Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika dalam satu dasawarsa (2001-2011) penduduk China ‘hanya’ tumbuh 5.6 % dari 1.276 Milyar ke 1.347 Milyar, dalam periode yang sama kebutuhan jagung negeri itu mengalami pertumbuhan sebesar 47%. Permintaan jagung yang melonjak secara luar biasa di China ini membuat seluruh produsen jagung dunia kalang kabut untuk menyediakan supply-nya. Akibatnya cadangan jagung dunia anjlog ke titik terendah selama hampir empat dasawarsa terakhir, dan dunia tersentak dengan pertanyaan – apa yang sebenarnya terjadi ?
Kasus supply
jagung dunia yang tersedot oleh China ini sesungguhnya bisa menjadi
pelajaran penting bagi negara-negara di dunia, untuk dapat secara serius
menaruh prioritas dalam penyediaan pangan yang cukup bagi rakyatnya.
Bila
kebutuhan jagung China meningkat proporsional dengan peningkatan jumlah
penduduk, mestinya kebutuhan jagung mereka hanya tumbuh 5 % – 6 % saja.
Kenyataannya kok sampai 47% ? siapa yang ujug-ujug perlu mengkonsumsi jagung yang begitu besar di dasawarsa terakhir ?
Dasawarsa
terakhir adalah tahun di mana ekonomi China tumbuh secara pesat.
Dampaknya ada sejumlah pergeseran di masyarakat dari yang semula miskin
menjadi menengah, yang semula menengah menjadi kaya. Ketika manusia
semakin mampu secara finansial, terjadi pula pergeseran pola makannya.
Yang semula mengandalkan karbohidrat dari biji-bijian berubah menjadi
protein dari hewan.
Dalam
dua dasawarsa terakhir kebutuhan daging hewan besar (berkaki empat)
meningkat dua kalinya di China, dan bersamaan dengan itu kebutuhan
daging unggas meningkat menjadi empat kalinya pada periode yang sama.
Lantas dengan apa ternak-ternak ini hidup dan dibesarkan ?, antara lain
ya dengan jagung tadi. Itulah sebabnya terjadi lonjakan kebutuhan jagung
di China – yang otomatis mengganggu pasar jagung dunia karena jumlah
penduduk China saja mewakili 19 % dari populasi dunia.
Mengapa
pelajaran dari China ini penting untuk kita ?, karena pada tahun yang
sama dengan melonjaknya kebutuhan jagung China tersebut kita
masih impor beras dari sejumlah negara sampai 2,75 juta ton dengan
nilai US$ 1,5 miliar atau 5% dari total kebutuhan dalam negeri. Impor
kedelai tercatat 60% dari total konsumsi dalam negeri sekitar 3,1 juta
ton dengan nilai US$ 2,5 miliar, jagung (11% dari konsumsi 18,8 juta ton, US$ 1,02 miliar), gandum (100%, US$ 1,3 miliar), gula putih (18%, US$ 1,5 miliar), daging sapi (30%, US$ 331 juta), dan susu (70%).
Secara keseluruhan kita defisit pangan sebesar US$ 9.2 Milyar pada tahun tersebut.
Defisit ini relevan karena ketika harga jagung dunia melonjak oleh sebab supply-nya
diborong China, minimal tiga item dari ‘daftar belanja’ impor kita
tersebut di atas pasti ikut terdongkrak naik harganya. Pertama adalah
harga jagung impornya sendiri, kedua dan ketiga adalah produk hewan
pengkonsumsi jagung yaitu harga daging dan susu-nya.
Yang
ingin saya gambarkan adalah di satu sisi ada masalah besar untuk urusan
pangan ini, yaitu selain karena pertumbuhan penduduk di negeri ini
sendiri – juga pertambahan penduduk dan peningkatan kemakmuran di negeri lain-pun ikut membuat bahan pangan semakin mahal.
Di
sisi lain ini mestinya menjadi peluang yang luar biasa besar bagi
negeri ini, bila kita bisa memikirkan secara integrative kebutuhan
pangan dan pakan sekaligus. Tidak bisa dipisahkan karena ternyata bila
dianggap terpisah – akan terjadi kejutan-kejutan seperti yang terjadi di
China di awal tulisan ini. Juga fakta di lapangan yang menunjukkan
bahwa karena kita tidak punya strategi jitu untuk pakan ternak, maka
kita masih harus impor daging sampai 30% dan susu sampai 70 % dari
kebutuhan kita.
Walhasil
di tengah hiruk pikuk pemberitaan tentang impor daging dan juga
kebutuhan pangan lainnya, mestinya ada tugas yang lebih mendasar yang
negeri ini perlu fokuskan – yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan pangan
bagi sekitar 250 juta penduduk ini sekarang dan nanti, dan bagaimana
pula bisa memenuhinya sedapat mungkin dari produk dalam negeri.
Kita
tidak bisa terus menerus mengandalkan produk impor karena produk impor
akan rentan oleh berbagai faktor yang terjadi di negeri lain – seperti
kasus kebutuhan jagung di China tersebut di atas. Kerawanan pangan akan
mudah terjadi bila kita tidak bisa men-supply-nya sendiri secara cukup dari produk dalam negeri.
Dalam
urusan pangan inipun kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pemerintah
untuk memikirkannya. Selain mereka – paling tidak untuk saat ini sampai
tahun depan – akan disibukkan oleh berbagai urusan hukum dan urusan
politik yang campur aduk, nampaknya memang belum ada grand strategy yang integratif untuk urusan ini.
Lantas
dari mana kita sebaiknya mulai ?, agar tidak tersesat kita harus
memulai dari petunjuk yang dijamin kebenarannya. Ketika Allah
memerintahkan kita untuk memperhatikan apa yang kita makan “maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS 80 :24), Allah menutup rangkain ayat makanan ini dengan menyebutkan kebutuhan hewan ternak kita “untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”
(QS 80 : 32). Dalam rangkaian ayat-ayat (QS 80:24 -32) seperti inilah
nampaknya petunjuk itu datang – tinggal kita kerja keras untuk
menggalinya, memahaminya dan melaksanakan petunjukNya.
Maka dari sinilah kita memulai meng-eksplorasi peluang di bidang pangan dan pakan itu…InsyaAllah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar