Makan Apa Kita Nanti…?

Jum'at, 15 Maret 2013
Oleh: Muhaimin Iqbal
Awalnya kita makan nasi dengan tahu dan tempe, ketika harga kedelai melonjak sebagian kita melirik daging. Tetapi yang baru dilirik inipun melonjak hingga tidak terkejar, maka mayoritas kita back to basic – apa saja dengan keahlian orang Nusantara membuat bumbu-bumbuan – makanan tersebut menjadi enak. Sayangnya bahan utama yang membuat enak seluruh masakan ini – yaitu bawang merah dan bawang putih – ikut-ikutan melonjak pula, betapa repot urusan makanan ini.

Kerepotan itu tercermin dari salah satu berita di halaman utama harian Kompas (15/03/13) yang memuat kegusaran Presiden R.I. atas tiga kementerian yang dianggapnya tidak serius mengatasi masalah-masalah pangan ini.  Beliau-pun langsung menurunkan perintahnya, antara lain : “…segera atasi masalah itu, duduk bersama, bicara dengan daerah, gubernur, bupati, walikota, dan …”.

Saya tentu setuju dengan instruksi presiden tersebut bahwa masalah ini harus segera diatasi dengan duduk bareng, bicara dengan para kepala daerah dlsb. Hanya masalahnya menurut saya ini belum cukup, Mengapa ? saya tidak yakin para kepala daerah bisa banyak berbuat untuk mengatasi problem-problem pangan tersebut.

Pertama mereka sudah disibukkan oleh urusan-urusan daerahnya masing-masing, kedua mereka tidak terlibat langsung dalam kendali supply and demand – dua hal utama yang menentukan harga barang beserta ketersediaannya.

Ini seperti ketika Jokowi belum lama ini menyuratai kepala-kepala daerah sentra sapi untuk minta di-supply 1000 ekor sapi ke Jakarta. Kemudian dia mengeluh di media, kok tidak pada menjawab katanya. Yang salah bukan kepala daerah yang tidak menjawab, tetapi nampaknya Jokowi salah alamat – lagi-lagi kepala daerah tidak terlibat dalam kendali supply sapi !

Lantas siapa yang paling tepat untuk diajak bicara dalam berbagai krisis tersebut sebenarnya ? Yang paling tepat diajak bicara ya pasar itu sendiri. Pasarlah yang bisa mempertemukan supply and demand, kemudian dari sini akan terbentuk harga, transaksi riil dst.

Pertanyaannya adalah siapa yang mewakili pasar ini yang layak diajak bicara untuk mengatasi masalah ?, secara harfiah bisa saja dikumpulkan para pemain inti yang mewakili produsen, distributor, pedagang, konsumen dst.

Namun di jaman teknologi informasi ini, ‘bicara’ juga tidak harus secara harfiah melalui tatap muka terus saling omong – karena omongan bisa berbohong, bisa asal membuat bapak senang (ABS) dlsb. Yang lebih akurat itu adalah biarlah fakta dan data yang berbicara ! Itulah sebabnya mengapa di akhirat nanti bukan mulut kita yang bicara tetapi tangan dan kaki kita yang bicara (QS 36 : 65) – karena tangan dan kaki mengungkap fakta dan data, dia tidak bisa berbohong.

Maka menurut saya di setiap krisis seperti ini, presiden tidak cukup hanya mendengarkan laporan para menterinya. Presiden mesti bisa melihat fakta dan datanya secara langsung, bisa men-drill-down data sampai ke sentra-sentra produksi dan sentra-sentra konsumsi.

Bukan hanya itu, bahkan presiden mestinya bisa mengecek langsung misalnya berapa bawang putih-bawang merah tersedia di gudang-gudang, yang akan dipanen, yang sedang dalam perjalanan di laut dst.

Dengan teknologi informasi yang ada kini, hal-hal tersebut menjadi mudah – semudah kita follow twitter teman-teman atau seleberitis yang kita ingin terus ikuti pergerakannya. Dengan kreatifitas anak-anak muda kita, teknologi semacam twitter, wikipedia, facebook dan sejenisnya bisa dengan mudah didaya gunakan untuk men-generate real time data up-date untuk para pengambil keputusan di segala bidang.

Kalau pemerintah belum punya dan belum merencanakan untuk punya reporting system berbasis social media dan sejenisnya tersebut, maka project wikitani yang saya kompetisikan kemarin insyaallah dapat pula membantu.

Bukankah presiden punya tugas lain yang lebih strategis sehingga yang seperti ini harusnya selesai di tingkat para pembantunya ?, itu betul. Tetapi bila para pembantu beliau tahu, bahwa presidennya bisa meng- counter check sampai detil semua laporan mereka – maka para pembantu presiden ini insyaAllah tidak akan membuat laporan yang ABS, semuanya indah di kertas tetapi krisis demi krisis terus berulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar