Globalization Sonic Boom : Antara Pelaku dan Korban...

Shenzhen adalah nama kota di bagian tenggara China tepatnya di provinsi Guangdong. Kota pelabuhan ini baru lahir ketika saya di SMA, jadi baru 30-an tahun usianya. Yang membuatnya istimewa adalah kecepatan pertumbuhannya yang luar biasa. Bila London dan Paris perlu berabad-abad untuk mencapai posisinya yang sekarang;  Kota Manhattan di AS perlu seabad; Los Angeles perlu setengah abad, maka Shenzhen cukup 30 tahun saja untuk menjadi kota yang sangat diperhitungkan di perdagangan dunia  karena kini memiliki pelabuhan no 4 tersibuk di dunia.

Sonic Boom
Cerita tentang beberapa kota-kota dunia dan apa yang dialami oleh penduduknya ini terangkum dalam buku menarik karya Gregg Easterbrook dengan judul “Sonic Boom - Globalization At Mach Speed “(Random House 2010, New York). Buku ini menjadi buku pertama yang saya baca di musim liburan ini, setelah sebulan penuh ‘berpuasa' dari membaca buku-buku yang bersifat ‘duniawi’ seperti ini.

Seperti sonic boom atau bom suara dari pesawat yang terbang melebihi kecepatan suara (disebut Mach), korban dari bom tersebut adalah orang yang berada diluar pesawat – yang dilalui jalur pesawat; pilot dan para penumpang pesawatnya sendiri tidak merasakan suara apa-apa, maka seperti inilah globalisasi melanda dunia dengan sangat cepat. Ada kota-kota dan penduduknya yang menjadi korban globalisasi ini, namun ada juga kota-kota dan penduduknya yang menjadi pelaku dan pemenangnya.

Kota dan penduduk Shenzhen adalah salah satu pelaku dan pemenang tersebut. Meskipun usianya sangat muda, kota itu kini menampung 9 jutaan penduduk yang makmur padahal 30 tahun lalu kota ini hanya dihuni oleh para nelayan miskin. Sebaliknya kota-kota besar lain di dunia, meskipun sebagian penduduknya juga tumbuh mendekati pertumbuhan Shenzhen tidak demikian halnya dengan pertumbuhan kemakmurannya.

Yang menarik adalah mengapa kota seperti Shenzhen bisa tumbuh dan memakmurkan penduduknya dengan begitu cepat sementara kota-kota lain meskipun penduduknya tumbuh tetapi tidak dengan kemakmurannya, sebagian malah mengalami penurunan dari tingkat kemakmurannya ?.

Kuncinya ternyata ada di pasar dan perdagangan – yang indikatornya antara lain terlihat dari aktifitas di pelabuhannya. Perhatikan kota Shenzhen ini yang pelabuhannya mecapai tingkat tersibuk no 4 di Dunia – hanya dalam 30 tahun. Bandingkan misalnya dengan pelabuhan Tanjung Priuk yang telah berusia kurang lebih dua abad, namun hingga kini belum menjadi pemicu kemakmuran bagi warga Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya.

Selain faktor kesibukan pelabuhan yang menjadi penentu, juga jenis barang yang keluar masuk melewati pelabuhan tersebut yang sangat penting artinya bagi kemakmuran penduduknya. Bila pelabuhan sibuk tetapi kesibukannya adalah karena lebih besar arus barang konsumsi yang masuk, maka ini menjadi tanda-tanda penduduk kota atau negeri tersebut menjadi pasar bagi kota/negara lain.

Sebaliknya bila kesibukan pelabuhan itu terjadi karena ekspor, mungkin juga diimbangi dengan import tetapi yang diimport adalah barang-barang modal seperti mesin industri dlsb. maka inilah pelabuhan yang mengindikasikan mampu memakmurkan warga kota/negaranya.

Lantas apa penentu keunggulan Shenzhen dan kota-kota lain yang menjadi pelaku dan pemenang perdagangan global ini ?. Berikut adalah 3 diantaranya yang saya anggap paling penting untuk menjadi pelajaran bagi kita.

1. Ekonomi Terbuka

Kemajuan Shenzhen adalah bersamaan dengan China membuka diri dari ekonomi tertutup berbasis komunisme menjadi ekonomi terbuka. Keterbukaan ini akan mendorong efisiensi, dan di pasar global yang paling efisien yang akan unggul. Banyak negara lain yang secara prinsip menganut system ekonomi terbuka, tetapi kemudian ‘menutup’ dirinya sendiri dengan berbagai peraturan, tarif pajak dlsb. yang membuatnya malah tidak mampu bersaing.

2. Inflasi

Ketika inflasi tinggi, ekonomi tumbuh dengan ‘semu’.  Masyarakat penghasilannya naik, tetapi dia tidak bertambah makmur – karena daya belinya turun. Penduduk Shenzhen beruntung pemerintah negeri itu tahun ini misalnya masih bisa mengendalikan inflasi pada angka dikisaran 3.3%.

3. Pahlawan-Pahlawan Baru Yaitu Para Entrepreneur.

Pada masa perang, pahlawan adalah para panglima perang yang berprestasi. Di masa penjajahan, pahlawan adalah para pejuang kemerdekaan – yang rela mengorbankan apa saja untuk kemerdekaan negerinya. Kini ‘perang’ global itu sedang terjadi di dunia ekonomi. Para panglimanya ya para entrepreneur tersebut, bila mereka menang dalam persaingan global sehingga mampu menaklukkan pasar diluar negaranya atau setidaknya mampu menghasilkan produk-produk substitusi dari produk impor – mereka akan membawa negerinya maju dan rakyatnya makmur, sebaliknya bila mereka kalah – mereka akan menjadi pintu masuk barang-barang konsumsi impor – yang ujung-ujungnya akan memiskinkan negaranya.

Untuk poin yang ketiga ini, di buku tersebut diatas juga diulas cerita kepahlawanan baru yang disebutnya sebagai Serial Entrepreneur. Mereka ini adalah para pahlawan entrepreneur  yang jatuh bangun membangun satu demi satu usaha. Sekian banyak yang gagal, tetapi tertutupi oleh satu dua yang berhasil. Mereka banyak sekali mengalami kekalahan dalam ‘pertempuran’, tetapi mereka tidak menyerah karena targetnya adalah memenangi ‘peperangan’.

Maka agar kota-kota dan negeri ini bisa belajar dari Shenzhen dan kota kota lain yang memenangi peperangan global yang disebut globalization, kita harus mampu melahirkan generasi pahlawan-pahlawan baru – generasi Serial Entrepreneur – yang berani ‘berperang’ jatuh bangun merintis usaha dan menciptakan lapangan kerja; mereka babak belur dalam ‘pertempurannya’ tetapi asal mereka tidak menyerah – insyaAllah mereka akan memenangkan ‘peperangannya’.

Pemerintah dan otoritas yang terkait harus memfasilitasi tumbuhnya generasi mereka ini, bukan sebaliknya menghalanginya dengan berbagai peraturan , perijinan, perpajakan dlsb. yang selama ini telah menjadikan negeri ini terpuruk ke peringkat 122 dari sisi kemudahan usaha – sementara tetangga kita yang negerinya hanya kurang lebih seluas Jakarta (sebelum reklamasi, Singapore hanya 581 km2 sedangkan Jakarta 661 km2) mampu menduduki peringkat 1 dunia.

Ayo bangkit para calon entrepreneur Indonesia, Andalah para pahlawan itu kini, pahlawan dalam membuka lapangan kerja – pahlawan dalam memerangi kemiskinan dan membangun kemakmuran. Pahlawan yang disebut di Al-Qur’an karena Anda bersedia menempuh jalan yang mendaki  lagi sukar, untuk membebaskan manusia dari perbudakan (ekonomi) modern dan untuk memberi makan di hari kelaparan....InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar