Etos Kerja : Antara Telur Bebek Dan Daging Kambing…


Oleh: Muhaimin Iqbal
Kamis, 14 Juni 2012
Suatu pagi seekor bebek berjalan berdampingan dengan seekor kambing di pasar desa. Melihat ada tumpukan telur bebek yang dijual oleh seorang pedagang, sang bebek berkata ringan wek wek wek, wek wek wek… yang artinya kurang lebih itulah karyaku, itulah karyaku…. Sambil terus berjalan keduanya kemudian melihat ada pedagang lain yang sedang menggantung karkas kambing yang baru dipotongnya. Dengan suaranya yang berat dan bergetar, sang kambing berkata mbek, mbeek, mbeeek…, yang artinya kurang lebih itulah pengorbananku, pengorbanan keluargaku, pengorbanan bangsaku…’.


Bagi seekor bebek menghasilkan telur adalah pekerjaannya sehari-hari, dia melakukan rutinitas bertelur ini dengan ringan – tanpa beban dan tanpa perlu komitmen yang besar. Situasinya sangat berbeda bagi kambing, menghasilkan daging adalah suatu perwujudan pengorbanan dan  komitmen yang luar biasa. Kambing hanya bisa menghasilkan daging dengan mengorbankan dirinya !.

Dalam bekerja ataupun berusaha, kita juga mengalami suatu kondisi yang seperti telur bebek dan daging kambing tersebut. Ada yang melaksanakan pekerjaannya hanya sekedar rutinitas harian, pagi pergi ke kantor melaksanakan apa yang harus dilaksanakannya sesuai job description yang dia miliki – kemudian sore hari pulang. Begitu seterusnya hari demi hari dilalui sebagai rutinitas, ringan, tanpa beban dan tanpa komitmen pengorbanan yang besar.

Tetapi ada pula orang-orang yang bekerja atau berusaha di segala bidang dengan total commitment, dia memperjuangkan nilai atau sesuatu yang lebih dari sekedar bekerja untuk mendapatkan penghasilan, bahkan dia rela untuk mengorbankan dirinya untuk ini.

Di segala bidang pekerjaan, selalu ada orang yang masuk kategori pertama maupun kategori kedua. Bahkan di kelompok pengusaha atau yang ingin disebut dirinya pengusaha-pun ada yang seperti bebek tersebut, sekedar melaksanakan rutinitas – tanpa komitmen apalagi pengorbanan.

Saya mengenal ada seorang dokter kandungan yang luar biasa, dia bekerja siang malam tidak mengenal lelah. Dia selalu siap dipanggil jam berapapun – bila pasiennya membutuhkannya, dan bahkan rela meninggalkan liburan bersama keluarganya untuk menolong pasiennya yang akan melahirkan. Baginya bekerja lebih dari sekedar mencari nafkah, dia tidak mengenal lelah untuk bekerja karena setiap saat berangkat menolong kelahiran jam berapapun (24/7/365) – dia niatkan saat itu dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk bisa membantu menyelamatkan dua nyawa sekaligus, nyawa si bayi dan nyawa si ibunya sendiri.

Kita juga mengenal sangat banyak melalui media, bahwa di tengah tanggung jawab besar untuk menyelamatkan rakyat dari kemiskinan dan keterpurukan, wakil-wakil terhormat kita malah malas bersidang. Kalau toh mereka hadir sidang, mereka asyik bercengkerama satu sama lain, browsing internet, chatting, baca koran, tidur dan bahkan ada yang tertangkap basah sedang nonton video porno. Mereka punya tanggung jawab besar, tetapi disikapinya tanpa komitmen apalagi pengorbanan – bagi mereka pekerjaan itu adalah rutinitas semata, berangkat kantor, menunggu (membuang ) waktu, menikmati fasilitas dan tanpa beban. Tentu tidak semuanya demikian, tetapi citra demikian mudah kita peroleh dari berbagai media dan berita.

Yang bisa kita ambil pelajaran adalah bahwa baik yang bekerja sekedar melaksanakan rutinitas maupun yang bekerja dengan full commitment dan pengorbanan, waktu yang tersedia itu sesungguhnya sama. Hanya saja yang bekerja melaksanakan rutinitas semata akan merasa waktu itu panjang, maka dia berusaha membuang waktu dengan membaca koran, chatting dan sejenisnya.

Sebaliknya yang bekerja dengan full commitment seperti dokter kandungan yang saya ceritakan di atas, waktu terasa tidak pernah cukup baginya. Dia hanya sempat membaca pesan-pesan penting dari hp-nya, jangankan chatting atau browsing yang nggak perlu – baca koran-pun dia jarang sempat.

Hanya diri kita sendiri yang tahu, termasuk pekerja yang mana kita ini. Kita semua mempunyai waktu yang sama, tergantung kita untuk memanfaatkannya. Apakah akan kita buat rutin dan longgar sehingga waktu terasa lama dan membosankan. Atau kita isi dengan penuh komitmen dan pengorbanan sehingga waktu terasa padat dan bahkan terasa tidak pernah cukup.

Lebih dari itu semua, Di mata Allah niat yang akan membedakannya sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut : “Pada suatu hari, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang berjalan bersama dengan para sahahat, tiba-tiha mereka menyaksikan seorang pemuda yang nampak gagah perkasa sedang bekerja keras membelah kayu bakar. Dan beberapa sahahat pun berkomentar: “Celakalah pemuda itu. Mengapa keperkasaannya itu tidak digunakan untuk Sabilillah (jalan Allah)?” Lantas, Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian berkata demikian. Sesungguhnya bila ia bekerja untuk menghindarkan diri dari meminta-minta (mengemis), maka ia berarti dalam Sabilillah. Dan jika ia bekerja untuk mencari nafkah serta mencukupi kedua orang tuanya atau keluarganya yang lemah, maka iapun dalam Sabilillah. Namun jika ia bekerja hanya untuk bermegah-megahan serta hanya untuk memperkaya dirinya, maka ia dalam Sabilisy syaithan (jalan setan)””.

Mudah-mudahan ini bisa menyemangati kita dalam bekerja, sekaligus meluruskan niat – agar pekerjaan ini bisa masuk kedalam kategori Fi Sabilillah. Insyaallah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar