Oleh: Muhaimin Iqbal
Sampai dua bulan mendatang penduduk negeri ini masih akan galau dengan siapa calon pemimpinnya untuk lima tahun mendatang. Kegalauan ini wajar mengingat belum nampak satupun calon pemimpin yang bisa meyakinkan rakyat bahwa programnya akan bisa membawa pada kemakmuran. Seandainya mereka para calon pemimpin atau team suksesnya mendengar pesan ini, saya akan menyarankan mereka belajar dari Twitter , Facebook dan Domba. Lho kok…?
Bahwa
belajar dari meng-ekstrak data dari Twitter dan Facebook untuk
mengetahui tingkat popularitas masing-masing kandidat, itu saya tahu
mereka sudah melakukannya. Yang belum di-ambil pelajarannya dari Twitter
dan Facebook atau produk-produk industri kreatif lainnya adalah bagaimana menggalang modal dengan kreatifitasnya itu.
Belanja
negara kita tahun ini akan berkisar 1,840 trilyun, jumlah uang yang
seolah tidak terbayangkan banyaknya ini ( berapa angka nol-nya ?) sudah
habis teralokasikan untuk hal-hal yang nyaris rutin. Bahkan untuk
membiayai belanja negara tersebut, kita masih harus hutang sekitar 175 trilyun.
Dengan pendapatan dan belanja negara yang nyaris tanpa terobosan selama beberapa decade tersebut, maka
yang terjadi adalah juga tidak ada terobosan dalam pengentasan
kemiskinan. Data Bank Dunia terakhir masih menunjukkan di negeri ini ada
43.3 juta orang yang daya belinya kurang dari US$ 2/ hari, padahal
inipun masih 1/5 dari tingkat kemiskinan standar Islam yang 20 Dinar.
Dengan
APBN yang rutin dan cenderung monoton, nyaris tidak terbayangkan
misalnya negeri ini akan mampu mengalokasikan 1/3 dari belanja negara
untuk mengentaskan kemiskinan misalnya. Padahal kira-kira sejumlah
inilah yang kita butuhkan untuk bisa mengentaskan kemiskinan secara
drastis.
Jumlah
tersebut, yang saya perkirakan nilainya sekitar US$ 61 milyar – tidak
mungkin juga kita peroleh dengan berhutang, membabat hutan, menguras
tambang dlsb. yang memang sudah selama ini kita eksploitasi
habis-habisan. Jadi apa alternatifnya untuk memperoleh modal pengentasan
kemiskinan yang significant tersebut ?
Yang
paling memungkinkan adalah mengeksplorasi habis-habisan sumber daya
paling berharga dari bangsa ini, yaitu sumber daya manusianya. Sangat
banyak otak-otak cerdas negeri ini yang bisa dieksplorasi dan
diintegrasikan menjadi apa yang disebut industri kreatif yang ‘killing’
istilah anak mudanya.
Kalau
saja kita bisa menghasilkan kreatifitas layaknya kreatifitas empat
sekawan pendiri Twitter (Evan Williams, Noah Glass, Jack Dorsey dan Biz
Stone), maka mereka bisa mengeruk modal sampai sekitar US$ 27 milyar di
pasar global.
Kalau
saja dari 250 juta orang di negeri ini kita bisa menemukan satu orang
sekelas Mark Zuckerberg – pendiri Facebook, maka dia bisa meraup modal
US$ 156 milyar di pasar global.
Jadi
kebutuhan modal kita yang sekitar US$ 61 milyar, sebenarnya hanya
senilai kapitalisasi pasar antara Twitter dan Facebook. Ini bisa kita
lakukan bila kita bukan hanya belajar dari social media dan data yang
selama ini sudah kita gunakan, tetapi belajar dari kreatifitasnya dalam
menarik modal dari pasar global.
Saya
yakin seyakin-yakinnya bahwa sumber daya manusia kita tidak kalah
dengan mereka, pasti ada orang-orang Indonesia yang mampu menyaingi
kecerdasan dan kreatifitas mereka ini. Yang diperlukan adalah bagaimana
pemerintahan yang baru nanti bisa membangun environment yang kondusif,
sehingga kreatifitas-kreatifitas anak negeri ini mendapatkan jalannya
untuk berkembang secara maksimal. Bila perlu beri insentif perijinan,
modal awal, pembinaan dlsb-dlsb agar bener-bener terlahir industri
kreatif yang ‘killing’ dalam skala global.
Lantas
untuk apa seandainya dana modal yang US$ 61 milyar atau setara dengan
1/3 APBN kita tahun ini tersebut bener-bener bisa terkumpul ? Saya
tertarik untuk membagikannya ke 43.3 juta orang yang tergolong miskin di
negeri ini sesuai data Bank Dunia tersebut di atas.
Tetapi
tidak diberikan dalam bentuk uang tunai, diberikan dalam bentuk domba
yang kemudian dikelola bersama-sama secara syirkah dengan para
professional dibidangnya. Maka masing-masing orang akan mendapatkan 8
ekor domba sebagai modal awal.
Inilah
standar kemakmuran minimal umat ini , yaitu 40 ekor domba dimana dia
sudah mulai terkena wajib zakat. Standar ini sekitar 5 kali lebih tinggi
dibandingkan standar tingginya Bank Dunia yang US$ 2/hari.
Jadi
dengan dua langkah kombinasi antara industri kreatif untuk menarik
modal global, dan solusi domba – kita akan mampu mengatasi dua masalah
sekaligus. Pertama mengentaskan kemiskinan, kedua meningkatkan konsumsi
daging nasional kita untuk mencapai rata-rata yang dikonsumsi masyarakat
dunia di angka 41 kg/kapita/tahun dari kondisinya sekarang yang hanya
10 kg/kapita/tahun.
Karena
tulisan ini juga menyebar melalui Twitter dan Facebook, saya berharap
Anda para calon presiden atau team sukses Anda juga membaca tulisan ini.
Siapa tahu Anda bener-bener terpilih dan kemudian amanah untuk
memakmurkan rakyat ini jatuh ke pundak Anda – Anda sudah punya salah
satu solusinya ini. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar