Mangan Ora Mangan Yen Ngumpul…

Oleh: Muhaimin Iqbal
Selasa, 10 Juli 2012

Thomas Stamford Raffles yang pernah menjadi Gubernur Jendral Inggris di Jawa selama 5 tahun (1811-1816), menggambarkan kekagumannya tentang Jawa dengan ungkapannya sebagai berikut : “ …tidak ada wilayah lain dengan sumber air sebanyak di Jawa, sungai yang tidak pernah kering, pandangan hijau sepanjang tahun, kehangatan dan kesegaran udara tropis, sebagian besar Jawa subur dan sangat gembur, semua jenis tanaman yang ada di Eropa dapat dibudidayakan dengan sukses, apabila seluruh tanah dimanfaatkan bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kwantitas, kwalitas dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini”.


Mungkin karena kondisi alam yang subhanallah tersebut, orang Jawa pada umumnya enggan bertebaran di muka bumi sehingga terkenal dengan ungkapannya – yang entah sejak kapan dan siapa yang memulainya – Mangan Ora Mangan Yen Ngumpul  – Makan Tidak Makan Yang Penting Berkumpul.

Mungkin karena ‘falsafah’ inipula yang membuat Jawa menjadi suatu pulau yang dihuni paling banyak penduduk di dunia. Sekitar 57% penduduk Indonesia atau sekitar 137 juta orang tinggal di Jawa, sementara luas daratan Jawa hanya sekitar 6.5 % dari luasan Indonesia.

Dengan tanah yang subur ijo royo-royo seperti yang diungkapkan oleh Raffles tersebut, apakah orang-orang yang tinggal di Jawa lebih makmur ?. Ternyata tidak !. Berdasarkan laporan BPS terakhir, memang 57.8 % PDB nasional kita adanya di Jawa. Namun dari angka ini 16.5 % sendiri ada di DKI. Walhasil kalau dirata-rata penduduk di Jawa di luar DKI hanya memiliki PDB per capita sebesar  Rp 23.8 juta atau 23 % lebih rendah dari PDB per capita rata-rata penduduk Indonesia yang berada pada angka Rp 30.8 juta pada tahun 2011.

Mengapa dengan PDB per capita penduduk Jawa diluar Jakarta yang Rp 23.8 juta ini sulit dikatakan makmur ?, berdasarkan harga Dinar hari-hari ini yang berada di kisaran Rp 2,150,000/Dinar , maka nishab zakat 20 Dinar setara dengan  Rp 43 juta. Jadi PDB per capita penduduk Jawa di luar Jakarta hanya 55 % dari nishab zakat, sedangkan PDB per capita nasional kita yang Rp 30.8 juta adalah setara dengan 72 % dari nishab zakat – belum juga makmur tetapi sudah mendingan !.

Lantas pertanyaannya adalah mengapa makhluk cerdas yang hidup berjejalan di bumi yang paling makmur ini belum berhasil untuk minimal memakmurkan dirinya sendiri setelah 66 tahun merdeka ?. Inilah yang harus kita renungkan !. Berkumpul boleh, kerasan di jawa boleh – asal kita semua bekerja keras untuk memakmurkannya – dimanapun kita tinggal.

Lebih dari itu, wilayah Indonesia sangatlah luas . Bila Jawa hanya mewakili 6.5 % luas daratan Indonesia, masih ada 93.5%-nya yang perlu juga diolah untuk menjadi sumber-sumber kemakmuran. Belum lautannya yang juga sangat kaya dengan potensi.

Adalah ironi bila di jaman ini, ketika telekomunikasi bisa menjangkau di hampir seluruh jengkal tanah yang ada di bumi – ketika transportasi darat, laut dan udara bahkan bisa mengantarkan manusia sampai ruang angkasa – kita belum juga mampu mengolah seluruh potensi alam di wilayah yang ada dalam kedaulatan kita – lha wong yang di depan mata , di Jawa saja belum – apalagi yang jauh.

Lantas apa solusinya agar negeri ini makmur ?, Sebenarnya sejak lahirnya undang-undang otonomi daerah di awal era reformasi – ada peluang besar untuk masing-masing daerah berlomba memajukan daerahnya secara maksimal. Para kepala daerah dapat mengidentifikasi peluang daerahnya masing-masing – kemudian kalau tidak punya uang untuk mengolahnya sendiri – dapat menghadirkan investor dari luar daerah atau bahkan dari luar negeri untuk datang mengolahnya.

Bagaimana supaya investor ini mau datang untuk berinvestasi di daerahnya ?, permudah mereka dengan segala perijinan, kurangi beban pajaknya, perbaiki infrastruktur yang ada – maka insyaallah investor akan mau berdatangan. Bila uang beredar di suatu daerah dengan cepat, maka pastilah daerah itu akan makmur – jadi kuncinya ada di bagaimana mengundang uang untuk datang dan berputar – itulah kemakmuran.

Itulah mengapa uang yang beredar di golongan yang kaya saja tidak boleh – apalagi uang yang tidak berputar, …supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu….” (QS 59 :7)

Bila yang terjadi sebaliknya, bahkan pasca otonomi daerah pemda-pemda berlomba membuat perda yang membebani dunia usaha di daerahnya dengan tambahan perijinan, tambahan biaya, tambahan retribusi daerah dlsb.dlsb. – maka itulah yang terjadi seperti statistik yang terungkap di atas – daerah tambah miskin dan konsentrasi pendapatan tetap berada di ibu kota.

Data terakhir PDB per capita 9.7 juta penduduk Jakarta berada pada angka Rp 126 juta atau 4 kali dari PDB per capita nasional. Tetapi apakah bener rata-rata penduduk Jakarta lebih makmur ?, tidak juga demikian karena ada pareto statistic. Mayoritas kemakmuran itu hanya milik segelintir orang saja sedangkan mayoritasnya ya kayak penduduk Indonesia lainnya – hidup dibawah nishab zakat.

Jadi dimanapun kaki kita berpijak, sesubur apapun bumi yang kita injak – bila kita tidak bekerja keras memakmurkannya , maka kita akan gagal menjadi khalifah Allah di muka bumi ini karena tugas khalifah adalah untuk memakmurkannya. Maka bertebaranlah kita di muka bumi (jangan hanya di Jawa apalagi hanya di Jakarta !), dan banyak-banyaklah kita ingat Allah – agar kita beruntung dan mendapatkan rezeki yang terbaik ( QS 62 : 10-11). InyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar