Agar Unta Nabi Saleh Bisa Ikut Minum

Kamis, 6 April 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Sehari setelah saya menyinggung kartel ayam 12 perusahaan dalam tulisan ‘Ketika Iman Diuji’ , menteri keuangan RI malah mengungkap hal yang lebih mengerikan lagi – ternyata industri per-ayam-an hanya didominasi oleh 2 perusahaan saja. Kondisi seperti ini saya yakin bukan hanya pada masalah ayam, tetapi juga masalah makanan dan kebutuhan sehari-hari kita lainnya. Oligopoli yang mendominasi ekonomi ini sungguh tidak mudah untuk dicegah karena itulah karakter ekonomi kapitalisme itu sendiri, yang kuat yang menang dan pemenangnya mengambil semuanya – the winner take it all !


Keserakahan model kapitalisme ini bahkan sudah ada sejak munculnya peradaban manusia itu sendiri. Di jamannya nabi Saleh ‘Alaihi Salam, ekonomi itu hanya dikuasai oleh ‘…9 orang yang berbuat kerusakan di muka bumi…’ (QS 27:48), segelintir orang inilah yang menguasai sumber daya ekonomi dan tidak memberi kesempatan yang lemah untuk ikut ambil bagian.

Ketika Allah melalui Nabi Saleh menguji mereka dengan seekor unta betina agar bisa ikut makan minum di bumi Allah yang mereka kuasai, mereka malah menyembelih unta tersebut (QS 7:73 -77). Bukankah ini karakter Oligopoli yang ada di dunia kapitalisme sekarang ? kalau ada si kecil berusaha mengusik pangsa pasar mereka – serta merta mereka ‘menyembelihnya’ ?

Lantas bagaimana kerusakan-kerusakan ekonomi oleh segelintir pihak tersebut bisa dicegah ? ada dua yang bisa mencegahnya – yaitu para pemimpin dan rakyat itu sendiri. Para pemimpin seharusnya bertindak sebagai ‘muhtasib’ atau pengawas pasar, agar terjadi keadilan di pasar. Agar pasar dan sumber daya alam milik semuanya, bukan milik yang kuat saja – ‘agar unta Nabi Saleh bisa ikut minum’ !

Lantas apa yang bisa diperbuat rakyat ? harus ada yang bertindak seperti Nabi Saleh yang mengingatkan segelintir orang yang berbuat kerusakan tersebut dengan bahasanya ! Apa bahasa yang bisa digunakan untuk mengingatkan para konglomerat yang menguasai sendi-sendi kehidupan di jaman ini ?

Di jaman ini kita mengenal apa yang disebut disruptive innovation – innovasi yang demikian rupa sehingga bisa mengganggu kemapanan-kemapanan para penguasa pasar jaman ini. Di negeri ini ada Go-Jek yang berhasil menundukkan industri transportasi nasional kita, di dunia ada Uber. Di industri perhotelan ada Air BnB, di industri automotive ada Tesla dlsb.dlsb.

Sementara kita berharap para penguasa juga bertindak yang seharusnya, berlaku sebagai muhtasib yang adil – sebagai rakyat kita juga tidak bisa tinggal diam. Yang batil hanya akan lenyap bila yang hak kita hadirkan (QS 17:81), maka menghadirkan yang hak inilah yang menjadi tantangan sekaligus peluang kita.

Dahulu waktu kecil di kampung, bila butuh bayar sekolah, beli sepatu dlsb. Bapak saya menangkap ayam peliharaannya dan dia bawa ke perempatan jalan pagi-pagi, belum sampai siang ayam tersebut sudah terjual dan cukup untuk membayar atau membeli kebutuhan kita hari itu.

Mengapa sekarang memelihara  dan menjual ayam bisa didominasi hanya oleh dua perusahaan besar ? Ya karena secara bersama-sama kita memang membiarkan itu terjadi, kita belum menghadirkan secara cukup yang hak – sehingga yang batil menjadi dominan.

Yang hak dalam industri per-ayam-an adalah ketika rakyat bisa beternak sama efektifnya atau bahkan lebih efektif dari yang dilakukan industri. Rakyat bisa memiliki anak ayam yang secara genetik lebih baik karena ayam tersebut lahir secara fitrah dari telur yang dierami oleh induknya sendiri – bukan dari mesin-mesin penetas telur.

Rakyat bisa memiliki pakan yang jauh lebih murah – karena pakan ayam rakyat ridak perlu mesin industri untuk menggilingnya, tidak perlu ditansportasikan begitu jauhnya dari bahan baku – ke pabrik – dan ke kandang ayam. Begitu murahnya yang hak ini sehingga yang batil akan berguguran dengan sendirinya, persis janjiNya di surat Al-Isra’ 81 tersebut di atas.

Memang tetap akan ada yang pesimis tentang upaya seperti ini, karena katanya usaha rakyat semacam ini tidak bisa memenuhi kebutuhan ayam yang sangat besar. Justru disinilah sebenarnya peluangnya, peluang yang sangat besar bagi sejumlah besar rakyat untuk menggarap-nya rame-rame.

Peluang yang besar tidak harus digarap oleh perusahaan besar, bisa digarap rame-rame oleh sejumlah usaha rumahan tetapi jumlahnya sangat banyak. Dengan demikian ekonomi yang terpusat pada segelintir orang – ekonomi Tsamudian, ekonomi bangsa Tsamud – dapat beralih menjadi ekonomi yang terdesentralisasi, milik rakyat.

Dahulu di kampung kita bisa beternak dari ujung ke ujung, menetaskan telur dengan induknya langsung , membesarkan dengan segala macam pakan yang ada di sekitar kita sampai menjualnya di ‘pasar bebas’ pinggir jalan. Masak di era teknologi ini kita justru harus ter-dominasi oleh segelintir orang ?

Hal yang sama juga terjadi di industri makanan ringan, yang dikonsumsi oleh anak-anak kita. Karena industrinya tersentralisasi pada segelintir produsen, anak-anak kita makan –makanan yang High Energy Density (HED), yang mudah diproduksi oleh industri secara murah – karena akan ada beban iklan, transportasi dan packaging yang mahal.

Elemen terbesar dari makanan ringan yang menjadi konsumsi anak-anak kita sehari-hari adalah unsur promosi, transportasi dan packaging. Jadi yang dimakan mereka bukan value dari makanan itu sendiri, tetapi mereka ‘memakan’ biaya iklan, transportasi dan packaging !

Artinya kita bisa membuat makanan ringan yang sehat yang murah sekali untuk anak-anak kita sendiri karena kita tidak perlu 3 costs yang mahal tersebut, tidak perlu biaya iklan, biaya transportasi dan pacakging yang mahal. Caranya adalah memproduksi makanan ringan tersebut di lingkungan pasarnya masing-masing.

Yang saya beri contoh adalah ilustrasi berikut, orang-orang modern yang concern terhadap kesehatannya – mereka kini berusaha makan yang low calorie – jadi pastinya menghindari makanan yang HED tersebut di atas, menghindari makanan ringan produk industri. Gantinya apa ?

Low cost healthy whole grain meal : Pop Grain !

Makanan ringan yang mudah dibuat sendiri langsung dari bahan bakunya yang asli di alam, sehingga tahu persis apa yang ada pada makanan ringan tersebut. Salah satunya adalah apa yang disebut whole grain meal, makanan dari biji-bijian yang tanpa disosoh atau dibuang zat-zat yang terkandung di dalamnya.

Whole grain meal yang paling sederhana dan bisa dibuat langsung dari biji-bijian – tanpa tambahan apapun – kecuali kita sendiri menghendaki ada rasa tertentu, adalah dengan cara membakar biji-bijian. Hanya saja biji-bijian yang dibakar selain keras juga kurang enak, maka ada cara lain yang lebih menarik dan anak-anak suka – adalah dengan cara membuat pop.

Yang sudah sangat kita kenal adalah pop corn dari jagung, tetapi tdak sembarang jagung bisa dibuat popcorn-nya. Maka bisa kita ganti biji-bijian lain yang mudah tumbuh di tanah marginal sekalipun, yaitu sorghum. Sorghum varietas tertentu seperti numbu , dia mudah dijadikan pop sorghum atau secara umum kita sebut pop grain.

Bila Pak Tani dapat menjual 1 kg sorghum dengan harga Rp 3,000/kg di sawahnya , dia sudah mendapatkan untung yang baik. Sampai perkotaan harganya bisa sampai Rp 5,000/kg; tetapi di desa-desa yang mau menumbuhkan sorghum sendiri, harga Rp 3,000/kg adalah cukup adil.

Satu kilogram sorghum bila dibuat pop grain, akan menjadi sekitar 13-15 contong (cone) atau setara dengan 13-15 cangkir. Artinya cost bahan bakunya sendiri per cone hanya Rp 200-Rp300. Butuh investasi ? pop grain bisa dibuat dengan wajan biasa yang rata-rata rumah tangga sudah memilikinya. Kalau toh butuh mesin harganya tidak sampai Rp 3 juta dan bisa dipakai 5 tahun.

Butuh packaging mahal ?, tidak. Kertas A4 digunting diagonal menjadi dua – sudah menjadi cone yang menarik untuk makanan ringan ini. Artinya cost packaging menjadi sangat murah. Biaya transportasi nyaris tidak ada karena ibu-ibu yang mengantarkan anaknya sekolah bisa sekalian jualan ini di sekolah bila mau.

Bagaimana dengan biaya promosi ? well, gunakan getok tular di lingungan masing-masing, educate lingkungan kita untuk mulai concern terhadap apa yang kita beli, apa yang kita makan. Paling aman adalah kalau kita tahu persis siapa yang memproduksi makanan kita dan dari apa.

Dengan struktur biaya yang sangat murah tersebut, di jaman ini kita masih bisa memproduksi makanan ringan dengan harga jual Rp 1,000  dan sudah untung. Kalau mau jualan Rp 2,000 –pun (karena uang kertas terkecil Rp 2,000) belum terlalu mahal bagi pembeli dan sudah memberikan untung yang sangat banyak bagi penjualnya !


Tentu pop grain yang sangat murah yang merupakan kreasi Startup Center ini hanya sekedar contoh, bagaimana innovative disruption itu bisa menjadi ‘bahasa kaumnya’ untuk menyampaikan pesan kepada ‘bangsa Tsamud’ yang mendominasi ekonomi kita. Yang kita share adalah knowledgenya secara luas, agar rakyat bisa melakukan rame-rame, agar ‘unta nabi Saleh bisa ikut minum’ bukan malah disembelih !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar