Penyakit Financial Kambuhan : Ketika Liquidity Menyaru Solvency Dan Competency...

Sebelum saya menguraikan lebih jauh tentang krisis financial kambuhan yang (berpotensi) melanda dunia (lagi), terlebih dahulu saya perkenalkan tiga istilah seperti di judul tulisan ini yaitu liquiditysolvency dan competency. Yang saya maksud dengan liquidity disini adalah ketersediaan asset yang mudah dikonversi menjadi cash atau tunai. Solvency adalah kemampuan yang cukup untuk membayar biaya-biaya dan hutang-hutang. Sedangkan Competencyadalah kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan dengan standar yang diperlukan.

Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka bisa saja kita memiliki uang tunai banyak (liquid), tetapi bila seluruh uang dan asset kita tidak cukup untuk membayar kebutuhan dan hutang-hutang – maka kita disebut tidak solvent atau insolvent. Bisa pula terjadi, uang tunai tersedia banyak – tetapi kita  tidak bisa mengelola uang tersebut secara memadai untuk mengatasi berbagai persolan rumah tangga kita, atau uang tersebut bukan hasil dari kemampuan kerja kita - maka kita disebut tidak competent atau incompetent.

Sekarang kita lihat dalam skala makro yaitu krisis keuangan global yang belum sembuh benar dari krisisnya dua tahun lalu dan kini sudah sangat kuat gejala-gejalanya untuk timbulnya krisis sejenis dalam waktu dekat. Bila sebuah penyakit sulit disembuhkan dan cenderung kumat lagi, (seolah) sembuh sebentar kemudian kumat lagi dan seterusnya. Apa kira-kira penyebabnya ?, kemungkinan besar penyakitnya sendiri yang memang membandel yaitu jenis penyakit mematikan yang tidak bisa disembuhkan atau dokternya yang salah diagnosa.

Untuk system keuangan kapitalis ribawi global saat ini,  nampaknya kombinasi dua hal tersebut yang terjadi. Pertama penyakit riba sendiri memang tidak bisa disembuhkan karena Allah sudah mengabarkan pasti dimusnahkannya riba (QS 2 : 276), kedua sangat bisa jadi para ‘dokter’nya system keuangan global tersebut telah salah mendiagnosa penyakit yang ada – sehingga penanganannya-pun tentu salah.

Tuduhan salah diagnosa ini juga tidak main-main, tuduhan ini datang pertama kali dari sesama ‘dokter’ keuangan kapitalis ribawi – karena sesama ‘dokter’ biasanya saling tahu ilmu sejawatnya – maka sangat bisa jadi tuduhan ini benar adanya. Salah diagnosa-nya ‘penyakit’ yang menimbulkan krisis keuangan global saat ini terungkap dari tuduhan blak-blakan yang dilontarkan oleh menteri keuangan Jerman Wolfgang Schauble atas tindakan yang dilakukan ‘sejawat’nya the Fed Chairman Ben Bernanke dari Amerika dalam forum G-20 belum lama ini.

Tindakan the Fed yang mengobati krisis dengan menggelontorkan uang dari awang-awang atau yang lebih dikenal dengan Quantitative Easing -2  dikatakan Wolfgang sebagai “"The American growth model, on the other hand, is in a deep crisis. The United States lived on borrowed money for too long, inflating its financial sector unnecessarily, and neglecting its small and mid-sized industrial companies. There is no lack of liquidity in the US Economy, which is why I do not recognize the economic argument behind this measure." (terjemahan bebasnya kurang lebih adalah : "Disisi lain, model pertumbuhan Amerika sekarang berada dalam krisis yang dalam, Amerika telah hidup dengan hutang terlalu lama yang menyebabkan inflasi yang tidak perlu di sektor keuangan, mengabaikan industri kecil dan menengahnya, dan sebenarnya tidak ada masalah liquidity dalam ekonomi Amerika – jadi saya tidak melihat adanya alasan ekonomi dibalik tindakan pencegahan ini...”).

Ringkasnya menteri keuangan Jerman tersebut telah menuduh the Fed Chairman Amerika sebagai salah mendiagnosa penyakit menular yang diderita Amerika. Penyakit mereka sesungguhnya adalah ada di insolvency karena hidup dari hutang yang terlalu lama, penyakit mereka juga ada pada in-competency di industri kecil dan menengahnya sehingga tidak mampu bersaing dengan produk-produk China. Mereka tidak ada masalah dengan liquidity – karena uang Dollar sudah terlalu banyak dicetak sebagai efek dari Quantitative Easing pertama sekitar dua tahun lalu  – lihat tulisan saya tentang “...Uang dari Awang Awang Bank Sentral”.
Jadi penggelontoran US$ 600 milyar dalam Quantitative Easing - 2 yang diputuskan hanya beberapa hari menjelang KTT G-20 tersebut diatas adalah obat beracun yang menimbulkan efek samping luar biasa (berupa inflasi tinggi dan memicu krisis berikutnya), padahal  obat yang diberikan ini hanya bisa mengobati gejala atau symptom yaitu liquidity – tetapi sama sekali tidak mengatasi penyakit yang sesungguhnya yaitu insolvency dan in-competency.

Tiga masalah ‘penyakit’ ini yaitu insolvency, in-competency dan illiquidity memang memiliki gejala yang sama yaitu ketersediaan uang atau tunai. Kembali pada contoh keluarga tersebut diatas, bila keluarga kita tidak memiliki competencyyang cukup – maka kemungkinan berakibat pada penghasilan kita yang tidak memadai untuk membayar biaya-biaya dan membayar hutang (insolvency), symptom-nya adalah kita akan lebih sering tidak punya uang cukup atau illiquidity. Tetapi bisa saja tiba-tiba kita punya uang yang banyak dengan berhutang (lagi) misalnya, maka ini mengatasi masalah illiquiditytadi – tetapi jelas tidak mengobati penyakit yang lebih mendasar yaitu insolvency (karena hutang tetap akhirnya harus dibayar juga), lebih-lebih berhutang jelas tidak akan mengobati masalah incompetency.

Selama uang kita mudah di cetak dari awang-awang – maka liquidity dalam skala nasional maupun global yang timbul dari uang kertas tersebut – tidak ada jaminan mampu mengatasi masalah-masalah yang lebih mendasar seperti masalah insolvency dan in-competency – karena uang dicetak dari kertas kosong dan bukan sebagai hasil dari kerja – tetapi hasil dari hutang  seperti kasus keluarga yang menambah cash dengan meminjam tersebut diatas. Bahkan liquidity uang kertas ini akan cenderung men-disguise atau menyarukan problem yang lebih mendasar seperti insolvency dan in-competency .

Pada tulisan saya tentang ...Neraca Perdagangan... misalnya, selama belasan tahun di era Orde Baru kita mengalami penyakit kronis defisit perdagangan – yang bisa jadi penyebabnya adalah insolvency dan in-competency juga. Namun penyakit defisit tersebut ujug-ujug sembuh ketika krisis melanda negeri ini tahun 1998. Padahal yang sembuh baru symptom-nya yaitu dari defisit perdagangan menjadi surplus, dan inipun bukan karena tiba-tiba ada perbaikan di sisi competency atau-pun solvency (karena hutang kita tetap saja besar) – tetapi karena perbaikan di sisi liquidity semata sampai timbul inflasi yang luar biasa tinggi saat itu.


Tanda-tanda mengenai belum membaiknya sisi competency dan solvency ini antara lain dapat dilihat dengan jelas melalui tulisan saya tentang...Negeri Dengan Ranking 122... dan juga tulisan tentang Jalan Mendaki Lagi Sukar.... Tetapi in-competency dan insolvency tersebut selama ini telah tersarukan oleh liquidity – yaitu uang kita yang murah sehingga produk barang dan jasa kita bersaing di pasar ekspor – maka neraca perdagangan kita-pun surplus dan dalam skala makro kita seperti tidak merasakan adanya penyakit-penyakit tersebut diatas.

Lantas siapa yang tetap merasakan dampak adanya  penyakit ini  sebenarnya ?, ya kita semua yang memiliki uang tetapi ber daya beli rendah ini. Meskipun ekspor kita banyak melebihi impor sehingga neraca perdagangan surplus dan devisa kita membesar,  namun bila diukur dengan daya beli yang sesungguhnya, rata-rata penduduk negeri ini semakin jauh dari garis kemiskinan yang baku dengan standar batas kemiskinan hakiki hingga akhir zaman yaitu nishab zakat.

Nah sekarang kita tahu ada penyakit yang sangat menular dan ternyata para ‘dokter’ kelas dunia-pun bisa salah mendiagnosa penyakit tersebut – bukankah kita menjauh dari sumber-sumber penyakit tersebut akan lebih baik bagi kita ?, apalagi bila sambil menjauh dari sumber-sumber penyakit tersebut kitapun mampu membangun ‘ketahanan tubuh’ berupa competency dan juga solvency yang kemudian juga otomatis mengatasi masalah illiquidity.

Semoga Allah memudahkan langkah kita semua untuk membedakan yang hak-itu hak kemudian kita mengikutinya, dan yang batil – itu batil agar kita bisa menjauhinya. Semoga Allah memudahkan kita pada jalan amal yang diridloiNya, Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar