Catatan Akhir Ramadhan : Tela Energy – Renewable & Open Source…

Oleh: Muhaimin Iqbal
Sabtu, 18 Agustus 2012

Istilah tela, ketela atau singkong mungkin masih berasosiasi dengan kemiskinan, ndeso atau hal-hal yang humble lainnya karena dahulu tela memang menjadi bahan makanan bagi masyarakat yang tidak mampu membeli beras. Maka nama tela ini pula yang mengemuka ketika kami membahas energy untuk rakyat, sebagai bentuk aktualisasi dari tadabur ayat-ayat energy dalam i’tikaf akhir Ramadhan 1433 H di Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin – Jonggol.


Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya ? (QS 56 : 71-72)

Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” (QS 36 : 80)

Berangkat dari ayat –ayat tersebut di atas kami sepenuhnya yakin bahwa salah satu sumber energy sepanjang jaman itu adalah tanaman karena realitanya dari dahulu sampai sekarang memang demikian. Sejak manusia purba menggesekkan batang-batang kayu kering menjadi api, hingga manusia di jaman modern ini menggali fosil pohon-pohon purba menjadi minyak dlsb. – semuanya adalah dari tanaman.

Maka kemungkinan besarnya setelah energy dari fosil tersebut menipis, salah satu penggantinya tetap juga dari tanaman. Hanya bentuknya tentu sudah bukan menggosokkan kayu-kayu kering atau menggali fosil kayu purba yang semakin langka. Salah satu bentuk penggantinya yang sudah sangat banyak diriset dan dikembangkan adalah bioethanol.

Bioethanol inilah yang kemudian kami pilih untuk menjadi exercise dalam mentadaburi ayat-ayat di atas. Hasilnya di sela-sela i’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan 1433 H ini alhamdulillah kami berhasil mempelajari, memahami dan benar-benar memproduksi dari A sampai Z bioethanol yang berasal dari tela atau singkong.

Karena kami ingin hal ini menjadi amal nyata yang berdampak luas pasca Ramadhan nanti, maka dari exercise tersebut juga dilahirkan strategy bagaimana membumikan teknologi bioethanol tersebut untuk solusi bagi masyarakat bawah. Masyarakat yang masih merasa berat untuk membeli gas yang harus dibeli minimal per 3 kg, masyarakat yang kehilangan dan merindukan bahan bakar yang bisa dibeli eceran seperti minyak tanah yang dahulu biasa mereka gunakan.

Strategy ini kami sebut Renewable & Open Source yang artinya Terbarukan dan Terbuka. Terbarukan - karena kami menginginkan sumber energy yang bisa ditanam kembali, bisa terus menerus dihasilkan oleh masyarakat tanpa merusak atau menguras sumber daya alam kita. Terbuka atau Open Source - karena kami ingin penguasaan ilmu, teknologi dan produksi energy yang satu ini betul-betul berada di tangan masyarakat luas – bukan property right dari segelintir orang saja.

Kami tahu di luar sana sudah sangat banyak kalangan ilmuwan dan peneliti yang menguasai seluk beluk yang dibutuhkan untuk produksi bioethanol ini, maka yang kami lakukan hanyalah membawanya ke ranah pengetahuan publik - sehingga dari waktu ke waktu produksi energy ini bisa disempurnakan secara berkelanjutan oleh siapa saja yang bersedia berkontribusi pada penyempurnaannya.

Untuk menjadikannya Open Source harus ada yang mau memulai untuk berbagi, maka fasilitas kami di komplek Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin – Jonggol kami tawarkan sebagai fasilitas untuk belajar tentang bioethanol ini, mulai mencoba produksi, riset pengembangan teknis produksi, riset kajian kelayakan dan efisiensi biaya produksi dlsb. bagi siapa saja yang membutuhkannya. Dengan pancingan ini diharapkan orang-orang yang lebih mumpuni dari kami dalam segala hal, mau juga kemudian berbagi atas kelebihan mereka masing-masing.

Dengan pendekatan Open Source yang tidak terbatas pada ilmu dan teknologinya tetapi sampai juga produksinya ini, diharapkan masyarakat nantinya bisa mandiri dan merdeka dari sisi kebutuhan energynya. Bila setelah 67 tahun  merdeka secara de jure rakyat negeri ini hanya memiliki satu provider untuk bahan bakar, tidak lama lagi  bahkan koperasi tingkat desa-pun bisa memproduksi secara ekonomis bahan bakarnya sendiri.

Masyarakat terpencil yang kini rela membayar sangat mahal untuk bahan bakar karena problem transportasi, mereka akan segera bisa mengatasi problemnya manakala bahan bakar itu langsung diproduksi di masyarakat mereka – dari tanaman yang bisa ditanam juga di tanah-tanah mereka sendiri.

Sengaja kami pilih tela atau singkong sebagai titik awal perjuangan dibidang energy ini, karena di antara sumber-sumber bioethanol yang possible – bioethanol dari tela inilah yang relatif sudah feasible untuk diproduksi sendiri oleh masyarakat.

Bila diproduksi sendiri secara khusus untuk bioethanol memang belum terlalu feasible, tetapi manakala digabung dengan produksi pakan ternak – maka bioethanol dari ketela ini mulai menjadi menarik. Bersamaan dengan memproduksi bioethanol untuk keperluan energy-nya, masyarakat juga dapat meningkatkan produksi peternakannya untuk menghasilkan daging maupun susu yang keduanya juga sangat dibutuhkan untuk menggantikan produk-produk impor.

Ketika peternakan masyarakat berkembang, dampak selanjutnya adalah sumber-sumber pupuk alami juga bermunculan di masyarakat – sehingga lahan masyarakat menjadi subur dan sustainable untuk kehidupan mereka. Sekali merangkuh dayung (tela), dua tiga pulau (bioethanol, pakan ternak dan pupuk) terlewati – begitulah cita-cita kami.

Gerakan ini insyaallah akan membesar seperti rintisan bola salju bila masyarakat mau juga berbagi dengan segala hal yang mereka miliki. Bentuk berbagi secara luas inipun sudah kami mulai sejak design logo program ini kami lombakan di internet, selama 7 hari waktu lomba lebih dari 300 design logo masuk. Salah satunya kami tentukan sebagai pemenang hari ini karena design yang satu ini memang ‘tela banget…!’ , seperti pada gambar dibawah.


Sangat banyak memang yang masih perlu penyempurnaan, justru karena itulah program Tela Energy ini kami buat Open Source – supaya Anda yang membaca tulisan inipun dapat membantu menyempurnakannya. Bila program ini berhasil, bukan hanya rakyat bawah yang diuntungkan, tetapi juga pemerintah dapat menghemat subsidinya – karena sebagian kebutuhan energy masyarakat dapat mereka cukupi sendiri. Jadi mestinya pemerintah atau instansi yang terkait ikut mendukung program ini, kalau toh tidak dengan dana – minimal permudahlah segala urusan perijinannya.

Namanya memang Tela Energy tetapi nantinya tentu tidak harus berasal dari (ke)tela atau singkong, bisa berasal dari berbagai tanaman yang mengandung pati, mengandung serat, mengandung gula atau bahkan juga dari algae yang luar biasa potensinya di negeri kepulauan ini. Tela hanyalah nama yang identik dengan masyarakat bawah, masyarakat yang perlu kita dorong kemandirian dan kemerdekaannya setelah 67 tahun negeri ini merdeka !.

Lebih dari itu, problem energy hanyalah satu dari segudang problem di masyarakat yang perlu diatasi bersama – perlu di –Open Source – kan. Bila setiap Ramadhan atau setiap i’tikaf kita bisa aktualisasikan satu dua ayat untuk satu dua solusi dari masalah yang ada di masyarakat – maka insyaAllah setiap akhir Ramadhan kwalitas hidup masyarakat akan meningkat.

Bukankah ini target puasa kita ?, agar kita menjadi semakin takwa ? dan apakah kriteria masyarakat yang bertakwa itu ?, salah satunya adalah keberkahan rezekinya seperti yang terungkap di ayat ini :

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS 7 : 96)

Mari bersama-sama kita down to earth-kan puasa kita dengan meng-Open Source-kan kelebihan kita masing-masing. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar