Memaknai Kemerdekaan : Belajar Swasembada Ala Gandhi...

Mumpung ini bulan Agustus, saya ingin menulis lagi tentang makna kemerdekaan bagi saya. Ini terkait dengan salah satu sebab mengapa rata-rata penduduk negeri ini bertambah miskin justru di era reformasi khususnya sepuluh tahun terakhir . Hal ini antara lain karena kita menjadi bangsa konsumtif, ekonomi kita lebih banyak didorong oleh konsumsi ketimbang produksi. Kita lebih banyak menjadi pasar dari produk orang lain, ketimbang pemasar bagi produk-produk kita sendiri.

Kalau sebagian bahan pangan kita dari terigu yang harus diimpor, demikian pula daging , susu dan gula lebih ekonomis (lebih murah) produk impor, tekstil dan produk tekstil kalah murah dengan produk china, sebagian terbesar peralatan elektronik, komputer , kendaraan bermotor juga produk impor, lantas apa yang kita produksi sendiri ?.

Coba kita renungkan dari bangun pagi sampai tidur lagi malamnya, bagian mana yang kita produksi ?.

Ketika bangun kita gosok gigi dan mandi pagi, hampir pasti pasta gigi yang kita pakai produksi perusahaan asing demikian pula sabunnya. Kemudian mencukur jenggot atau kumis, foam dan silet-nya juga pasti produksi asing. Ketika berganti baju, kemungkinannya adalah baju tersebut buatan China atau negeri lain, kalau toh buatan dalam negeri – hampir pasti kapas atau bahan tekstil-nya diimpor juga.

Kemudian sarapan pagi pakai roti atau pakai mie – kedua produk ini terbuat dari terigu yang pasti juga bahannya diimpor. Sebelum berangkat kerja sempat menelpon beberapa orang, handset-nya pasti impor – dan pulsa teleponnya dibayarkan ke perusahaan Indonesia – yang sahamnya juga dimiliki asing seperti Malaysia, Qatar dlsb.

Kemudian naik kendaraan, mungkin dibuat/diasembling di dalam negeri tetapi komponen utamanya juga impor. Ketika mengisi bensin, well sebagian besar kita masih memilih pom bensinya Pertamina. Tetapi tahukah kita bahwa minyak mentah untuk bahan bensin tersebut juga harus diimpor ? makanya ada subsidi yang sering diributkan itu, sudah sejak beberapa tahun lalu kita menjadi net importir untuk minyak – jadi kita lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor.

Sampailah kita ke kantor membuka komputer mulai kerja; kemungkinan besarnya kita menggunakan PC atau Mac – yang keduanya juga impor. Perhatikan pula seluruh peralatan kerja kita, sampai pensil sekalipun kemungkinan adalah produk impor.

Malam hari kita pulang, sempat nonton televisi yang produk Jepang, Korea, China atau negara-negara lain. Istri di rumah nggak sempat masak, telpon jaringan fastfood untuk makan malam – lagi –lagi sebagian yang kita makan otomatis lari keluar karena makanan tersebut dijual disini atas lisensei franchise dari negara lain.

Kemudian kita lelah dan berangkat tidur, mulai dari matras tempat tidur, sampai bantal dan selimut-pun kemungkinan besar di dominasi oleh produk atau bahan impor. Wow !.

Nah mengapa semua ini bisa terjadi ?; para ekonom rata-rata sepakat ini adalah karena faktor efisiensi. Negara-negara yang bisa membuat produk lebih efisien – dus lebih murah – akan dengan mudah bersaing di pasar yang semakin tanpa batas. Kalau ini dalilnya, lantas dimana peluang kita ?. Bagian mana dari kebutuhan kita yang bisa kita penuhi sendiri ?. Untuk menjawab pertanyaan inipun kini menjadi tidak mudah – saking sudah terkepungnya kita dengan produk impor tersebut.

Ada setidaknya dua hal  yang sebenarnya bisa mendongkrak produksi diluar faktor efisiensi tersebut, yaitu yang pertama adalah keberpihakan pada produksi dalam negeri. Bisa jadi lebih mahal karena belum seefisien negara maju, namun kalau kelebihan harga tersebut juga kembali ke industri dan lapangan kerja di dalam negeri – maka efek globalnya akan meningkatkan produksi dalam negeri – dan menekan konsumsi produk-produk impor.

Yang kedua adalah apabila ada sentimental value dari produk-produk yang kita konsumsi. Meskipun produk impor lebih murah, kita tetap memilih produk kita sendiri karena adanya nilai lebih ya sentimental value tersebut.

Dalam hal sentimental value ini , kita bisa belajar misalnya dari apa yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dalam membangun fondasi kemerdekaan India dari jajahan Inggris – yang lamanya hampir sama dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Gandhi misalnya mengajak rakyat India untuk mandiri dalam hal apapun.

Bahkan bendera perjuangan pemerintahan sementara mereka – Provisional Government of Free India - sebelum merdeka 1947 bergambar charkha, yaitu alat pemintal benang secara manual yang dikampanyekan negeri itu sebagai alat produksi sekaligus simbul perlawanan terhadap dominasi produk impor India saat itu – yaitu tekstil.

Bendera Perjuangan India
Bendera Perjuangan India

Keberhasilan Gandhi membawa rakyatnya swasembada pakaian inilah yang kemudian ikut andil dalam membawa kemerdekaan negeri itu, sekaligus tekstil juga menjadi produk unggulannya sampai berpuluh tahun kemudian.

Semangat swasembada ala Gandhi inilah barangkali yang sekarang perlu kita bangun, agar negeri ini mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kita bisa mulai dari yang paling basic dahulu, yaitu sandang, pangan dan papan. Untuk pangan dan papan sudah pernah saya tulis dalam tulisan-tulisan sebelumnya, untuk sandang saya beri contoh apa yang bisa kita lakukan sebagai berikut :

Bahan pakaian kita saat ini baik yang sifatnya serat alami kapas maupun serat syntetis mayoritasnya adalah impor. Kalau kita menanam kapas, jelas kita kalah efisien dengan negara lain yang industri perkapasannya sudah maju. Tetapi serat untuk pakaian kan tidak harus kapas ?, bisa serat gedebog pisang misalnya,  yang secara kwalitas tidak kalah ketimbang kapas – bahkan serat gedebog ini lebih mendekati sutera !.

Perhatikan contoh gambar serat gedebog pisang dibawah. Gambar yang diatas adalah yang kita rencanakan menjadi bahan bangunan dan yang dibawah yang menyerupai sutera tersebut adalah untuk bahan pakaian.

Serat Pisang
Serat Pisang

Gedebog pisang ini melimpah di sekitar kita dan dapat tumbuh hampir dimana saja di seluruh nusantara. Untuk mengolah serat pisang sampai kwalitas mendekati sutera tersebut saya yakin juga bukan hal yang sulit , dan insyallah bisa diolah dalam skala rumah tangga.

Lantas setelah menjadi serat, memprosesnya menjadi benang-pun tidak harus skala industri. Alat-alat sederhana dari kayu seperti dibawah inilah yang kita butuhkan untuk memintal benang tersebut.

Alat Pemintal Benang Sederhana
Alat Pemintal Benang Sederhana


Hasilnya adalah benang-benang menarik seperti dalam contoh berikut :
Benang-benang Indah Gedebog Pisang
Benang-benang Indah Gedebog Pisang
Setelah menjadi benang ini, bisa saja dibuat kain untuk berbagai jenis pakaian , atau langsung di rajut menjadi pakaian yang indah seperti yang dilakukan oleh puteri saya dalam blog-nya  Life is a Beautiful Crochet.

Hasil keseluruhan dari proses ini kemungkinan besarnya masih akan kalah efisien dengan industri per tekstil –an China sehingga baju-baju yang kita proses dari gedebog pisang ini masih akan lebih mahal. Namun ini produk kita sendiri, tanaman pisang adalah hasil tanaman sendiri – yang menanamnya akan menjadi pekerjaan bagi jutaan rumah tangga di Indonesia.

Menganyamnya menjadi benang bisa menjadi pekerjaan anak-anak perempuan dan istri kita di rumah; demikian pula merajut nya menjadi baju.

Bahkan karena seluruh proses ini adalah proses industri tekstil yang eco-friendly serta dilakukan secara manual dengan tangan, maka nilai-nya menjadi bernilai tinggi karena hasil olah kerajinan (craft) bukan produk masal industri. Produk semacam ini juga memiliki pasar tersendiri – karena menduduki posisi produk kerajinan yang ramah lingkungan yang sekarang mulai menjadi perhatian serius bagi masyarakat terdidik dunia.

Walhasil kita tidak bersaing dengan harga murah produk industri tekstil China, tetapi kita bersaing dengan sentimental value dari industri kreatif yang bisa jadi disinilah peluang untuk kita. Kalau Gandhi sentimental value-nya untuk melawan penjajahan Inggris , sedangkan kita sentimental value-nya adalah untuk kemerdekaan ekonomi bagi kita semua.  Merdeka dari serbuan produk asing dan dari dominasi ekonomi negeri kuat terhadap negeri yang lemah.

Agar bisa mengimplementasikan perjuangan untuk merdeka secara ekonomi ini, tentu saya dan team tidak bisa bekerja sendirian. Bila Anda tertarik untuk ikut memperjuangkan hal ini, silahkan hubungi kami. Antara lain kita butuh mitra LSM Pemberdayaan Umat, kita butuh mitra ahli mesin dan proses industri khususnya tekstil, kita butuh designer-designer yang creative dan kita butuh masyarakat luas untuk menanam pisang, mengolah gedebog-nya menjadi serat, memintalnya menjadi benang, merajutnya menjadi pakaian bernilai tinggi dan lain sebagainya . Insyallah secara bersama-sama kita bisa meraih kemerdekaan ekonomi yang sesungguhnya. Merdeka !.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar