Oleh: Muhaimin Iqbal
Selama empat tahun perusahaan keuangan global Credit Suisse secara berturut-turut mengadakan survey terhadap generasi muda dunia di rentang usia 16-25 tahun. Sample-nya diambilkan dari empat negara yaitu Swiss, Amerika Serikat, Brasil dan Singapura. Laporan mereka dituangkan dalam apa yang mereka sebut Youth Barometer, yang secara umum menyimpulkan generasi muda dunia ini semakin galau dengan masa depan dan hari tuanya.
Di
Singapore yang pengangguran pemudanya hanya 12.9 %, hanya 45 %
pemudanya yang optimis dengan masa depannya. Di Amerika Serikat
pengangguran pemudanya 16.4 %, tetapi 50 % dari pemuda tersebut tidak
optimis tentang masa depannya. Bahkan di negara dengan tingkat
pengangguran pemuda yang hanya 6.1 %, hanya 65 % pemudanya optimis
dengan masa depan mereka.
Anomali
terjadi di Brazil, meskipun pengangguran pemudanya mencapai 17.8 %
tetapi pemuda yang optimis dengan masa depannya mencapai 68 %.
Datanya Bank Dunia untuk pengangguran pemuda di Indonesia lebih tinggi dari keempat negara tersebut, yaitu 19.3 % untuk
laki-laki dan 21 % untuk perempuan. Maka meskipun tidak termasuk negara
yang disurvey oleh Credit Suisse dalam Youth Barometer-nya tersebut,
kemungkinan besar pemudanya tidak jauh beda galaunya dengan
negara-negara yang dijadikan sample-tersebut.
Pertanyaannya
adalah lantas bagaimana kita bisa mengindarkan generasi muda dari
kegalauan-kegalauan tersebut ? Yang utama tentu adalah agama. Anomali di
negeri Brasil tersebut di atas antara lain karena pemuda-pemuda di
Brasil lebih religious – terlepas dari kekeliruan agamanya – di bandingkan dengan pemuda-pemuda di Amerika Serikat, Singapore maupun Swiss.
Negeri
ini yang mayoritas penduduknya Muslim, mestinya bisa memacu optimisme
pemudanya dengan lebih baik. Banyak sekali ajaran agama ini yang
mengajak kita untuk terus optimis sampai akhir hayat kita. Bahkan ketika
rangkaian peristiwa hari akhir (kiamat) – pun sudah mulai, kita tetap
dianjurkan menanam bibit pohon yang ada di tangan kita – sebagai salah
satu bentuk optimisme itu.
Tentu
dalam mebangun optimisme generasi muda kita tidak bisa hanya sekedar
memberi semangat yang jauh dari realita. Realita yang terlalu jauh dari
ekspektasi malah akan membuat generasi muda frustasi.
Oleh
sebab itu seiring dengan dibangunnya sikap optimism melalui pengajaran
Agama Tauhid yang benar, rangkaian bekal amal nyata harus pula
disiapkan. Misalnya pemuda harus sedini mungkin dibekali dengan life skills agar secepat mungkin terbangun kemandirian pada jiwa mereka.
System
pendidikan sekarang yang mengejar gelar semata, sampai-sampai para
sarjana-pun banyak yang tidak tahu apa yang mereka bisa buat dengan
kesarjanaannya – hal ini harus segera di review atau dicarikan pengganti
system pendidikan dan pelatihannya.
Bahkan
sering saya jumpai di banyak pelamar kerja, mereka menempuh pendidikan
S-2 yang tidak relevan dengan S-1-nya. Sebagian ini terjadi karena
mereka tidak memperoleh pekerjaan dengan S-1-nya kemudian daripada
menganggur mereka menempuh S-2, dengan harapan berbekal S -2 peluang
mereka akan lebih baik.
Padahal
belum tentu, di dunia kerja lebih diutamakan (calon) pekerja yang
trampil dan fit dengan tugas-tugas yang akan diberikan kepadanya – dan
bukan semata melihat gelar-gelar yang dibawanya.
Jadi
seperti apa program pendidikan yang seharusnya bisa melahirkan
generasi-generasi yang optimis itu ? Pertama dalah yang menguatkan iman
dan yang kedua adalah yang mengasah ketrampilan. Dua hal inilah yang
kita ikuti dari pendidikan-pendidikan Islam sebelumnya, yaitu dengan Kuttab dan Madrasah-nya.
Madrasah
disini bukan seperti madrasah yang kita kenal saat ini, tetapi gabungan
dari sekolah menengah dan tinggi yang menyiapkan anak didik sampai
bener-bener matang di bidang yang dipilihnya.
Dengan
konsep yang terbukti efektif menghasilkan generasi muda gemilang di
masa lampu tersebut, mestinya kita harus bisa mengungguli negara-negara
lain dalam optimism para pemuda-nya. Bukan optimism yang hanya pepesan
kosong, tetapi optimism yang didasari oleh keimanan yang sangat kuat dan
kemandirian yang sangat nyata. Tetapi untuk ini memang diperlukan
keputusan yang berani oleh para orang tua.
Para
orang tua harus berani mengubah sasaran pendidikan anak-anaknya dari
mengejar gelar, menjadi dokter, insinyur, ekonom dlsb. berubah menjadi
anak-anak yang beriman kuat dan mandiri di usia belia. Bahwasanya mereka
akan menjadi dokter, insinyur, ekonom dlsb. sesudah itu – maka itu akan
menjadi sangat baik. Tetapi bukan sebaliknya, yaitu mereka memperoleh gelar yang dikejarnya tetapi imannya kosong dan tidak mandiri pula.
Survey
oleh Credit Suisse tersebut di atas sebenarnya mensiratkan hal ini.
Negara-negara yang katanya sangat maju dengan pendidikannya yang bahkan
menjadi standar dunia – sekalipun, ternyata hanya melahirkan generasi
yang sebagian besarnya galau ! Bukankah ini sinyal agar kita tidak
mengikuti mereka ? Agar kita memiliki konsep sendiri yang insyaAllah
jauh lebih unggul ? InsyaAllah !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar