Wong Telu

Kamis, 13 April 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Dahulu dakwah para wali berjalan sangat efektif karena mereka terjun langsung menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Mereka mengajarkan amal yang nyata kepada para murid-muridnya, diantaranya adalah ajaran untuk menemui ‘wong telu’ dalam perjalanan dakwahnya. Siapa ‘wong telu’ ini ? Dia adalah tiga jenis orang yang harus ditemui, dalam bahasa jawa disebut wong kang luwe lan ngelak (orang yang lapar dan dahaga), wong kang kepanasen lan kudanan (orang yang kepanasan dan kehujanan) dan wong kang udo (orang yang telanjang).


Ajaran yang dibawa para wali ini secara turun temurun diwariskan kepada para muridnya, para ulama dan kiyai – sampai pesantren-pesantren tua yang masih ada di Jawa. Hanya saja karena ajaran tersebut tidak lagi diamalkan oleh murid-muridnya yang jauh di jaman ini, maka disitulah kita kehilangan salah satu metode dakwah yang efektif ini.

Wong kang ngelak ombenono
Orang yang pertama – yaitu yang lapar dan dahaga – harus diberi makan dan minum. Orang yang kedua yaitu yang kepanasan dan kehujanan – harus diberi peneduh yaitu rumah. Adapaun orang yang ketiga yaitu yang masih telanjang atau belum bisa berpakaian secara yang seharusnya, dia diberi baju.

Saya tidak tahu apakah tiga kebutuhan pokok yang sering kita sebut sandang – pangan – papan ini berasal dari asimilasi program para wali di tanah Jawa di jaman modern ini, tetapi yang jelas ini juga ada referensinya di Al-Qur’an.

Ketika Adam dan Hawa masih di surga, Allah mengingatkan keduanya agar jangan sampai iblis mengeluarkannya dari surga. Sebab bila sampai keluar dari surga – Adam dan Hawa akan celaka (QS 20:117) - yang berarti turunannya juga demikian. Nah kecelakaan apa yang dimaksud Allah dalam ayat ini ? yaitu hiangnya jaminan fasilitas surga – yang tidak dimiliki oleh penduduk dunia.

Sungguh, ada (jaminan) untukmu di sana (surga), engkau tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang. Dan sungguh di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan terpapar terik matahari” (QS 20 : 118-119).

Ayat ini intinya adalah tentang adanya tiga urusan kebutuhan pokok manusia selagi dia di dunia – yaitu sandang, pangan dan papan. Maka bila kita bisa mengurusi kebutuhan-kebutuhan pokok inilah umat ini akan mandiri, bebas dari ketergantungan dan cengkereman umat yang lain.

Untuk urusan sandang insyaallah saat ini bukan lagi isu, karena semiskin-miskinnya umat masih bisa berpakaian yang baik – tidak ada lagi yang masih terpaksa ‘udo’, kalau toh ada yang masih ‘udo’ itu karena pilihannya untuk tidak mengindahkan petunjuk berpakaian yang baik.

Untuk urusan pangan, konon negeri ini sudah swasembada pangan sejak tahun lalu. Meskipun demikian, saya banyak sekali menulis di situs ini untuk tetap mewaspadai urusan yang satu ini. Kelebihan produksi pangan tahun lalu bukanlah prestasi atau program siapa-siapa, semata-mata itu karena Allah melimpahkan hujan yang berlebih sepanjang 16 bulan terkhir sehingga lahan-lahan bisa ditanami secara optimal. Mudah-mudahan kita juga siap menghadapi kemarau panjang, yang juga sudah diisyaratkan Allah di surat Yusuf ayat 47-48.

Nah bagaimana dengan urusan papan ? ini adalah kebutuhan besar umat yang masih terus harus diatasi. Setiap tahun dibutuhkan sekitar 1.2 juta rumah baru di Indonesia, dibutuhkan 30 juta rumah sampai tahun 2025. Pada urusan perumahan ini selain masalah ketersediaan, juga ada masalah yang tidak kalah seriusnya yaitu masalah  keterjangkauan.

Dengan pinjaman dunia perbankan, capital market dan bahkan juga dana-dana modal dari luar negeri – bisa saja rumah baru 1.2 juta unit tersebut diadakan – tetapi bagaimana kalau rumah yang ada tersebut tidak terjangkau oleh yang membutuhkan ?

Maka keterjangkuan inilah yang juga harus menjadi top priority dalam pengadaan rumah. Selama rumah masih dibiayai dengan dana-dana riba, maka dia akan cenderung mahal seperti yang saya uraikan dalam tulisan saya tentang Keadilan Ekonomi Bukan Zero Sum Game kemarin.

Bahkan ketika sudah di-arrange sesuai ketentuan syariah sekalipun, ketika rujukan sumber dananya masih disetarakan dengan riba- bunga bank dan sejenisnya – rumah itu juga masih mahal. Tanyakan ini kepada para pembeli rumah yang sudah menggunakan akad syariah, apakah rumahnya menjadi lebih murah ?

Maka harus ada mindset baru dalam pengadaan rumah untuk umat ini, tidak lagi merefer kepada pinjaman modal dari perbankan, pasar modal dlsb karena nantinya kembalinya masih kepada timbangan Rupiah yang sama – yang ujung-unjungnya rumah tetap mahal.

Dalam hitungan yang saya sajikan di tulisan tersebut di atas, baik cicilan maupun uang muka bisa diturunkan dengan sangat significant manakala kita gunakan timbangan yang adil berupa emas atau Dinar.

Tetapi solusi ini juga masih menyisakan satu pertanyaan besar yang belum saya jawab di tulisan saya tersebut di atas. Yaitu darimana sumber dananya untuk membangun perumahan dengan skema cicilan dan uang muka menggunakan standar emas/Dinar tersebut di atas.

Dalam contoh perhitugan tersebut saya gunakan margin keuntungan 25 % yang tentu sudah sangat baik bila uangnya dibayar tunai. Tetapi bagaimana kalau dicicil 10 tahun misalnya ? Tingkat keuntungan bagi yang menjual tinggal setara kurang lebih 2.25% per tahun. Siapa yang mau jualan dengan hasil yang hanya setara 2.25% per tahun ?

Mayoritas kita mungkin tidak mau, mengapa ? ya karena mindset kita terkooptasi dengan standar riba bunga bank saja yang 6% per tahun, mosok menjual dengan cicilan yang beresiko hanya mendapat 2.25% per tahun. Maka inilah mindset yang harus dirubah itu.

Hasil 6% per tahun-pun tetap bisa tidak cukup bila timbangannya Rupiah yang mengalami penggerusan karena inflasi dari waktu ke waktu. Sementara hasil setara 2.25% per tahun di perhitungan saya adalah dengan nilai standar emas – yang daya belinya proven terjaga sepanjang lebih dari 1,400 tahun.

Anda kalau tinggal di Amerika dan memiliki deposito-pun suku bunganya hanya sekitar 1.35 %, di Eropa malah hanya sekitar 0.05% per tahun. Sedangkan emas jauh lebih kuat ketimbang Dollar dan Euro, jadi 2.25% per tahun mestinya sudah sangat memadai. Maka saya yakin banyak para pemodal yang bersedia membiayai program semacam ini, bila mereka memahami konsepnya.

Tetapi yang jauh lebih penting dari itu, kalau kita ingin menjadi murid para wali tersebut di atas – maka ini bukanlah hanya karena kita ingin berbisnis perumahan dan sejenisnya, ini bagian dari perintah untuk menemui ‘wong telu’ tersebut di atas.

Saya sendiri tidak masuk di bisnis perumahan atau pembiayaan perumahan, namun bagi Anda yang ada di bisnis ini – bila dibutuhkan penjelasan lebih detil dari saya – insyaAllah dengan senang hati Startup Center Indonesia bisa memfasilitasi lahirnya startup baru untuk usaha perumahan atau pembiayaaan perumahan berbasis timbangan yang adil emas atau Dinar.


Supaya kita bisa menemui orang ketiga dari ‘wong telu’, yaitu wong kang kepanasan  lan kudanan – payungono, orang yang kepanasan dan kehujanan – beri dia peneduh ! InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar