Dinar Untuk Napak Tilas Jejak Karir...

Melanjutkan cerita tentang teman saya yang berkarir cemerlang dengan posisi sekarang sebagai direktur di grup perusahaan besar, kali ini saya ingin mendalami mengapa dia selama 15 tahun terakhir tidak merasakan adanya peningkatan kemakmuran. Apa yang terjadi dengan karirnya ?. Untuk pendalaman ini saya minta dia mengingat-ingat setiap perubahan dalam karir dan pendapatannya, kemudian saya plot-kan berdasarkan tabel harga Dinar yang saya muat di situs ini kemarin (01/11/2010). Hasil dari pemetaan perubahan karir dia selama 15 tahun terakhir ini dapat dilihat pada grafik dibawah.

Dinar dan Jejak Karir
Dinar dan Jejak Karir

Kita bisa melihat dari grafik tersebut diatas bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan perjalanan karir dia, bahkan sebagai professional dia termasuk professional yang karirnya cemerlang. Perhatikan ketika dia berhasil meningkatkan penghasilannya dua kali lipat pada tahun 2000 ketika dia pindah ke perusahaan lain sekaligus promosi menjadi general manager. Lompatan berikutnya terjadi ketika lima tahun kemudian  diangkat menjadi direktur di grup perusahaannya.

Lantas mengapa dengan perjalanan karir yang diatas rata-rata ini secara factual dia tidak bisa merasakan peningkatan kemakmuran ?. Ternyata ini adalah karena dia mengelola penghasilannya sama dengan pada umumnya masyarakat – yaitu mengelolanya dengan instrumen investasi finansial yang tidak terkait langsung dengan sektor riil.

Karena dari penghasilan dia baik yang di tabung di bank, deposito, asuransi, reksadana dan lain sebagainya semuannya ber-denominasi mata uang kertas Rupiah atau US$,  maka ketika daya beli uang kertas tersebut terus menyusut, tingkat kemakmuran dia juga ikut tergerus bersamanya. Perhatikan garis merah yang menunjukkan penghasilan dalam Rupiah yang secara angka terus naik, tetapi bila dibandingkan garis kuning yang menunjukkan penghasilan setelah  dikonversikan kedalam Dinar yang merepresentasikan daya beli uang terhadap benda riil – terus mengalami penurunan.

Sama dengan umumnya masyarakat Indonesia pula, pada tahun 1998 ketika krisis moneter terjadi – meskipun gaji dia dalam Rupiah masih mengalami kenaikan – daya beli terhadap kebutuhan sehari-hari yang diwakili oleh harga Dinar tergerus menjadi hampir sepertiganya. Posisi dia ini baru ter-recover setelah lompat ke perusahaan lain dengan posisi yang lebih tinggi pada tahun 2000.

Pelajaran apa yang sebenarnya bisa kita ambil dari pengalaman teman saya tersebut  di atas ?. Bahwa ternyata hanya mengandalkan perjalanan karir yang cemerlang sekalipun, bila kita hanya mengelola penghasilan kita dengan instrumen investasi finansial semata – akan sulit kita untuk dapat meningkatkan kemakmuran; bahkan mempertahankannya-pun bisa jadi tidak mudah.

Lantas apa solusinya ?,  solusi terbaik menurut saya adalah sedini mungkin menggunakan sebagian penghasilan Anda untuk investasi di sektor riil secara langsung. Pertama ini akan mengamankan hasil jerih payah Anda dari gerusan inflasi atau penurunan daya beli, kedua adalah bisa jadi ini menjadi sarana Anda untuk memberi manfaat pada orang lain dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Mudahkan langkah ini ditempuh ?. Jelas tidak mudah. Itulah sebabnya saya menganjurkan Anda untuk merintisnya sedini mungkin.

Ambil contoh pengalaman teman saya tersebut diatas. Seandainya ketika masih muda sebagai manager perusahaan asing tahun 1995 dengan gaji yang Rp 10 juta atau setara lebih dari 80 Dinar saat itu, dia mulai menyisihkan penghasilannya untuk investasi sektor riil secara langsung – kemudian dia harus mengalami jatuh bangun selama tujuh kali atau lebih sekalipun – sebelum ketemu sektor riil yang pas untuk dia; maka kemungkinan saat ini dia sudah akan mampu mempertahankan penghasilannya dari gerusan inflasi – atau bahkan mengalahkannya. Wa Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar