Jalan Yang Lurus

Oleh: Muhaimin Iqbal
Rabu, 4 April 2012

Dalam 24 jam minimal 17 kali sehari kita minta ditunjuki jalan yang lurus, bahkan bisa lebih dari dua kalinya bila kita juga melanggengkan shalat sunat. Tetapi pernahkan kita berfikir seberapa penting jalan yang lurus ini sehingga begitu banyak perlu kita minta?. Tanpa sadar ternyata begitu banyak jalan bengkok atau jalan melenceng telah kita tempuh sejak kecil, bahkan sampai tua-pun begitu mudah jalan-jalan melenceng membelokkan perjalanan kita.


Kalau pingin tahu dimana jalan melenceng ini mulai membelokkan arah kita, Anda bisa membaca buku-buku pelajaran anak-anak sekolah dasar di tempat Anda. Dengan mudah Anda akan jumpai pelajaran yang menganggap semua agama sama, bagaimana anak kita bisa yakin dengan agamanya bila semua agama dianggap sama? Bagaimana bisa tumbuh iman dengan pelajaran seperti ini?

Di ibukota negeri ini dan dijaman modern ini bahkan di sekolah dasarnya ada pelajaran untuk menghafalkan upacara kembang 7 rupa, dan pelajaran lain yang berbau kurofat. Bagaimana kita bisa selamat dari takhyul, kurofat dan sejenisnya bila justru di usia dini kita belajar yang demikian?

Di tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi penyimpangan itu bentuknya lain lagi. Kita belajar demokrasi dalam segala hal, tidak penting lagi mana yang benar dan mana yang salah karena yang paling banyak pendukung itulah yang dianggap benar. Mungkin karena inipula maka korupsi untuk money politics dan sejenisnya seolah menjadi halal (karena telah menjadi mahar !), ya karena itu tadi kalau mayoritas melakukannya (menyetujuinya) – maka inilah yang benar menurut alam demokrasi.

Di sekolah dan perguruan tinggi, kita belajar ekonomi kapitalisme dan ekonomi ribawi, bahkan nyaris tidak ada pelajaran untuk bagaimana bermuamalah yang syar’i. Saya terkejut bukan kepalang ketika suatu saat diundang untuk bicara di forum dekan dari perguruan-perguruan tinggi yang memiliki fakultas ekonomi dari suatu organisasi masa Islam yang sangat besar. Bayangan saya selama ini ekonomi Islam-lah yang mereka ajarkan kepada para mahasiswanya. Ternyata tidak – sami mawon yang mereka ajarkan, mereka baru berniat untuk mengajarkan ekonomi Islam.

Kemudian keterkejutan saya bertambah-tambah, ketika suatu hari ada kunjungan dosen eknomi dari perguruan tinggi Islam yang dulu tempatnya mengkader para ulama – dengan naïve nya saya membayangkan sedang ketamuan ahli ekonomi Islam. Ternyata tidak juga, sang dosen malah bercerita bahwa ekonomi yang dia ajarkan masih yang konvensional – kapitalisme dan ribawi. Ekonomi Islam baru diajarkan di fakultas lain yang memang dikhususkan untuk itu.

Dengan gambaran itu semua, maka saya tidak heran lagi mengapa di negeri yang mayoritas muslim ini – fatwa ulamanya tentang bunga bank riba nyaris tidak digubris oleh masyarakatnya.

Penyimpangan berikutnya yang sangat dasyat sekarang adalah ketika tokoh-tokoh – yang seharusnya menjadi panutan – negeri ini berpolitik. Saling sikut, saling fitnah, saling sandera kepentingan seolah menjadi panglima di negeri ini. Ongkos politik menjadi sangat mahal, saya bahkan mengenal secara pribadi beberapa teman yang menjadi bangkrut gara-gara tidak terpilih menjadi caleg, menjadi bupati, menjadi gubernur dlsb.

Kenapa mereka bangkrut ketika tidak terpilih ?, mengapa kalau terpilih mereka tidak bangkrut tetapi malah pada kaya raya? Gaji-nya kah yang dipakai untuk membayar ongkos pemilihannya? Oh tidak, gajinya malah nyaris tidak disentuh – tetapi jalan lainlah yang membuatnya mampu me-recover secara berlebih ongkos pemilihannya – ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Jalan lain inilah jalan yang menyimpang, yang seolah-olah menjadi jalan tol untuk peningkatan strata sosial secara cepat bagi para penempuhnya.

Daftar jalan menyimpang ini terus bertambah panjang untuk kita yang menjadi pegawai maupun kita yang menjadi entrepreneur. Setan berdiri di setiap simpang jalan, mengarahkan kita pada jalannya yang seolah menjadi jalan tol untuk sampai ke tujuan kita. Setan-setan ini-pun mem-blokade jalan lurus kita dengan kawat-kawat berduri – sehingga seolah kita tidak akan mampu melaluinya.

Itulah perlunya kita minta ditunjukiNya jalan yang lurus  minimal 17 kali sehari. Agar jalan lurus itu tetap nampak di mata kita, agar tetap bisa kita lalui dengan aman, agar setan tidak memalingkan muka kita ke jalan sesatnya.

Tetapi bagaimana dijaman seperti ini kita bisa ‘mengaman’-kan jalan lurus ini selain melalui do’a-do’a kita yang tidak mengenal lelah ?. Kita harus mulai membentinginya sejak pertama kali setan berdiri di persimpangan jalan kita. Kita harus kawal perjalanan kita dan anak-anak kita dengan upaya nyata.

Untuk anak-anak dan cucu-cucu kita, kita harus mulai bisa membangun pendidikan yang berbasis iman.  Kemudian untuk kita sendiri para orang tua, kita juga harus bisa mulai memberi contoh kearah mana generasi yang akan datang kita bawa, dalam bermasyarakat,  dalam bermuamalah dan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.

Kita tidak boleh lelah dalam menyingkirkan pagar kawat berduri yang ditaruh setan-setan di jalan kita. Kita tidak boleh lelah untuk membangun jama’ah yang saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepanaya; bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat”. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar