Oleh: Muhaimin Iqbal
Ketika seekor anak kucing dalam bahaya, ibunya mengamankannya dengan menggigit lehernya untuk dibawa menjauh dari bahaya. Ketika anak monyet dalam bahaya, induk monyet lari dahulu kemudian anaknya mengejar dan nggemblok di punggungnya. Anak kucing pasif dan ibunya yang aktif, sedangkan anak monyet aktif meskipun ibunya tidak peduli. Dari keduanya, mana yang lebih dekat dengan system ekonomi kita saat ini ?
Ekonomi
rakyat kita sesungguhnya dalam bahaya karena setelah 67 tahun merdeka
pendapatan rata-rata kita baru di kisaran US$ 3,500 atau sekitar 15
Dinar atau sekitar 75 % dari nishab zakat. Hidup di negeri yang
berlimpah sumber daya alam dan manusia-manusia cerdas di dalamnya,
pencapian ini mestinya patut direnungkan.
Kira-kira
apa penyebabnya ? ada dua area yang menurut saya sendiri menjadi
penyebab utamanya – dan ini adalah dua unsur utama ekonomi, yaitu sisi
penguasaan produksi dan sisi penguasaan pasar.
Untuk
produksi kita masih dijejali dengan berbagai produk orang lain, sejak
bangun tidur sampai tidur kembali. Bangun tidur kita langsung mencari HP
produk Amerika, Canada, Finlandia, Jepang, Korea ataupun yang dari
China.
Duduk di meja makan, sarapan pagi kita makan mie atau roti yang bahan baku terigunya 100% impor. Well kadang makan nasi pakai tempe, tetapi sebagian beras dan kedelainya juga impor.
Begitu
seterusnya menjelang tidur noton berita dahulu dari televisi produksi
Jepang, Korea atau China lagi. Berselimut di kamar yang sejuk dengan AC
produksi Jepang, Korea atau China lagi. Ironinya ketika kedinginan,
kemulan dengan selimut tebal juga dari China.
Tidak
masalah memang menggunakan produk impor, tidak juga haram karena memang
kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal – dan tentunya
juga saling bermuamalah. Masalahnya adalah ketika muamalah itu lebih
berat ke satu arah, maka negeri yang kaya sumber daya alam bisa
ketinggalan jauh dalam hal kemakmurannya.
Penguasaan
pasar yang canggih oleh bangsa lain dalam system perdagangan
internasional yang membuat ekonomi kita lebih condong pada ekonomi
konsumsi ketimbang ekonomi produksi, inilah yang membuat keunggulan
sumber daya alam maupun sumber daya manusia kita menjadi tidak terolah
secara optimal.
Dengan
laut kita yang sangat kaya, bumi kita yang sangat subur lengkap dengan
manusianya yang banyak yang cerdas-cerdas – mestinya kita berpeluang
untuk menjadi negara yang makmur – lha wong dari dulu kita tahu bumi kita ini adalah bumi yang gemah ripah loh jiawi, tongkat dan kayupun jadi tanaman, sungai dan lautannya adalah ‘kolam susu’ ?.
Tetapi
kalau realitanya rata-rata penduduk negeri ini berpenghasilan dibawah
nishab zakat, pasti ada yang salah dalam pengelolaan kekayaan yang
melimpah di sekitar kita – yang membuat kita seperti itik yang merana di
lumbung padi.
Lantas
siapa yang bisa membuat perubahan atas situasi ini ? Disinilah
relevannya peribahasa anak kucing dan anak monyet di awal tulisan ini.
Nampaknya kita bukan ibarat anak kucing yang induknya ‘care’ dan
menyelamatkan kita ketika kita dalam bahaya.
Ibarat
kita lebih mendekati ibarat anak monyek yang induknya berlari dahulu
menyelamatkan diri ketika melihat bahaya datang. Paling tidak dari media
koran, televisi dan internet – kita menyaksikan betapa para pemimpin
kita di eksekutif, legislatif dan yudikatif – umyek dengan kegaduhannya sendiri.
Dari
sibuk memperebutkan kekuasaan, sibuk memupuk pundi-pundi untuk
perebutan kekuasaan, korupsi sampai intrik-intrik politik yang tiada
henti. Lantas siapa yang menyelamatkan rakyat ini dari kesulitan demi
kesulitan ?, dari ekonomi yang didominasi oleh produk asing ataupun
konglomerasi dalam negeri ? ya rakyat ini sendirilah yang harus aktif
menyelamatkan diri lha wong ‘induk’ kita nampak tidak peduli dan bahkan pada berlarian sendiri-sendiri.
Tetapi
apa yang bisa dilakukan oleh rakyat ini ?, meyambung silaturahim dalam
arti yang sesungguhnya insyaallah bisa menjadi solusi. Bukan basa-basi
tetapi dengan niat yang serius dan tulus kita ingin saling berbagi.
Berbagi sumber daya, pasar, kesempatan, pengetahuan dlsb.
Tahun
ini dan tahun depan, para elit negeri ini akan disibukkan oleh
gonjang-ganjing politik di arena pemilu legislatif dan eksekutif. Pada
saat yang bersamaan, ekonomi dunia yang lagi belum sembuh benar dari
krisis sejak 2008 – mungkin akan terus berlanjut dan bahkan juga mungkin
ada trigger krisis ekonomi baru oleh perubahan geopolitik dunia seperti
meningkatnya ketegangan China dengan Jepang dlsb.
Rakyat
seperti kita-kita, harus bisa proaktif menyelamatkan urusan ekonomi
kita sendiri, dengan memulai dari orang-orang yang kita kenal di
lingkungan atau komunitas kita. Dengan membuka hati dan tangan kita
untuk saudara kita, bagaimana kita bisa saling membantu. Bagaimana kita
bisa saling membeli atau bertukar produk-produk kita sendiri.
Mulai
dari lingkup yang kecil, ketika roda-roda gigi itu saling memutar –
maka dia akan sanggup memutar roda gigi yang lebih besar dan seterusnya.
Dengan ekonomi yang berbasis silaturahim kerakyatan ini, insyaAllah
kita akan bisa selamat meskipun ‘induk-induk’ kita sibuk berlarian
menyelamatkan diri sendiri. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar