Ketika Yang Fitrah Menjadi Exception

Selasa, 27 Maret 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Bagi masyarakat yang karena satu dan lain hal harus diet ketat, ada daging khusus untuk mereka – daging yang jauh lebih mahal dari daging pada umumnya – daging yang disebut grassfed meat. Apa sesungguhnya grassfed meat ini ? tiada lain dia adalah daging dari binatang ternak sapi, domba dan kambing – yang diberi makan rumput! Lho , bukannya hewan-hewan ternak ini memang seharusnya makan rumput ? mengapa sekarang menjadi istimewa ? Ternyata karena mayoritas daging yang kita makan sekarang bukan lagi dari ternak yang memakan rumput !


Waktu belajar biologi di SMP dahulu kita dikenalkan dengan hewan memamah biak, yaitu sub-ordo ruminansia seperti sapi, domba,  kambing dlsb. Hewan-hewan jenis ini disebut berperut banyak, sehingga pencernaannya menjadi sangat efisien – dengan dibantu microorganism di perutnya mereka bisa menyerap nutrisi dari rerumputan dan hijauan secara optimal.

Lambung ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu rumen, reticulum, omasum dan abomasum. Rumen merupakan tempat menyimpan makanan sementara, sehingga ternak bisa makan rumput dengan cepat ketika merumput, dikunyah sedikit terus dikirim ke penyimpanan sementara yaitu rumen ini. Di dalam rumen, makanan ini dibasahi dan kemudian dikirim ke reticulum.

Ketika hewan istirahat, makanan yang sudah setengah cerna tersebut dikirim dari reticulum kembali ke mulut terus dikunyah lagi sampai lembut. Setelah dikunyah lembut dari mulut, makanan dikirim ke omasum kemudian ke abomasum. Grand process design seperti inilah yang telah diciptakanNya untuk hewan ruminansia agar dia efektif menjadi hewan gembalaan yang memakan rumput - abba (QS 80:32).

Lantas apa jadinya, ketika sesuatu yang fitrah tersebut di-bypass di industri-industri peternakan modern ? Hewan yang tadinya makan rumput menjadi makan biji-bijian, bahkan untuk mendongkrak nutrisi sering juga ditambah berbagai sumber protein dan mineral hewani ? Segala permasalahan timbul dari sini, baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui.

Masyarakat Padang tahu bahwa membuat rendang harus dari daging terbaik – daging sapi local yang masih makan rumput. Masyarakat yang berdiet ketat di negara maju, bila belanja daging akan mencari daging yang grassfed – meskipun dia mahal.

Lantas apakah ternak seperti sapi, domba dan kambing memang harus digembala makan rumput ? bagaimana kalau padang rumput tidak lagi tersedia cukup seperti kita yang hidup di jaman ini ?

Di pasar terbesar Indonesia yang terkonsentrasi di suatu wilayah yang saya sebut BJJB (Banten, Jakarta dan Jawa Barat) misalnya, wilayah dengan penduduk sebanyak penduduk Kerajaan Inggris ini (+/- 65 juta) – tidak lagi tersedia padang rumput untuk menggembala ternak.

Saya memelihara kambing di Jonggol – Bogor sejak 8 tahun lalu, awalnya masih bisa mencari rumput di sekitar komplek peternakan kami. Tetapi komplek peternakan tersebut kini telah dikepung oleh komplek perumahan yang dikembangkan oleh developer raksasa – yang targetnya tentu menjadikan seluruh wilayah yang bisa dibelinya menjadi area perumahan – tidak lagi tersedia area hijau untuk sekedar mengambil rumput.

Lantas apakah kita akan menyerah ? mengikuti cara modern beternak dengan memberi makan ternak kita dari produk industri pakan ternak ? Inilah yang semaksimal mungkin kita hindari, selain mahal – juga ternak kita tidak lagi menjadi hwan ternak yang memamah biak tersebut di atas.

Indahnya petunjuk Al-Qur’an itu turun untuk umat akhir Zaman. Al-Qur’an dahulu turun untuk menjawab seluruh persoalan (QS 16:89), kinipun akan tetap bisa menjawab persoalan umat di jaman ini.

Salah satu jawaban atas problem pakan ternak tersebut di atas – yang tidak perlu meninggalkan fitrah hewan pemamah biak yang memakan rerumputan – inspirasinya ada di ayat berikut :

Dan tidakkah mereka memperhatikan, Kami mengarahkan air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan itu tanaman semusim sehingga hewan-hewan mereka dapat makan daripadanya dan juga diri mereka. Maka mengapa mereka tidak memperhatikan ?” (QS 32:27)

Ayat ini dibuka dan ditutup dengan pertanyaan yang senada – yaitu mengapa mereka (manusia) tidak melihat/memperhatikan. Ini menyangatkan pentingnya untuk memperhatikan pesan yang diapit oleh dua pertanyaan tersebut. Pesannya adalah tentang air yang menumbuhkan tanaman semusim (zar’a ) untuk pakan ternak, dan kemudian juga untuk manusianya.

Tanaman semusim yang kita kenal seperti jagung, sorghum dlsb. memang bisa dijadikan pakan ternak. Tetapi kalau biji-bijinya digiling dicampur berbagai nutrisi seperti yang ada di pabrik-pabrik feedmill , jadinya pakan ternak yang grainfed dan tidak lagi fitrah untuk binatang memamah biak tersebut di atas.

Batang-batang tanaman jagung dan sejenisnya juga bisa dijadikan pakan ternak, tetapi karena bulky – volumenya yang besar, menjadi sangat merepotkan kalau harus dikirim ke tempat-tempat yang jauh dari tempat menanamnya. Biomassa batang jagung, sorghum dlsb, dapat memberikan pakan ternak ruminansia yang baik – tetapi peternakannya harus dekat dengan lokasi ladangnya.

Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan daging dan susu segar di tempat-tempat padat penduduk seperti wilayah BJJB, dan juga di kota-kota besar lainnya – dimana tidak ada lagi lahan untuk berkebun pakan ternak yang cukup di wilayah tersebut ?

Salah satu solusinya kembali ke ayat tersebut di atas, menanam biji-bijian di tempat yang masih  memungkinkan – misalnya kalau di Indonesia bisa ditanam di Sulawesi, Madura, NTB, NTT dlsb. Kemudian hasil biji-bijiannya saja yang dikirim ke sentra-sentra peternakan yang mendekati pasarnya.

Tetapi di sentra-sentra peternakan tersebut, biji-bijian tidak digiling di pabrik untuk dijadikan pakan ternak. Biji-bijian ini ditumbuhkan lagi sampai 7-10 hari, menjadi rumput tebal hijauan ternak yang disebut fodder.

Dengan cara ini ternak ruminansia tetap pada fitrahnya memakan hijauan rumput, murah karena tidak perlu investasi mesin pabrik feedmill untuk menggiling dan mencampur pakan. Dan lebih dari itu biaya pakan pasti lebih murah, mengapa demikian ?

Kalau kita menggiling jagung menjadi pakan ternak, maka 1 kg jagung tidak mungkin menghasilkan lebih dari 1 kg pakan. Kalau toh lebih itu karena bahan lain yang ditambahkan seperti air dan campurannya. Masa suatu produk yang diproses di pabrik buatan manusia, tidak melebihi dari penjumlahan seluruh bahan bakunya.

Tetapi di pabrik buatan Allah, output bisa jauh melebihi gabungan input bahan bakunya – inilah yang kita kenal dengan proses tumbuh. Sesuatu yang hidup karakternya dia bisa tumbuh – pabrik buatan manusia tidak bisa menghasilkan sesuatu yang hidup  – tidak bisa meniru pabriknya Allah. Satu kilogram jagung bisa menjadi 6 kg fodder, karena yang 1 kg tersebut mengalami proses pertumbuhan dalam waktu 7-10 hari tersebut di atas.

Ketika satu biji jagung tumbuh, terjadi proses fotosintesa yang mengubah sesuatu dari awang-awang (air dan carbon dioksida) dengan bantuan energi cahaya (matahari) menjadi berbagai bentuk glukosa, karbohidrat, cellulose dlsb. Reaksi kimianya adalah 6CO2 (karbon dioksida) +6H2O (air) ==> C6H12O6 (glukosa) + 6O2 (oksigen).

Nah sekarang kita punya pilihan, untuk pakan ternak kita misalnya – kita beri pakan dari pabrik, dengan hasil yang mengubah fitrah hewan kita, dengan proses pabrik yang lebih mahal dan memberikan hasil produk yang tidak melebihi inputnya, atau

Memberi pakan ternak kita dengan pakan yang tumbuh alami, diproses di pabriknya Allah, dari satu kilogram bahan tumbuh menjadi bahan pakan yang ber-kilo-kilo, dan bukan hanya kwantitasnya yang bertambah, tetapi juga nutrisinya. Ketika jagung tumbuh menjadi fodder, tanaman muda ini menjadi jauh lebih mudah dicerna ketimbang tepung jagungnya.  Protein, vitamin dan mineral menjadi lebih mudah terserap oleh tubuh ternak yang memakannya.

Meskipun lengkap dengan berbagai kelebihan tersebut, mengapa yang fitrah belum menjadi pilihan bagi para pelaku industri ? Karena yang fitrah ini perlu waktu untuk tumbuh – ternak tidak cepat gemuk secepat bila dia diberi pakan modern. Tetapi bagi konsumen, apa yang kita butuhkan ? apakah daging dari ternak yang gemuk yang tumbuh dengan cepat ? atau daging dari ternak yang tumbuh secara fitrah ?


Ketika orang masih meributkan daging dari sisi harga , sampai dicari daging dari mana saja asal murah – kita sudah berfikir bukan hanya daging yang murah tetapi juga harus sangat baik. Dan ini hanya dimungkinkan bila kita sendiri yang terlibat mengawalnya dari ujung ke ujung, mulai dari menanam jagung, membibitkan ternak, membuat fodder untuk memberi pakan ternak dan membangun riba-free ecosystem-nya. Bagi yang berminat, silahkan menghubungi kami di kontak situs ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar