Menuju Perfect Equality

Kamis, 4 Mei 2017
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Tugas yang sangat berat bagi para pemimpin – khususnya di bidang ekonomi – sebenarnya bukan hanya masalah pertumbuhan. Bisa saja pertumbuhan ekonomi itu tinggi, namun bila yang menikmati pertumbuhan itu hanya segelintir orang – maka negeri itu gagal memakmurkan mayoritas penduduknya. Ini yang tersirat dari datanya World Bank dan CIA untuk Indonesia selama lebih dari dua dasawarsa terakhir. Maka pertumbuhan ekonomi kedepan mestinya bukan hanya focus pada growth, tetapi juga harus sangat menekankan pada equality


Selama 20 tahun lebih  dipimpin oleh 6 presiden silih berganti, GINI index kita menurut World Bank melonjak dari angka 30.47 (1984) menjadi 35.57 (2010). Bahkan menurut datanya CIA untuk Indonesia, angka ini telah menjadi 41 pada tahun 2015 lalu. Angka 0 menunjukkan perfect equality atau kesetaraan sempurna, dan angka 100 menunjukkan perfect inequality atau ketimpangan sempurna.

Jadi apa makna trend GINI index yang menaik dengan cepat tersebut ? Pembangunan kita sedang bergerak menuju ketimpangan sempurna ! Setidaknya selama lebih dari dua dasawarsa yang datanya tersedia. Maka harus ada effort yang luar biasa untuk membalik arah ini, dari menuju ketimpangan sempurna kearah menuju kesetaraan sempurna. Tentu kita tidak akan pernah mencapai kesempurnaan, tetapi setidaknya arahnya harus berubah !

Mengapa ini penting ? Kalau Allah sampai mengingatkan masalah  ini – pasti karena masalah ini sangatlah penting. Dalam surat Al-Hasyr Allah mengingatkan : “…Agar harta itu jangan hanya berputar di golongan yang kaya di antara kamu…” (QS 59:7), maka bila larangan Allah ini yang kita saksikan sedang terjadi di negeri ini – kita harus berbuat semampu kita untuk memerbaikinya.

Bukan hanya data dari World Bank yang secara systematis memantau ketimpangan ini dari waktu ke waktu, juga CIA yang entah untuk apa mereka begitu anthusiasnya mendalami data-data yang seperti ini sehingga mereka lebih lebih update dari siapapun yang mengumpulkannya – tetapi kita juga bisa saksikan ini dari berita-berita kontemporer masa ini.

Akhir tahun lalu misalnya, Liputan 6 mengutip berita yang dilansir oleh independent.co.uk bahwa 1 % penduduk Indonesia menguasai nyaris separuh kekayaan negeri ini – tepatnya 49.3 %, maka ini jelas something seriously wrong di bidang kesetaraan ekonomi ini. Dan nampaknya kita tidak banyak bisa berharap pada pemerintah, siapapun presidennya – karena sudah terbukti 6 presiden berganti tidak ada yang bisa membalik trend ini.

Namun mengkritik tanpa memberi solusi juga tidak menyelesaikan masalah. Berteori, berwacana, seminar dan berdebat tanpa berbuat – juga malah membuat Allah membencinya (QS 61:3). Maka jalan satu-satunya untuk memperbaiki ini adalah berbuat sesuatu semampu yang kita bisa.

Ada tiga area yang bisa kita berbuat, yang juga di contohkan langsung oleh uswatun hasanah kita dalam membangun ekonomi yang berkeadilan. Pertama adalah membuka akses pasar seluasnya, pasar tidak boleh dikavling dan tidak boleh dibebani dengan biaya-biaya.

Yang pertama ini besar peluangnya untuk bisa direalisasikan di  jaman ini memalui berbagai technology marketplace, social media yang menumbuhkan berbagai jenis komunitas dlsb. Selain juga bisa mulai dihidupkan pasar-pasar atau bazar-bazar fisik yang memberi akses pada seluas mungkin masyarakat setempat untuk bisa berjualan.

Yang kedua skills – ketrampilan. Islam turun di kalangan jago-jago berdagang suku Qurays, dibawa hijrah juga oleh para pedagang, dibawa sampai ke Nusantara lagi-lagi oleh para pedagang. Keika Indonesia terjajah, yang merintis pemikiran untuk merdeka juga kaum pedagang (Syarikat Dagang Islam) – lantas dimana keahlian kita berdagang itu kini ?

Kepiawaian dalam berdagang ini bahkan melekat pada diri uswatun hasanah kita yang menjadi pedagang lintas negara sejak usianya yang masih sangat belia. Lantas mengapa umatnya yang hidup di jaman ini tidak berusaha sekuat tenaga untuk menjadi para pedagang yang tangguh ? mengapa mayoritasnya memilih ingin jadi priyayi saja ? Maka jangan salahkan orang lain kalau mereka merebut perdagangan dari umat, lha wong kitanya tidak banyak yang berminat !

Yang ketiga adalah masalah akses modal. System keuangan yang ada sekarang lebih cenderung berpihak pada yang kaya. Yang bisa mengakses dana masyarakat luas yang terkumpul di bank-bank, dana pensiun dlsb adalah perusahaan-perusahaan yang bankable, yang otomatis perushaan yang sudah jalan duluan.

Yang bisa go public adalah perusahaan-perusahaan besar yang sudah beberapa tahun menunjukkan kinerja yang kinclong, dan bahkan yang bisa mengkases instrumen permodalan Islam seperti sukuk-pun sejauh ini masih perusahaan-perusahaan besar. Walhasil solusi permodalan seperti apa yang bisa menjadi jalan bagi si kecil untuk bisa ikut menjadi besar ?

Solusi modal bagi si kecil bukanlah kredit berbunga rendah, karena sejauh dia masih melibatkan bunga yang ribawi – do’a si kecil-pun tidak dikabulkan oleh Allah dan bahkan masih tetap diperangi oleh Allah (QS 2:279), lantas bagaimana dia bisa menjadi besar ?

Jadi solusi modal  bagi si kecil haruslah solusi-solusi yang berdasarkan petunjukNya, yang dicontohkan oleh NabiNya dan diikuti oleh generasi terbaik yang sempat hidup bersama Nabinya. Di antaranya adalah SUKUK yang bahkan sudah sangat meluas di abad pertama Hijriyah.

Saat itu di jaman Khalifah Marwan ibn Al-Hakam seperti yang dicatat oleh Imam Malik dalam Al-Muwatta, SUKUK beredar begitu luas sehingga dikawatirkan menghalalkan yang haram. Lalu khalifah mengirim pengawal untuk menarik SUKUK-SUKUK yang diperjual-belikan sebelum menerima barang, untuk dikembalikan ke pemilik awalnya.

Pelajarannya disini bukan hanya pada jenis-jenis SUKUK yang boleh diperdagangkan dan tidak, tetapi juga bahwa peredaran luas SUKUK yang sudah terjadi pada jaman itu. Sukuk perlu diawasi oleh orang yang paham masalah ini, agar peredarannya yang luas tidak sampai menghalalkan yang haram.

Saat itu tentu bukan seperti era kapitalisme global dan era konglomerasi seperti sekarang. SUKUK bukan (hanya) dikeluarkan oleh penguasa-penguasa perniagaan besar, tetapi justru oleh para petani dan produsen-produsen kecil tetapi banyak jumlahnya.

Yang tersirat dari kejadian di jaman Khalifah Marwan tersebut ,yaitu  menarik sukuk dari pasar sekunder kembali ke tangan pertama sampai menerima barang – nampaknya SUKUK yang digunakan saat itu adalah jenis salam atau istishna’. Salam untuk produk-produk yang ditakar atau ditimbang seperti produk-produk pertanian, sedangkan istishna’ untuk barang-barang yang perlu dibuat seperti kerajinan, pakaian dlsb.

Dengan contoh-contoh yang terdomkumentasikan dengan sangat baik selama lebih dari 1,400 tahun tersebut – maka mestinya kita tidak perlu reinvent the wheel untuk bisa menghasilkan solusi akses modal yang baik, yang bisa diakses oleh sebagian besar pelaku ekonomi negeri ini yang memang mayoritasnya kecil dan menengah.

Maka untuk yang ketiga ini saya mengundang jago-jago ekonomi syariah dari kalangan akademisi ataupun praktisi yang ingin berkiprah dalam memberi solusi modal bagi usaha kecil dan menengah. Sekarang lebih memungkinkan untuk berbuat karena Otoritas Jasa Keuangan-pun telah membuka peluangnya dalam bentuk Fintech Lending.

Design For Islamic Financial Solution
Anda yang punya passion dan kompetensi unggul di bidang ini, dapat bersama-sama Startup Center memujudkan konsep Fintech berbasis solusi Islam yang kita sebut SUKUK ini. Hanya SUKUK disini kita perluas maknanya, dia juga berarti Solusi Keuangan Usaha Kecil – agar mengingatkan kita semua untuk lebih focus pada si kecil, karena misi awal fintech yang satu ini adalah membalik arah dari ekonomi yang menuju perfect inequality untuk kembali menuju yang fitrah, kembali ke perfect equality !

Ketika Anda mengayun bandul ke kanan dengan kuat, dia akan balik ke kiri dengan kekuatan yang mendekatinya. Semakin lama semakin lemah ayunan itu , dia akan menuju stabilitasnya. Jadi yang kecil-kecil banyak inilah yang secara fitrah menuju equality itu, bukan yang sangat besar tetapi hanya ada beberapa. Ini perfectly fit in dengan peraturan Fintech Lendingnya OJK yang mengatur pembiayaan tidak lebih dari Rp 2 milyar pada setiap penerimanya.

Bagi Anda yang memenuhi syarat dengan passion dan keunggulan kompetensi, Anda bisa menjadi co-founder dari startup yang kita beri nama SUKUK ini. Silahkan menghubungi kami di menu kontak situs ini atau langsung ke : info@sukuk.id . Bagi para pembaca yang ingin tahu lebih jauh, namun tidak sampai terlibat aktif dalam menyiapkan solusi berbasis SUKUK  ini insyaallah akan terbuka kesempatan untuk itu dengan mengikuti kajiannya di awal Ramadhan nanti. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar