Oleh : Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
“Gunakanlah mata uang emas atau dinar karena Israel dan Amerika akan menggunakan emas sebagai mata uang esok hari,”
Ucapan di atas saya ambil dari ceramah Syekh Imran Hossein di Mesjid
Raya Bogor, 11 Juni 2011. Dengan membawakan tema “The Future of Islam”,
pakar konspirasi dan akhir zaman asal Trinidad dan Tobago itu,
mengingatkan jama’ah atas nasib umat muslim dewasa ini. Ia mengatakan
bahwa umat Islam telah menjadi pecundang yang menyedihkan di negerinya
sendiri. Menurutnya penggunaan uang kertas oleh kita adalah keladi dari
kemiskinan yang merata di seluruh Indonesia.
“Karena uang kertas itu jugalah Singapura menjadi negara yang sangat kaya raya,” ujarnya kesal.
Baginya ini sangat memalukan, sungguh bahkan. Padahal Islam telah
memiliki sistem keuangan yang murni, orisinal, dan menyejahterakan.
Namun sistem Ekonomi Islam yang telah diwarisi oleh Nabi Muhammad SAW
dicampakkan begitu saja.
“Memalukan, sesuatu yang sangat memalukan bagi umat Muhammad saw.,
yang tidak dapat mengenali uang kertas ini sebagai penipuan. Penipuan
adalah sesuatu yang haram dan uang kertas adalah instrumen untuk
melegalisasi pencurian. Kita adalah pecundang yang menyedihkan,” lirih
penulis buku The Gold Dinar and Silver Dirham itu dilumuri kekecewaan.
Muka para jama’ah juga mengamininya.
Namun di balik itu semua, kalimat “Israel dan Amerika akan
menggunakan mata uang emas kedepannya” betul-betul harus kita
garis-bawahi. Invasi Amerika ke Papua untuk mengeruk sumberdaya emas
bangsa ini betul-betul pada titik nadir. Bukan mustahil langkah tersebut
adalah jalan bagi Amerika beserta sekutunya yang telah memprediksi
kejatuhan ekonomi mereka dan beralih dari Dollar (US$) menuju emas
bercahaya.
Menurut Muhaimin Iqbal, praktisi Dinar di Indonesia, perilaku US$
selalu bergerak berlawanan arah dengan harga emas. Kalau US$ yang
diindikasikan dengan US$ Index naik, maka harga emas yang turun.
Sebaliknya jika index US$ turun, maka harga emas yang akan naik. Tentu
banyak faktor yang mempengaruhi naik turunnya US$ ini. Tidak terbatas
pada faktor ekonomi saja, isu-isu politik, keamanan dan lain sebagainya
ikut mempengaruhi fluktuasi US$.
Menurutnya, salah satu isu untuk melihat fluktuasi dapat kita ambil
dari tren ekonomi Amerika Serikat. Untuk memahami akan kemana ekonomi
Amerika, maka kita bisa menggunakan dua buah data, yakni perumahan dan
pengangguran.
Data dari pasar perumahan efeknya riil seperti krisis sub-prime
mortgage yang sudah terjadi selama hampir dua tahun terakhir, awalnya
adalah krisis di kredit perumahan, namun dampaknya kemana-mana. Di
samping data mengenai perumahan, tentu data pengangguran juga bisa kita
gunakan karena melalui data ini kita akan sangat mudah menggambarkan
kondisi ekonomi suatu negara, termasuk Amerika.
Dari sisi perumahan, data kwartalan terakhir House Price Index yang
dikeluarkan Case-Shiller menunjukkan penurunan hingga 14.1%. Ini
merupakan penurunan yang paling tajam sepanjang sejarah, bahkan lebih
tajam dibandingkan dengan penurunan pada masa great depression tahun
1930-an.
Menurunnya data penjualan rumah serta indeks harga rumah AS
mengindikasikan bahwa kontraksi ekonomi global masih terus berlangsung.
Dibutuhkan suatu langkah yang konkret untuk dapat memacu pertumbuhan
ekonomi dan menurunkan tingkat pengangguran.
Pada sisi pengangguran juga begitu. Di tahun 2008 saja pengangguran
di Amerika telah mencapai angka di atas 5%. Angka itu melonjak drastis
pada tiga tahun setelahnya (September 2011) di mana Depnaker AS
mengatakan tingkat pengangguran di 20 negara bagiannya berada di atas
angka nasional 9,1 persen, dengan tingkat tertinggi berada di Nevada
yang mencapai 13,4 persen.
Pada tahun 2012 angkanya pun tidak mengalami perubahan berarti. Di
New York City kini tingkat kemiskinan naik secara signifikan ke rekor
tertinggi dibanding tahun 2010 seperti dirilis oleh City’s Center for
Economic Opportunity. Bahkan menurut laporan The New York Times
menemukan bahwa jumlah warga New York yang tergolong miskin pada tahun
ini meningkat hampir 100.000 orang sejak tahun 2009. Persentase tingkat
kemiskinan pun naik 1,3 % menjadi 2,1%.
Data pemerintah menunjukkan 12,7 juta warga Amerika kini menjadi
pengangguran. Empat dari 10 di antaranya tidak bisa mendapat pekerjaan
selama 27 minggu atau lebih. Menurut ekonom, pertambahan lapangan kerja
dibutuhkan untuk memberi konsumen kepercayaan yang mereka perlukan untuk
melakukan pembelian, dan mendorong perusahaan melakukan investasi yang
mengarah pada perekrutan baru.
Maka itu menarik jika menyimak perkataan Alen Gresspan, mantan
chairman dari Federal Reserve AS (1987-2006), yang mengatakan, “Bila
dibiarkan inflasi terus tumbuh, pertumbuhan akan turun, rakyat akan
menderita dengan penurunan taraf hidup dan Amerika sangat mungkin
menghadapi stagflation.”
Realitas ini akan berpeluang untuk memberi jalan hancurnya dollar AS
yang pada saat bersamaan meruntuhkan hegemoni ekonomi kapitalis
Amerika. Pada titik ini pula maka nilai emas akan semakin melonjak naik.
Data dari Bloomberg.com, misalnya, harga emas di bulan Oktober 2011
telah mengalami peningkatan terpanjang dalam 2 bulan terakhir. Hal ini
disebabkan oleh kejatuhan Dollar yang memicu peningkatan permintaan
logam mulia tersebut sebagai aset alternatif.
Dollar mencetak rekor penurunan terbesar terhadap Yen dan mundur
terhadap Euro, setelah para pemimpin Uni-Eropa setuju untuk memperbesar
dana bantuan menjadi empat atau lima kali lebih besar, menjadi sekitar 1
trilyun euro ($1.4 milyar). Sedangkan Emas telah meningkat sebesar 23%
sepanjang tahun 2011. Sebaliknya dollar malah menurun sebesar 5.7%
terhadap Euro.
Grafiknya tidak jauh beda pada tahun 2012. Harga emas terus naik
sekitar 1,790 dollar AS pada bulan Februari, tingkat tertinggi sejak
tahun 2012, setelah Fed pada waktu itu mengatakan akan terus mengarahkan
suku bunga mendekati nol sampai setidaknya pada akhir 2014. Sedangkan
di Comex, harga emas berjangka untuk penyerahan September 2012 ditutup
pada level harga 1.684,6 dollar AS per troy ons atau menguat sebesar
31,1 dollar AS per troy ons.
Tampaknya AS menyadari gejala ini. Meminjam bahasa Syekh Imran,
mereka akan melakukan segala daya upaya agar keuangan mereka tetap
stabil. Salah satunya beralih ke emas.
Gejala itu memang sudah tampak. Sejumlah kalangan di Negeri Paman
Sam begitu gencar mengusulkan penggunaan koin emas dan perak sebagai
alat transaksi. Negara bagian Utah menjadi pelopornya. Belum lama ini,
sejumlah wakil rakyat di sana menyusun rancangan undang-undang terkait
hal tersebut. RUU itu telah lolos hingga ke tingkat Kongres melalui
pemungutan suara. Jika RUU itu nanti disahkan maka koin emas dan koin
perak akan menjadi alat tukar alternatif bagi rakyat Utah selain uang
kertas dolar.
Ternyata Utah dan Virginia tidak sendiri. Dikabarkan negara bagian
mulai melirik koin emas dan perak untuk alat transaksi. Ide ini
bertumbuh di Idaho, South Carolina, New Hampshire, Tennesse, Indiana,
Iowa, Oklahoma, Vermont, Georgia, Missouri dan Washington.
Maka tidak heran bahwa kunjungan Hilary Clinton baru-baru ini adalah
upaya untuk mengukuhkan tangan AS di Papua sebagai upaya menstabilkan
ekonomi AS melalui tambang emas di Papua. Terlebih di akhir
pemerintahannya Barack Obama jika tidak mampu mendongkrak perekenomian
Amerika dengan mewarisi hutang sebesar US$16 triliun; jumlah yang dua
kali lebih banyak daripada saat Bush masih menjabat. Bahwa kapitalisme
telah gagal.
Jadi mungkin betul perkataan Syekh Imran, kelak Amerika akan
mengganti dollar dengan emas sebagai mata uangnya. Lalu bagaimana dengan
kita? Masihkah kita bergeming untuk beralih ke dinar?
“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam
(dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai ” (Shahih Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar