketika kota tersebut menjadi kota Nabi – Madinah – dalam waktu kurang dari 10 tahun. Janji tersebut pasti benar juga saat ini bahkan hingga akhir jaman nanti.

Bahwasanya saat ini umat belum menguasai bumi ini, bisa jadi karena  prasyaratnya yang belum terpenuhi. Secara individu tentu banyak orang-orang sholeh di sekitar kita, tetapi secara  masyarakat realitasnya ternyata lebih dari 95 % dana masyarakat masih ada di institusi-intitusi keuangan kapitalis ribawi. Dan dari sinilah uang itu mengusir kita dari tanah-tanah kita !

Bahkan lahan-lahan yang menjadi instrumen riba itu, sebagian justru difasilitasi oleh institusi yang berwenang tanpa disadari oleh para penggagas programnya sendiri. Di suatu daerah yang saya kenal misalnya, masyarakatnya dahulu sama sekali tidak mengenal bank – mereka miskin tetapi tidak memiliki hutang di bank.

Kemudian pemerintah berusaha membantu mereka dengan memberikan sertifikat gratis atas tanah-tanah yang mereka kuasai, alasannya supaya masyarakat miskin ini bisa memiliki akses modal. Apa yang kemudian terjadi ? betul si miskin kini memiliki akses modal – yaitu menggadaikan sertifikat lahannya !

Tetapi karena tanpa didukung dengan skills yang memadai, jadi apa tanah-tanah yang digadaikan tersebut ? jadi motor, televisi, kulkas, hp dan berbagai barang konsumtif lainnya. Setelah memiliki motor, punya televisi dan HP – masyarakat malah ketagihan nonton sinetron dan melihat hedonisnya kehidupan kota.

Walhasil mereka semakin tidak bersemangat ke sawah, lahannya semakin tidak produktif, hutangnya menjadi ridak terbayar – dan tidak sedikit yang harus dijual untuk membayari hutangnya. Dahulu mereka miskin, tetapi masih punya lahan dan tidak memiliki hutang. Ketika mereka punya akses modal dari system kapitalisme ribawi dengan berbekal lahan yang bersertifikat, mereka malah menjadi orang miskin yang berhutang dan akhirnya kehilangan lahannya.

Lantas bagaimana seharusnya kita mengatasi masalah penguasaan lahan dan kemiskinan ini ? kembali mengikuti janji Allah dalam surat Al-Anbiya tersebut di atas, yaitu menjadi orang sholeh - karena bumi Allah akan diwariskan kepada orang-orang yang sholeh ! Tinggal caranya sekarang bagaimana menjadi orang sholeh ini ?

Petunjuknya yang jelas juga ada di Al-Qur’an, antara lain ada di rangkaian ayat berikut : “Mereka tidak seluruhnya sama. Di antara ahli kitab ada golongan yang jujur (yang kemudian memeluk Islam), mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dan mereka juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS 3:113-114)

Jadi perwujudan kesholehan, keimanan dan ketakwaan ini juga tercermin dalam lehidupan di masyarakat itu sendiri. Ketika generasi itu baik, seperti jaman Nabi Sahllallahu ‘Alihi Wasallam hidup bersama para sahabat beliau, janji Allah tersebut benar-benar diberikan dalam kurang dari 10 tahun. Demikian pula di generasi-generasi sesudahnya, satu demi satu wilayah di bumi jatuh ke tangan umat ini.

Ini juga sejalan dengan janji Allah lainnya di surat An-Nur ayat 55 : “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan beramal sholeh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS 24:55).

Maka tantangan untuk pembuktian keimanan dan keshalehan kita itu bener-bener ada di depan mata sekarang. Sebelum Pemilu 2019 targetnya dari ujung ke ujung pulau Jawa akan tersambung oleh jaringan jalan tol, dengan infrastruktur ini seharusnya ekonomi bisa berputar lebih cepat dan rakyat harusnya lebih makmur – karena lebih dari 57 % tinggal di Jawa.


Saat itu Jawa – bumi para wali ini - akan berpenduduk sekitar 157 juta atau sekitar 57.5 % dari penduduk Indonesia yang mencapai 272 juta orang. Dari sisi jumlah penduduk, Jawa saja saat itu akan lebih besar dari Jepang, lebih besar dari Mexico dan bahkan juga lebih besar dari  Rusia. Saat itu penduduk Jawa sekitar 5 kali penduduk Saudi Arabia ! Nilai ekonomi yang terkait dengan kebutuhan pangan saja akan berada di kisaran US$ 200 Milyar, belum yang terkait dengan consumers goods lainnya.

Maka tidak mengherankan bila bumi para wali ini menjadi seperti kue yang lezat yang diperebutkan oleh para politikus untuk menggalang dukungannya, para marketer untuk menguasai market share-nya dan tidak ketinggalan para pengusaha real estate-real estate raksasa untuk menjadi stok land bank mereka yang dari waktu ke waktu terus melonjak harganya.

Itulah yang terjadi ketika orang-orang sholeh tidak turun gunung menyelesaikan langsung masalah-masalah keumatan, sepanjang pulau jawa  lahan-lahan tersebut akan jatuh ke tangan system kapitalisme ribawi. Ada yang jadi pabrik, ada yang jadi perumahan, perkantoran , pertokoan dan sejenisnya tetapi umat hanya sebagai pekerja dan pasarnya !

Kalau saja sumber kekuatan umat yang begitu besar di depan mata – yaitu pasar – bisa balik ke tangan umat, kalau saja kita bisa rame-rame meninggalkan riba dan menggunakan dana-dana yang ada untuk menggerakkan perdagangan sesama umat – karena lawannya riba hanya jual-beli , maka insyaallah kita  akan bisa setidaknya menjaga agar penguasaan bumi para wali ini tetap di tangan umat – tentu bukan hanya sekedar dikuasai tetapi juga dimakmurkan – karena itulah sesungguhnya tugas kita (QS 11:61).

Saat dari ujung ke ujung pulau Jawa tersambung jalan tol dua tahun lagi – insyaAllah, setiap lahan yang diproduktifkan akan memiliki akses pasar yang jauh lebih mudah. Buah segar yang diproduksi di kebun kita di Tanjung Lesung – ujung barat Jawa misalnya, insyaallah bisa sampai di Jakarta dalam dua jam – dan tanah-tanah di Tanjung Lesung ini masih mungkin kita selamatkan sekarang , agar tetap menjadi tanah-tanah pertanian – bukan melulu menjadi daerah wisata.

Saat itu Gunung Kidul – yang ada di tengah pulai Jawa – tetapi memiliki curah hujan yang  relatif rendah, masih dapat menjadi sentra produksi biji-bijian yang tahan tanah kering seperti sorghum – untuk mensupply kebutuhan industri pakan ternak sepanjang Jawa. Banyuwangi – ujung timur Jawa - yang banyak memiliki kebun-kebun yang indah akan menjadi daerah yang mudah dijangkau, sehingga bukan hanya industri wisatanya tumbuh – dia bisa menjadi penyangga produksi buah dan sayur bagi wilayah Jawa lainnya.

Demikian pula daerah sepanjang pantai selatan Jawa – yang dahulu belum tersinggahi oleh perjalanan para wali yang lebih banyak menyisir pantai utara – era tol lingkar selatan Jawa akan memungkinkan untuk menjadi sumber kemakmuran baru, lagi-lagi bila penduduknya tetap dalam kondisi beriman dan bertakwa –  hanya takut kepada Allah dan bukannya takut ke nyi Roro Kidul !

Inilah bumi Jawa – bumina para wali (wali songo) – yang seperti bagian bumi lainnya  dijanjikan oleh Allah akan diwariskan kepada hambanya yang beriman dan beramal sholeh. Tidakkah kita ingin menjadi bagian dari umat yang akan mewarisi ini ? InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar