Tiga Jalan

Ada tiga jalan untuk memutar ekonomi, yang satu dilarang sedangkan dua lainnya dihalalkan, diberkahi, disuburkan dan dilipat gandakan. Ironinya dalam beberapa dasawarsa terakhir, justru jalan yang dilarang tersebut yang tumbuh pesat – sedangkan dua jalan yang lain terdominasi oleh yang pertama. Yang dilarang ini adalah jalan riba, sedangkan dua lainnya adalah jalan jual-beli dan sedekah. Untuk mengerem laju pertumbuhan riba, tidak ada jalan lain kecuali menguatkan jual-beli dan sedekah.













Dilarangnya riba sudah bukan lagi wacana, Al-Qur’an sangat tegas dalam hal ini bahkan Allah memberondongnya dengan memvonis haram (QS 2:275), mengancam akan memusnahkannya (QS 2:276),  bahkan Allah dan Rasulnya menyatakan perang terhadap riba ini (QS 2: 279).

Praktek-praktek yang dikategorikan riba di jaman modern ini juga sudah diinterpretasikan tanpa perdebatan lagi oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional – MUI no 1 tahun 2004. Semua produk mengandung bunga perbankan konvensional, asuransi dan koperasi – masuk kategori ini berdasarkan fatwa tersebut.

Tetapi mengapa justru produk-produk ribawi ini terus merajalela ? ya karena dia ditumbuh-suburkan oleh ecosystem yang memang menunjangnya. Dari pihak eksekutif dan legislatif negeri ini menghadirkan berbagai produk yang menunjang tumbuh suburnya riba ini, misalnya ada undang-undang penjaminan simpanan, undang-undang BPJS dlsb.

Dari pihak masyarakat, baik pelaku usaha maupun sebagai konsumen – juga masih enggan untuk melakukan innovative disruption untuk keluar dari kungkungan riba ini. Bahkan karena riba itu begitu besar, tanpa kita sadari yang berusaha keras meninggalkannya-pun masih harus terus menerus menghirup debu-debu riba.

Jalan yang kedua – jalan yang jelas dihalalkan oleh Allah adalah jual-beli atau perdagangan (QS 2:275), jalan ini sekarang mulai menggeliat karena dengan tumbuh suburnya marketplace startup – yang mulai menggurita, masyarakat yang pandai berdagang secara umum diuntungkan.

Sebelum marakanya marketplace berbasis internet, Anda harus menyewa kios yang mahal di pusat-pusat perdagangan untuk bisa berjualan produk Anda. Akibatnya dunia perdagangan dikuasai oleh segelintir yang mampu saja.

Dengan menjamurnya berbagai marketplace tersebut, kini Anda idak lagi harus menyewa kios yang mahal untuk berjualan. Anda bisa berjualan apa saja, dari cendol sampai komponen teknologi tinggi yang sekarang lagi in – seperti komponen-komponen IoT (Internet of Things) di marketplace yang boleh dibilang gratis.

Tetapi pertumbuhan pasar ini saja, belum cukup untuk melawan riba. Ketika akses capital masih dikelola dengan system ribawi, ujungnya penguasa pasar tetap segelintir orang itu saja.

Kepemilikan marketplace-marketplace raksasa tetap privilege para pemilik modal raksasa yang notabene juga pengelola ribawi. Hukum rimba marketplace – yang nyaris tanpa ada entry barrier – mendorong persaingan yang tidak sehat antara para pengelola marketplace tersebut.

Mereka tidak segan-segan ‘membakar uang’ dalam jumlah yang tidak terbayangkan untuk meningkatkan pangsa pasarnya masing-masing. Mereka saling berusaha menjadi pemenang tunggal yang tidak menyisakan runner-up, sehingga di dunia marketplace ini berlaku istillah the winner take it all – pemenangnya mengambil semua !

Sementara masyarakat masih bisa menikmati persaingan antar raksasa ini, kita masih bisa naik ojek dan taksi yang tersubsidi oleh mereka, perdagangan yang ongkos kirimnya dibayari mereka dlsb. tetapi ketika sesuatu itu melanggar laranganNya, tidak terbayangkan apa akibat what next-nya.

Selain riba, ada larangan monopoli/oligopoli, kartel, ada larangan persaingan tidak sehat dlsb. Ingat bangsa Tsamud , kaumnya Nabi Saleh Alaihi Salam – apa kesalahan mereka  sehingga dihancuran oleh Allah ? karena ada sembilan orang (oligopoli) yang berbuat kerusakan di bumi (QS 27:48).

Ketika sembilan orang tersebut menguasai segala akses perekonomian – dan melarang unta Nabi Saleh untuk ikut dapat minum air, saat itulah Allah hancurkan bangsa itu. Bukankah perilaku pasar kita sekarang juga demikian ? yang besar ingin semakin besar dan berusaha menendang yang kecil untuk keluar dari pasar ?

Satu jalan lain yang harus kita dorong sekuat tenaga untuk tumbuh adalah jalan sedekah. Mengapa demikian ? banyak sekali kebutuhan kita yang tidak bisa secara optimal dipenuhi hanya dari jual beli komersial, harus jual-beli dengan Allah – itulah salah satu caranya yaitu dengan sedekah.

Urusan pendidikan, urusan mengatasi musibah/bencana, urusan kesehatan dlsb- tidak bisa diatasi dengan jual beli. Kalau untuk menerima layanan kesehatan Anda harus bayar, lantas bagaimana si miskin yang tidak bisa membayarnya. Bila untuk memperoleh pendidikan harus bayar, bagaimana is miskin meningkatkan taraf hidupnya ?

Apalagi untuk mengatasi musibah seperti bencana alam, musibah kemanusiaan seperti yang dialami oleh saudara-sudara kita di Rohingnya dlsb – tentu ini bukan medan jual beli antar manusia, inilah medan jual-beli dengan Allah atau dengan sedekah tadi.

Tetapi sedekah ini juga tidak akan optimal kalau aktivitas perdagangan kita terganggu, apa yang bisa kita sedekahkan ke saudara kita di Rohingnya misalnya – kalau kita sendiri tidak memiliki apa-apa, yang tidak memiliki tidak bisa memberi ! Maka perdagangan antar manusia, dan perdagangan dengan Allah – itu seperti dua sisi mata uang yang saling kait-mengkait.

Kita tidak bisa optimal bersedekah bila kita sendiri membutuhkan sedekah, tetapi kekayaan kita juga tidak akan ada artinya – bila sebagian harta tersebut tidak kita sedekahkan. Karena hanya ada tiga hal yang bisa kita bawa mati, yaitu Anak saleh yang mendoakan orang tuanya, ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah.

Maka di point terakhir sedekah jariyah atau wakaf – inilah yang dimasa-masa lampau menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa, karena saat itu umat sadar bahwa harta terbaik mereka adalah harta yang bisa dibawa mati – harta yang disedekahkan atau diwakafkan.

Dengan wakaflah selutuh infrastruktur pendidikan terbaik yang bisa diakses oleh si miskin maupun si kaya – bisa di bangun. Dengan wakaf pula seharusnya rumah sakit dan layanan-layanan kesehatan, dan layanan social lainnya dibangun.

Yang kita saksikan sekarang sekolah yang baik menjadi sangat maal, rumah sakit yang baik juga hanya privilege of the few – ya karena sektor-sektor yang seharusnya dikelola dengan sedekah ini, kini diperdagangkan dengan dukungan modal ribawi.

Tetapi hanya mengidentifikasi masalah saja tanpa memberikan solusi juga menjadikan kita seperti penonton sepak bola yang hanya bisa berkomentar dan maido - bahasa jawa yang artinya mencela, dan Allah-pun marah ketika kita hanya bicara tanpa berbuat. Maka kinilah waktunya berbuat !

Di era ketika pertumbuhan ekonomi dunia didominasi oleh disruptive innovation, tidak ada hegemoni ekonomi yang bebas dari ini – disrupt or be disrupted, maka terhadap system ekonomi kaitalisme ribawi-pun waktunya untuk bisa di-disrupted.

Waktunya kita membenarkan janji Allah, bahwa riba dihancurkan dan sedekah disuburkanNya (QS 2:276), bahwa sedekah itu dilipat gandakan sampai 700 kali atau bahkan lebih (QS 2: 261), dan sedekah itu seperti berkebun  di tanah yang subur – bila ada hujan lebat hasilnya dua kali, bila yang ada hanya rintik hujan atau embunpun cukup (QS 2:265).

Janji Allah pasti benarnya, yang belum pasti adalah apakah kita berhak atas janji tersebut. Karena janji ini bersyarat, yaitu bila kita memulai dengan sesuatu. Bila kita tidak mulai menanam, apa yang disuburkanNya ? bila angka kita nol dilipat gandakan berapapun tetap juga nol !

Maka di momentum tahun baru Hijriyah pekan depan, waktu yang baik untuk memulai hal baru yang lebih baik. Waktunya berhijrah untuk mengunggulkan jalan jual-beli dan sedekah di atas jalan riba. Waktunya untuk mulai ‘menanam’ agar ada yang disuburkanNya, waktunya untuk menggoreskan amalan kita yang bernilai satu demi satu – agar ketika dilipatgandakan olehNya menjadi amalan yang berarti. InsyaAllah.


http://www.geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/81-gd-articles/entrepreneurship/1926-tiga-jalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar