Generasi (Tidak) Galau…

Rabu, 15 Januari 2014
Oleh: Muhaimin Iqbal
Selama empat tahun perusahaan keuangan global Credit Suisse secara berturut-turut mengadakan survey terhadap generasi muda dunia di rentang usia 16-25 tahun. Sample-nya diambilkan dari empat negara yaitu Swiss, Amerika Serikat, Brasil dan Singapura. Laporan mereka dituangkan dalam apa yang mereka sebut Youth Barometer, yang secara umum menyimpulkan generasi muda dunia ini semakin galau dengan masa depan dan hari tuanya.


Di Singapore yang pengangguran pemudanya hanya 12.9 %, hanya 45 % pemudanya yang optimis dengan masa depannya. Di Amerika Serikat pengangguran pemudanya 16.4 %, tetapi 50 % dari pemuda tersebut tidak optimis tentang masa depannya. Bahkan di negara dengan tingkat pengangguran pemuda yang hanya 6.1 %, hanya 65 % pemudanya optimis dengan masa depan mereka.

Anomali terjadi di Brazil, meskipun pengangguran pemudanya mencapai 17.8 % tetapi pemuda yang optimis dengan masa depannya mencapai 68 %.

Datanya Bank Dunia untuk pengangguran pemuda di Indonesia lebih tinggi dari keempat negara tersebut, yaitu 19.3 %  untuk laki-laki dan 21 % untuk perempuan. Maka meskipun tidak termasuk negara yang disurvey oleh Credit Suisse dalam Youth Barometer-nya tersebut, kemungkinan besar pemudanya tidak jauh beda galaunya dengan negara-negara yang dijadikan sample-tersebut.

Pertanyaannya adalah lantas bagaimana kita bisa mengindarkan generasi muda dari kegalauan-kegalauan tersebut ? Yang utama tentu adalah agama. Anomali di negeri Brasil tersebut di atas antara lain karena pemuda-pemuda di Brasil lebih religious – terlepas dari kekeliruan agamanya – di bandingkan dengan pemuda-pemuda di Amerika Serikat, Singapore maupun Swiss.

Negeri ini yang mayoritas penduduknya Muslim, mestinya bisa memacu optimisme pemudanya dengan lebih baik. Banyak sekali ajaran agama ini yang mengajak kita untuk terus optimis sampai akhir hayat kita. Bahkan ketika rangkaian peristiwa hari akhir (kiamat) – pun sudah mulai, kita tetap dianjurkan menanam bibit pohon yang ada di tangan kita – sebagai salah satu bentuk optimisme itu.

Tentu dalam mebangun optimisme generasi muda kita tidak bisa hanya sekedar memberi semangat yang jauh dari realita. Realita yang terlalu jauh dari ekspektasi malah akan membuat generasi muda frustasi.

Oleh sebab itu seiring dengan dibangunnya sikap optimism melalui pengajaran Agama Tauhid yang benar, rangkaian bekal amal nyata harus pula disiapkan. Misalnya pemuda harus sedini mungkin dibekali dengan life skills agar secepat mungkin terbangun kemandirian pada jiwa mereka.

System pendidikan sekarang yang mengejar gelar semata, sampai-sampai para sarjana-pun banyak yang tidak tahu apa yang mereka bisa buat dengan kesarjanaannya – hal ini harus segera di review atau dicarikan pengganti system pendidikan dan pelatihannya.

Bahkan sering saya jumpai di banyak pelamar kerja, mereka menempuh pendidikan S-2 yang tidak relevan dengan S-1-nya. Sebagian ini terjadi karena mereka tidak memperoleh pekerjaan dengan S-1-nya kemudian daripada menganggur mereka menempuh S-2, dengan harapan berbekal S -2 peluang mereka akan lebih baik.

Padahal belum tentu, di dunia kerja lebih diutamakan (calon) pekerja yang trampil dan fit dengan tugas-tugas yang akan diberikan kepadanya – dan bukan semata melihat gelar-gelar yang dibawanya.

Jadi seperti apa program pendidikan yang seharusnya bisa melahirkan generasi-generasi yang optimis itu ? Pertama dalah yang menguatkan iman dan yang kedua adalah yang mengasah ketrampilan. Dua hal inilah yang kita ikuti dari pendidikan-pendidikan Islam sebelumnya, yaitu dengan Kuttab dan Madrasah-nya.

Madrasah disini bukan seperti madrasah yang kita kenal saat ini, tetapi gabungan dari sekolah menengah dan tinggi yang menyiapkan anak didik sampai bener-bener matang di bidang yang dipilihnya.

Dengan konsep yang terbukti efektif menghasilkan generasi muda gemilang di masa lampu tersebut, mestinya kita harus bisa mengungguli negara-negara lain dalam optimism para pemuda-nya. Bukan optimism yang hanya pepesan kosong, tetapi optimism yang didasari oleh keimanan yang sangat kuat dan kemandirian yang sangat nyata. Tetapi untuk ini memang diperlukan keputusan yang berani oleh para orang tua.

Para orang tua harus berani mengubah sasaran pendidikan anak-anaknya dari mengejar gelar, menjadi dokter, insinyur, ekonom dlsb. berubah menjadi anak-anak yang beriman kuat dan mandiri di usia belia. Bahwasanya mereka akan menjadi dokter, insinyur, ekonom dlsb. sesudah itu – maka itu akan menjadi sangat baik.  Tetapi bukan sebaliknya, yaitu mereka memperoleh gelar yang dikejarnya tetapi imannya kosong dan tidak mandiri pula.

Survey oleh Credit Suisse tersebut di atas sebenarnya mensiratkan hal ini. Negara-negara yang katanya sangat maju dengan pendidikannya yang bahkan menjadi standar dunia – sekalipun, ternyata hanya melahirkan generasi yang sebagian besarnya galau ! Bukankah ini sinyal agar kita tidak mengikuti mereka ? Agar kita memiliki konsep sendiri yang insyaAllah jauh lebih unggul ? InsyaAllah !.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar