From Common Failure To No Single Point of Failure

Sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta, kemarin kota ini menjadi berita nasional di Republika (13/3/2018). Bukan karena keberhasilannya, tetapi karena kegagalannya dalam mengelola sampah. Di area pembuangan sampah kota itu yang seluas 10.8 ha, sampah sampai menggunung setinggi 30 meter – yang bila longsor bisa mengubur siapa saja yang beraktivitas di area tersebut. Tetapi kegagalan semacam ini bukan particular kota ini, bahkan saya belum melihat ada satu kota-pun di negeri ini yang berhasil menangani sampah dengan baik.

Maka saya sebut seluruh kota-kota di negeri ini memiliki Common Failure (CF) yang sama, yaitu seluruhnya gagal mengelola sampah. Mengapa demikian ?, karena cara penanganannya yang kurang lebih sama – di seluruh kota sama . Sampah di pool di suatu tempat, kemudian di pool di tempat lain yang lebih besar dan akhirnya di pool yang paling besar yang disebut Tempat Pembuangan Akhir atau TPA.

Dalam perjalanannya sampah semakin membusuk dan semakin berat untuk dihandle. Sampah yang ditangani secara tersentralisir atau paling banter terdesentralisir – tetap mengumpul di suatu tempat – inilah yang menjadi penyebab kegagalan penanganan sampah.

Lantas bagaimana seharusnya sampah dihandle ?, sampah harus dihandle secara terdistribusi in situ, sampah dihandle secepat dia muncul sedekat mungkin dengan tempat kemunculannya. Kalau tidak bisa per rumah tangga, paling banter satu komplek atau satu blok perumahan/perkantoran harus bisa handle sampahnya sendiri.

Tidak ada sampah yang boleh keluar komplek atau blok perkantoran. Kalau toh harus kebauan sampah – maka yang paling berhak adalah warga dari komplek atau blok perkantoran it sendiri. Ini hukuman bagi warga setempat yang tidak berhasil menghadle sampahnya masing-masing. Kalau sampah dipindahkan ke tempat lain, tidak adil bagi orang lain yang daerahnya menjadi TPA tersebut.

Masyarakat kita bisa menjadi masyarakt lebah bila mau, yaitu tidak ada ang keluar dari diri atau saranng/komplek perumahan/perkantorannya kecuali kebaikan - sesuatu yang berguna bagi orang lain, bukan musibah bagi orang lain. Ini yang juga dalam ilmu fiqih disebut prinsip La Darar Wa La Dirar, tidak boleh menimbulkan bahaya atau membahayakan orang lain.

Lantas apa yang akan mendorong warga mau handle sampahnya sendiri ? Natural reward and punishment adalah yang paling baik, agar pemerintah daerah juga tidak usah repot-repot membuat peraturan dan mengeluarkan dana sekian banyak untuk ngurusi sampah saja.

Rewardnya adalah masyarakat komplek yang bisa menghadle sampahnya sendiri dengan baik, mereka bukan hanya bisa menghilangkan bau di kompleknya. Tetapi kompleknya bisa menghasilkan energy baru terbarukan (EBT) dari sampah itu sendiri. EBT ini bisa berupa arang, bio-oil maupun syngas – yang secara keseluruhan prosesnya disebut Pyrolysis, insyaAllah mesin-mesinnya bisa kita buat sendiri.

Punishment-nya ya itu tadi, komplek yang tidak bisa menghadle sampahnya sendiri – biarlah warga komplek itu sendiri yang merasakan akibatnya, yaitu mencium bau sampahnya sendiri – sampai mereka bisa mengatasinya. Dengan hukuman semacam ini, mau-tidak mau warga komplek akan berusaha mengatasinya bersama.

Ini akan melahirkan sikap masyarakat yang bertanggung jawab, bahwa it is our problem – not PEMDA problem ! Kita yang harus mengatasi masalah kita, bukan dinas kebersihan kota yang makin hari makin banyak tetapi tidak cukup juga menangani sampah warga kotanya.

Distributed Waste Handling
Lantas dimana No Single Point of Failure (NSPoF) nya ? Bayangkan setelah masyarakat suatu komplek bisa mengatasi problem sampahnya, dan mereka mendapatkan surplus energy yang bisa dijual untuk membiayai perbagai kegiatan komplek – bukankah ini akan menjadi peluang bila ada tetangga komplek yang gagal mengatasi sampahnya ? Inilah system terdistribusi yang bisa diterapkan pada pengelolaan sampah-sampah kita.


Komplek-komplek yang gagal akan menjadi pasar menarik bagi komplek-komplek yang berhasil, bisa menjadi outsource untuk penanganannya. Ketika menjadi liability, semua orang tidak mau menerimanya. Tetapi ketika dia menjadi bahan baku yang dengan mudah diubah menjadi asset yang bernilai tinggi – energy masa depan yang renewable  ketika energy fossil semakin menipis, pasti orang akan berebut untuk mengolah potensial asset ini.

Tertarik untuk mengeksplorasi peluangnya  ? silahkan kontak ceo@iou.id .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar