Oleh: Muhaimin Iqbal
Entrepreneur itu bisa belajar dari siapa saja, bahkan bisa belajar dari seorang petinju seperti Mike Tyson sekalipun. Melalui ucapannya yang terkenal “semua orang bisa ber-strategi, tetapi ketika pukulan lawan mengenai muka Anda – baru Anda tahu apakah strategi Anda bekerja atau tidak” – dia memberi pelajaran bagi para (calon) entrepreneur bahwa strategi saja tidak cukup. Karena realita ini pulalah kini mulai terjadi perubahan pendekatan dalam memulai usaha, dari yang beresiko tinggi ke arah yang beresiko relatif lebih rendah.
Ironinya resiko tinggi itu bisa jadi ketika usaha dimulai dengan menyiapkan business plan
yang sangat detil, dikumpulkan modalnya yang besar untuk memulainya -
kemudian baru diimplementasikan. Contoh kasus kegagalan fenomenal yang
sering dijadikan case study di sekolah-sekolah bisnis adalah kegagalan proyek telephone satelit Iridium – yang sebelum mengajukan proses kebangkrutannya tahun 1999 – telah menghabiskan dana US$ 5 Milyar.
Lantas
bagaimana usaha bisa bermula bila tanpa perencanaan yang detil ?
jawabannya adalah memulai dengan ber-hipotesa, kemudian bergerak
membuktikan hipotesa tersebut. Secara teknis kurang lebih dapat dilihat
pada ilustrasi di bawah :
Pendekatan yang kemudian disebut Lean Startup ini menggunakan folosofi yang sama dengan Lean Manufacturing yang mulai berkembang di Jepang tahun 1980-an yang disebut Kanban. Intinya adalah mulai dari yang benar-benar dibutuhkan.
Aplikasinya
di industri manufacturing adalah dengan antara lain bahan baku yang pas
cukup untuk produksi pada waktunya, mendeteksi kesalahan/cacat produksi
sedini mungkin – dan ketika menjadi produk juga langsung
didistribusikan ke pasar.
Aplikasinya
di usaha baru adalah mulai dengan hipotesa siapa (calon) customer Anda,
apa kebutuhannya, berapa banyak dlsb. Kemudian hipotesa ini divalidasi
dengan produk yang Anda duga dibutuhkan oleh (calon) customer tersebut.
Belum tentu dugaan Anda betul, dan ini hanya akan diketahui setelah
produk-produk awal tersebut Anda coba jual ke para (calon) customer
tersebut.
Sangat
bisa jadi produk-produk tersebut akan mengalami penajaman berulang kali
sampai ketemu produk yang benar-benar dibutuhkan dan diinginkan oleh
customer Anda.
Hanya
setelah produk final ini bisa bener-bener diterima pasar Anda, Anda
bisa mulai memproduksinya secara massal, membangun portfolio customer
dan membangun usaha Anda dalam skala penuh lengkap dengan berbagai
divisi penunjangnya.
Mengapa
cara ini beresiko lebih rendah ?, karena kegagalan-kegagalan produk
akan terdeteksi di awal sebelum Anda terlanjur keluar banyak dana modal.
Ketika Anda putuskan membangun usaha-pun, produk-produk Anda (bisa
barang maupun jasa) telah melalui serangkaian penajaman-penajaman.
Bagaimana
bila untuk membuat produk awal-pun dibutuhkan modal yang besar seperti
pabrik untuk memproduksinya, atau team IT untuk mengembangkan software
aplikasi dlsb ?.
Produk-produk awal untuk proses pencarian customer dan penajamannya ini tidak harus produk dalam bentuk full scale-nya.
Cukup bagian utama yang mewakili produk itu, yang mencerminkan
kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh produk yang bersangkutan. Produk awal
ini disebut Minimum Viable Product (MVP) yaitu versi awal dari suatu produk yang cukup untuk memvalidasi hipotesa Anda tentang adanya suatu kebutuhan.
Lantas
apakah aman membuat usaha tanpa perencanaan detil ?, tanpa perencanaan
detil bukan berarti tanpa perencanaan sama sekali. Ada yang minimum
perlu Anda lakukan atau persiapkan sebelum memulai, yaitu membuat apa
yang disebut Business Model Canvas – yaitu untuk menjawab 9 pertanyaan dasar seperti yang pernah saya tulis dua tahun lalu dengan judul ‘Business Model Building Block’. Bentuknya kurang lebih seperti ilustrasi di bawah.
Jadi
seperti yang dikatakan Mike Tyson tersebut di atas, intinya jangan
terlalu sibuk dengan membuat strategi di atas kertas, tetapi sibuklah
dengan melatih ketrampilan di lapangan – merespon dan memenuhi kebutuhan
customer Anda !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar