Pelajaran Dari Kendit dan Sa’i-nya Siti Hajar...

Ada kebiasaan wanita jawa khususnya di jaman dahulu untuk mempertahankan kelangsingan tubuhnya pasca melahirkan dengan apa yang disebut kendit, yaitu kain panjang yang dililitkan pada tubuh dengan sangat kuat. Begitu panjangnya kain ini sehingga untuk memakainya (bila memakai sendiri – tanpa bantuan orang lain) harus mengikatkan satu ujung kain ke tiang – kemudian tubuh si pemakai memutar dari ujung yang satunya sampai mendekati tiang. Cara ini efektif dengan bukti banyaknya wanita jawa yang tetap langsing meskipun memiliki jumlah anak yang banyak, namun pastinya tidak praktis – sehingga kini tidak banyak lagi wanita jawa yang memakai kendit – mengenalnyapun mungkin tidak.


Di benua lain, di Perancis tahun 1910 seorang designer bernama Paul Poiret menemukan apa yang dikenal para wanita hingga kini yaitu korset. Fungsinya hampir sama dengan kendit tetapi lebih mudah memakainya – maka para wanita kini tentu  lebih mengenal korset ketimbang kendit.

Mungkin tidak banyak yang tahu,  bahwa yang menemukan kendit atau korset pertama kali bukanlah orang jawa atau designer Perancis tersebut – tetapi adalah Siti Hajar. Istri dari nabi Ibrahim AS, dan juga ibu nabi Ismail AS.

Di penjelasan Shahih Bukhari dalam kitab Fath al-Bari,  Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, tentang proses pembangunan ka’bah di Mekah. Penjelasan ini begitu detail, sehingga ketika dijadikan penjelasan di catatan kaki dalam Al-Quran terbitan Darussalam – Riyadh, catatan kaki ini menjadi empat halaman meskipun huruf-nya sangat kecil dan rapat.

Sisi lain dari penjelasan detil tersebut saya angkat sebagai bahan dalam tulisan ini untuk mengungkap sisi manusiawi-nya Siti Hajar, sehingga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Dalam riwayat tersebut diatas diceritakan bahwa setelah istri kedua nabi Ibrahim AS Siti Hajar melahirkan anak yang kelak menjadi nabi Ismail, istri pertama nabi Ibrahim AS Sarah menjadi sangat cemburu.  Dalam kecemburuan yang sangat inilah Sarah sempat mengancam akan membunuh Siti Hajar.

Karena takut akan ancaman ini, Siti Hajar kemudian mengikatkan tali/kain panjang dipinggangnya sehingga menjuntai ketanah. Adapun maksud dari kain panjang yang menjuntai ketanah tersebut adalah agar ketika dia berjalan, kain yang bergerak kekiri dan kekanan menyapu tanah menghapus jejaknya sehingga Sarah tidak bisa mengikuti kemana Siti Hajar pergi. Kain panjang yang diikatkan dipinggang inilah yang ribuan tahun kemudian juga dipakai oleh orang jawa kuno yang disebut kendit tersebut diatas, begitupun designer Perancis mendesign korset untuk maksud yang lain. Wa Allahu A’lam.

Bukan korset atau kendit-nya yang menjadi pelajaran, tetapi sisi manusiawi dari seorang istri nabi yang juga ibu seorang nabi. Bahwa dia juga ada rasa takut sebagaimana umumnya manusia, bahwa dia juga berusaha menyelamatkan/ mempertahankan diri sebagaimana manusia pada umumnya. Justru dengan sisi-sisi kemanusiannya inilah perjuangan Siti Hajar ini bisa dicontoh manusia lain sampai ribuan tahun kemudian – hingga kini bahkan insyaAllah hingga akhir jaman.

Sisi kemanusiaan ini pula yang membuatnya perlu berlari mondar-mandir dari bukit Safa ke bukit Marwa dan sebaliknya – sampai tujuh kali, sebelum akhirnya menemukan air. Meskipun Siti Hajar yakin betul bahwa Allah tidak akan meninggalkannya, keyakinan ini tidak menghalanginya untuk berusaha secara maksimal.

Keyakinan Siti Hajar bahwa Allah tidak akan meninggalkannya tersebut terungkap dari dialog yang menceritakan saat-saat suaminya (Nabi Ibrahim AS) mengantarkannya sampai ke Mekah yang saat itu belum berpenghuni. Setiba di Mekah dengan memberi bekal berupa beberapa buah korma dan satu kantong air, Ibrahim-pun hendak pergi lagi meninggalkan Siti Hajar dan anaknya yang masih bayi Ismail.

Maka Siti hajar mengejarnya sambil bertanya “ wahai Ibrahim, hendak pergi kemana engkau ?. meninggalkan kami tanpa seorangpun menemani, tanpa sesuatupun yang bisa dinikmati ? ”. berulangkali Siti Hajar menanyakan hal ini sambil mengejar Ibrahim, tetapi Ibrahim tidak menoleh sedikitpun. Baru setelah Siti hajar bertanya “ Apakah Allah yang memerintahkan kamu untuk berbuat demikian  ?”; Ibrahim menjawab “Ya” , kemudian Siti Hajar berkata “Kalau begitu Allah tidak akan mengabaikan kami”.

Dua pelajaran sekaligus yang kita bisa petik dari rangkaian cerita  diatas yaitu kehati-hatian dan usaha yang maksimal perlu kita lakukan dengan serius dan sungguh-sungguh, sekaligus bersamaan dengan itu kita juga perlu selalu berprasangka baik pada Allah – bahwa Dia tidak akan mengabaikan usaha-usaha kita.

Pelajaran ini penting bagi kita yang sedang berikhtiar dibidang apapun. Bagi kita yang ingin menjadi entrepreneur misalnya, seberapa tahan banting kita dalam mengupayakan apa yang kita cita-citakan ?. Bila sekali dua kali gagal, tiga empat kali gagal, lima enam kali gagal, masihkah kita akan terus berusaha sampai ke tujuh, delapan dan seterusnya sampai berhasil ?.

Lha wong istri seorang nabi dan juga ibu seorang nabi saja untuk melindungi diri perlu memakai kendit atau korset, untuk mencari air harus pontang-panting lari dari satu bukit kebukit lainnya sampai tujuh kali; kita ini kan bukan siapa-siapa ?, jadi pastinya kita perlu lebih berhati-hati dan perlu berusaha lebih keras untuk apa yang kita cita-citakan. Wa Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar