Survive di G-Zero Era…

Oleh: Muhaimin Iqbal
Selasa, 21 Agustus 2012

Sampai saat ini kita masih menggunakan Dollar Amerika (US$) untuk berbagai keperluan seperti menghitung biaya pergi haji, membeli berbagai produk impor dlsb. Ini karena US$ memang masih paling banyak dipakai sebagai reserve currency – uang yang dijadikan cadangan devisa negara-negara di dunia. Pesaing terdekat US$ yaitu Euro – mengalamai problemnya sendiri yang sangat serius di sepanjang tahun ini. Tetapi US$-pun bukan tanpa masalah, dalam dua sampai tiga tahun mendatang negeri yang mata uangnya digunakan dunia tersebut akan memasuki era yang sangat sulit.


Setidaknya inilah prediksi Richard Duncan – mantan orang IMF dan juga World Bank yang menulis buku The New Depression – The Breakdown of The Paper Money Economy (John Wiley & Sons Singapore, 2012). Ini bukan prediksi dari orang-orang seperti saya misalnya, yang memang sudah lama melihat bahwa ekonomi ribawi pasti akan hancur karena kita membaca petunjukNya. Ini prediksi dari ‘orang dalam’ mereka sendiri.

Menurut Richard Duncan tersebut, antara 2013-2014 Amerika hanya akan memiliki tiga pilihan yang amat sangat sulit. Pilihan pertama adalah berhenti memberi stimulus pada ekonominya – baik fiscal ataupun monetary, maka ini seperti orang naik sepeda yang berhenti mengayuh. GDP mereka akan turun, stock market hancur, bank-bank akan tutup – ini akan menjadi sekenario bunuh diri negeri raksasa itu.

Pilihan kedua adalah Amerika melakukan monetary stimulus (lagi) berupa Quantitative Easing – saja. Bila ini yang dilakukan, Amerika akan membutuhkan dua kali Quantitative Easing lagi yang besarnya masing-masing US$ 3 trilyun di tahun 2013 dan 2014. Bisa dibayangkan dampaknya terhadap inflasi. Dengan dua QE sebelumnya yaitu 2008 dan 2010 yang masing-masing sebesar US$ 600 milyar saja, harga-harga barang riil seperti emas melonjak dua kalinya – sebelum QE emas dibawah US$ 800/ozt, kini di kisaran US$ 1,600/ozt – maka dua QE jumbo di tahun 2013 dan 2014 tersebut bila dilakukan akan meroketkan seluruh harga barang riil, termasuk emas yang bisa sampai US$ 5,000/ozt karenanya.

Pilihan ketiga adalah Amerika tidak melakukan QE lagi, tetapi melakukan fiscal stimulus secara massive. Pilihan ketiga ini akan melonjakkan hutang Amerika yang oleh Richard Duncan diprediksi akan menjadi 81% terhadap GDP tahun 2013 dan 92% di tahun 2014. Skenario ketiga ini tetap membuat the Fed harus mencetak uang baru yang kisarannya di atas US$ 900 di masing-masing tahun 2013 dan 2014, maka saat itupun harga-harga barang melonjak – termasuk emas.

Bersamaan dengan masalah internal Amerika yang menggunung, Amerika juga akan kehilangan pengaruhnya di dunia. US$ tidak lagi menjadi reserve currency yang aman dan dunia perlu leadership baru, tetapi siapa ?. Negara besar seperti Jerman akan sibuk dengan urusan regional mereka. Negara seperti Jepang juga sudah terlebih dahulu terjebak dengan hutang yang menggunung.

Negara seperti China yang selama tiga dasawarsa terakhir tumbuh secara mengagumkan, kini mulai overload dengan upaya penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Jadi baik secara ekonomi maupun politik, China yang kepemimpinannya bergaya komunis otoriter akan sulit menjadi pemimpin dunia baru.

Negara dengan kekuatan ekonomi baru seperti Brazil dan India-pun tidak akan cukup ‘dewasa’ untuk memimpin dunia dengan segudang masalah ekonomi dan politiknya. Mereka akan terlalu sibuk dengan urusan pengendalaian pertumbuhan dan masalah internalnya masing-masing.

Walhasil siapa yang akan memimpin dunia dalam beberapa tahun mendatang ?, ya tidak ada !. Itulah yang ditulis oleh Ian Bremmer – Presiden dari Eurasia Group, suatu lembaga riset dan konsultan politik ternama dunia – dalam bukunya Every Nation For Itself : Winners and Losers in a G-Zero World (Penguin Group, London 2012).

Ketiadaan negara yang bisa memimpin dunia inilah yang oleh Ian Bremmer disebutnya sebagai G-Zero. Ini untuk menunjukkan kegagalan G-G sebelumnya, baik itu yang disebut G-2, G-3, G7 sampai G20, yang masing-masing anggota pada akhirnya akan berjuang untuk survive sendiri-sendiri tanpa adanya aliansi permanen.

Lantas bagaimana dengan Indonesia ?, kita mungkin belum akan memimpin dunia dalam waktu dekat, tetapi setidaknya kita memiliki modal untuk survive di era G-Zero tersebut di atas. Kekayaan sumber daya alam Indonesia dan penduduknya yang lebih dari separuh masih berusia dibawah 30 tahun, bisa menjadi titik awal untuk mulai membangun kekuatan sendiri.

Dua kebutuhan mendasar yang akan menjadi rebutan dunia saat itu adalah urusan pangan dan energy – maka dua area ini bisa menjadi focus kita untuk bisa survive. Kita tidak lagi bisa mengandalkan impor bahan pangan ataupun energy untuk mencukupi kebutuhan penduduk kita – karena negeri asal impor tersebut kemungkinan besar akan memerlukannya sendiri, mereka-pun bisa jadi dalam kekurangan.

Apa konkritnya yang bisa kita lakukan ?, negara atau instansi yang terkait pada dua hal tersebut di atas ( pangan dan energy) yang seharusnya segera mengantisipasi kemungkinan situasi G-Zero tersebut dengan program-program yang bisa membuat negeri ini swasembada pangan dan energy dalam waktu dekat.

Tetapi bagi rakyat seperti kita-kita ini, juga ada yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban pemerintah dan juga beban kita sendiri. Mengurangi konsumsi produk yang berbahan baku impor adalah salah satunya, pada saat yang bersamaan juga mengembangkan produk-produk yang berbahan baku lokal.

Edukasi dan sosialisasi untuk membangun karakter manusia yang mandiri juga perlu disebarkan ke masyarakat luas – agar kita tidak terlena dengan berbagai ketergantungan produk (berbahan) impor. Bila ketergantungan ini yang kita langgengkan, kita tidak akan siap ketika era G-Zero tersebut ujug-ujug datang.

Sebagai bentuk kontribusi kami pada upaya untuk survive di era G-Zero tersebut, kami memberikan pelatihan-pelatihan khusus untuk berbagai kelompok masyarakat, mulai dari anak-anak sekolah, remaja, mahasiswa, pekerja/karyawan sampai kalangan professional – tentu dengan focus dan tingkatan materi yang berbeda. Pelatihan ini kami namakan G –Zero Survival Training.

Berbeda dengan survival training pada umumnya, survival training yang ini fokusnya adalah membangun jiwa merdeka dan mandiri sekaligus memberikan skills yang memadai  – khususnya pada urusan-urusan kebutuhan pokok pangan dan energy, dua hal besar yang akan menjadi isu di era G-Zero. Tiga lokasi kami di Jonggol- Jawa Barat, Boyolali – Jawa Tengah dan Blitar – Jawa Timur seluruhnya bisa menjadi lapangan yang menarik untuk pelatihan ini. Pelatihan hanya diberikan secara berkelompok dan bagi para peminat dapat menghubungi kami di alamat kontak dari situs ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar