Hikmah dan Teori Escalator Rusak

Kamis, 16 Juli 2015
Oleh: Muhaimin Iqbal
 
Cucu saya yang berusia dua tahun sedang terobsesi benda-benda yang bergerak secara otomatis seperti lift, palang pintu parkir dan elevator. Benda-benda lain dalam benaknya  adalah juga sama dengan benda-benda yang bergerak otomatis tersebut. Pintu geser di rumah dimainkan seolah lift, penggaris dianggapnya palang pintu, dan bahkan ketika melihat tangga rumah saya – itu dianggapnya adalah elevator yang sedang rusak – karena tidak bisa bergerak sendiri. Pikiran orang dewasa seperti kita, sesungguhnya juga tidak jauh berbeda dengan pikiran anak 2 tahun ini !


Kecerdasan manusia – yaitu kemampuannya untuk belajar, memahami, menganalisa, berpikir dan memperhatikan detil – dibangun melalui proses belajar, mengingat/menghafal dan akumulasi pengalaman hidupnya.

Karena pelajaran yang diterimanya baru sangat terbatas, demikian pula akumulasi pengalamannya – maka anak usia 2 tahun tersebut sudah menunjukkan kemampuannya untuk belajar memahami dan menganalisa – sampai dia berkesimpulan ketika melihat tangga rumah sebagai elevator yang sedang rusak.

Bagi orang dewasa seperti kita tentu ini kesimpulan yang salah dan naïf, mengapa ? Karena orang dewasa sudah memiliki waktu lebih banyak untuk belajar dan memahami hal-hal yang lebih luas. Tetapi seberapa lebih luas sebenarnya pengetahuan kita itu dibandingkan dengan anak yang berusia 2 tahun tersebut ?

Tentu tergantung dari pengalaman kita belajar dan memahami segala sesuatunya selama perjalanan hidup kita. Maka disinilah masalahnya, seberapa banyak-pun ilmu kita pelajari, seberapa panjang-pun usia kita lalui – ilmu dan wawasan kita akan tetap terbatas.

Pembatasnya ya itu tadi proses yang telah kita lalui dalam belajar, menghafal dan membangun akumulasi pengalaman dalam perjalanan hidup kita. Saya tidak bisa dan tidak harus memaksakan cucu saya paham bahwa tangga yang ada di rumah itu memang bukan elevator – proses belajar, memorinya dan pengalamannya belum cukup untuk bisa memahami perbedaannya.

Dengan analogi yang sama, kita tidak bisa dan tidak harus memaksakan orang-orang awam seperti kita bisa memahami ilmu ekonomi yang njlimet, ilmu dan teknologi teknologi yang canggih, pemikiran politik yang ruwet dlsb.dlsb. Sebaliknya para ahli di bidangnya tersebut, juga dengan keterbatasan ilmu dan pengalamannya – tidak bisa diharapkan menyelesaikan berbagai persoalan yang sebenarnya diluar kapabilitas mereka.

Justru dengan menyadari keterbatasan-keterbatasan itulah berbagai persoalan akan lebih mudah teratasi, ini seperti paradox – tetapi seperti itulah yang sebenarnya terjadi.

Ambil contoh kasus kondisi bangsa kita saat ini misalnya, bayangkan kalau para ahli ekonomi berpendapat bahwa masalah bangsa ini semata masalah ekonomi – mereka akan berusaha mencari penyelesaian berdasarkan apa yang mereka tahu dan pengalaman yang mereka miliki – ya hanya dari sudut ekonomi.

Bila para politikus berpendapat bahwa masalah kita adalah politik, maka mereka hanya akan berusaha menyelesaikan masalah dari sudut pandang politik mereka. Demikian pula para ahli ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka hanya akan menawarkan solusi dari penguasaan ilmu dan teknologi mereka.

Bisa jadi semuanya benar, tetapi tentu tidak cukup. Masalah-masalah baru tetap terus bermunculan dengan berbagai multi dimensinya - sedangkan kecerdasan, ilmu dan akumulasi pengalaman manusia selalu terbatas. Lantas bagaimana kita akan menyelesaikan berbagai masalah yang kecerdasan, ilmu dan pengalamannya tidak cukup kita miliki tersebut ?

Disitulah letak dibutuhkannya apa yang disebut hikmah. Hikmah adalah lebih dari sekedar kecerdasan , ilmu dan pengalaman. Hikmah adalah milik prerogratif Sang Penguasa-nya, yaitu Allah sendiri dan hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendakiNya.

Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah (ulul albab)  yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS 2:269)

Hikmah dalam tafsir Ibnu Katsir digambarkan sebagai penguasaan Al-Qur’an yang sangat mendalam. Bahkan hadits/sunnah Nabi juga disebut hikmah karena siapa lagi yang memamahami dan menguasai Al-Qur’an lebih baik dari manusia teladan yang akhlaknya memang adalah Al-Qur’an ini ?

Tetapi seperti yang juga dijanjikan Allah dalam ayat tersebut di atas, hikmah juga diberikan kepada orang lain selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa mereka ini ? Itulah yang juga disebut di ayat yang sama tersebut yaitu kepada para ulul albab – yang juga berarti para pemilik hikmah – atau mereka yang bisa melihat setiap akar persoalan. Albab adalah plural dari lubb – yang artinya adalah inti dari segala sesuatu.

Ulul albab ini disebut setidaknya 10 kali di dalam Al-Qur’an,  yaitu ditempat-tempat yang ‘menantang’ manusia yang berakal untuk berpikir. Misalnya ketika Allah menjelaskan bahwa dalam hukum kisas itu ada kehidupan, siapa yang bisa memahami ? tidak mudah bukan ? itulah para ulul albab yang bisa memahaminya (QS 2:179).

Didalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayatNya. Siapa yang bisa menangkap pesannya ? itu juga para ulul albab. Siapa mereka ini ?, yaitu orang yang terus menerus mengingat Allah ketika sedang berdiri, duduk dan bahkan sedang tiduran sekalipun. (QS 3:190-191).

Yang bisa membedakan yang baik dengan yang buruk meskipun yang buruk itu menyenangkan hati juga para ulul albab ( QS 5:10). Yang bisa memahami bahwa Al-Qur’an itu adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia juga hanyalah para ulul albab (QS 14:52). Perbedaan antara ulul albab  dengan manusia lainnya adalah seperti orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui, yang bisa menerima pelajaran dan yang tidak (QS 39:9).

Maka dengan karakter tersebut, para ulul albab atau para pemilik hikmah adalah orang-orang yang bisa menyelesaikan segala persoalan – tidak terbatas pada kecerdasan yang dimilikinya, ilmu yang pernah dipelajarinya maupun akumulasi pengalaman hidup yang telah dilaluinya.

Di Al-Qur’an ini antara lain dicontohkan dengan kisah Zulkarnain yang harus mengatasi persoalan pelik mengamankan rakyatnya yang lemah dari gangguan Yakzuz dan Makjuz (QS 18:83-97). Apakah Zulkarnain pernah membuat tembok sejenis sebelumnya ? dari mana dia belajar membuat tembok yang begitu perkasa yang akan bertahan inysaAllah sampai menjelang kiamat nanti ? Itulah hikmah yang diberikan Allah kepadanya sehingga dia bisa membuat sesuatu yang belum pernah dipelajari manusia sebelum dan sesudahnya sekalipun.

Lantas bagaimana manusia kebanyakan seperti kita-kita bisa diberi hikmah oleh Allah ? Tiada lain jalannya adalah dengan keimanan dan ketakwaan. Contoh sederhananya begini, seluruh hakim di Indonesia itu  belajar ilmu hukum yang sama – tetapi mengapa ada hakim yang bisa memutuskan perkara dengan adil, tetapi juga tidak sedikit pula yang memperjual belikan keputusannya ? apa yang membedakannya ?

Hakim yang memutusakan perkara dengan adil – itulah yang memiliki hikmah, yang lain meskipun gelar dan pangkatnya bisa jadi lebih tinggi tetapi tidak bisa adil – maka dia tidak memiliki hikmah. Hakim yang memutuskan perkara dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan, maka dia diberi hikmah untuk bisa berbuat  adil.

Konsisten dengan ini, negeri yang penduduknya beriman dan bertakwa dijanjikan oleh Allah dengan keberkahan dari langit dan dari bumi (QS 7:96), orang-orang yang bertakwa akan selalu diberi jalan keluar (QS  65:2), orang-orang yang beriman dan bertakwa – yang menggunakan AlQur’an sebagai huda – maka dia akan menjadi orang-orang yang paling unggul (QS 3:138-139)

Jadi jelaslah sebenarnya yang dibutuhkan umat ini dan negeri ini. Tidak lagi cukup para eksekutif, legislatif dan yudikatif yang bergelar serenceng – bila mereka tidak memiliki hikmah – mereka tidak akan membawa jalan keluar bagi perbagai persoalan yang ada di negeri ini.

Tetapi rakyat juga tidak bisa menyalahkan mereka, karena prasyarat keberkahan negeri justru adanya di rakyat itu sendiri seperti di surat 7:96 tersebut. Kita semua merindukan pemimpin yang memiliki hikmah, agar tidak melihat persoalan seperti cucu saya yang mengira tangga rumah saya adalah elevator yang rusak ! Tetapi pemimpin yang memiliki hikmah hanya lahir dari keimanan dan ketakwaannya, sedangkan pemimpin kita adalah salah satu dari kita – maka lagi-lagi mulainya harus dari kita.

Mudah-mudah-an dengan berakhirnya Ramadhan ini, sasaran dari puasa untuk menjadikan kita orang-orang bertakwa itu bisa bener-bener kita capai. Sehingga dengan tu Allah memberi kita hikmah untuk mampu menyelesaikan perbagai persoalan yang kita hadapi. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar