Oleh: Muhaimin Iqbal
Seekor tikus mau masuk lumbung padi Pak Tani melalui lubang sempit yang dengan susah payah digalinya. Begitu berhasil masuk, dihadapannya sudah ada perangkap tikus yang menghadang. Dia balik lari tunggang langgang dan berteriak mengabarkan ke hewan-hewan lain akan adanya bahaya “ada perangkap….ada perangkap….ada perangkap”. Bagaimana sikap hewan lain ?
Teman-teman si tikus yang mendengar pertama kabar itu menganggapnya enteng : “oh
itu sudah biasa, Pak Tani memang selalu pasang perangkap. Tapi kita kan
lebih cerdik dari dia ?, kita bisa tetap makan padinya tanpa harus kena
perangkapnya !”.
Ketika ayam ikut mendengar tikus berteriak “ada perangkap…”, si ayam menjawab “itu pasti bukan untuk saya, lagian saya tidak pernah masuk lumbung Pak Tani !, makanan saya tersedia cukup di luar sini…”.
Ketika kambing ikut mendengar teriakan yang sama “ada perangkap…”, si kambing menjawab : “Oh
itu tidak mungkin mengenai saya, saya tidak masuk lumbung Pak Tani dan
saya tidak makan padinya, makanan saya rumput diluar sana ! ”.
Ketika sapi juga ikut mendengarkan teriakan yang sama “ada perangkap…”, si sapi menjawab : “jelas itu bukan untuk saya, pintu lumbungnya saja tidak muat untuk saya masuki – saya tidak mungkin mencari makan di sana”.
Karena
kesombongan tikus yang tidak mengindahkan peringatan temannya, satu
tikus tetap melenggang masuk lumbung Pak Tani. Begitu melewati lubang
sempit yang dibuat temannya, terdengar suara “Jepret !, cit cit cit…cit cit cit…cit cit cit…”. Satu tikus kena perangkap dan yang lain panik lari tunggang langgang.
Si ayam, Si kambing dan Si sapi tetap pada pendiriannya : “bahaya itu bukan untuk saya…!”.
Pak
Tani yang menyimpan padi di lumbung tidak tahu kalau ada tikus yang
terkena perangkapnya. Bangkai tikus tetap berada di lumbung padi untuk
waktu yang lama. Bangkai ini menyebarkan penyakit yang terus terbawa ke
padi yang dimakan keluarga petani.
Pak
Tani dan anaknya memiliki badan yang sehat tidak mudah terkena
penyakit, tetapi istrinya yang rentan – langsung sakit dan perlu
perawatan. Ketika dalam perawatan ini makan apa saja serba tidak enak,
lantas si istri bilang sama suaminya : “Makan sop ayam kali Pake enaknya…”.
Si suami yang sayang istri lantas serta merta memotong ayam - yang sebelumnya mengabaikan peringatan “ada perangkap…”.
Sakit
si istri tetap belum sembuh bahkan bertambah parah. Tetangga dan
saudara jauh pada berdatangan untuk besuq sambil mendoakan kesembuhan
istri Pak Tani. Karena banyak tamu, Pak Tani bingung untuk menjamunya.
Dia ingat punya kambing, maka dipotonglah kambing untuk menjamu
tamu-tamunya. Kambing ini adalah kambing yang sebelumnya juga mengabaikan peringatan “Ada perangkap…”.
Istri
Pak Tani terus bertambah parah sakitnya dan akhirnya meninggal dunia.
Pelayat banyak bersimpati ke Pak Tani sampai berhari-hari. Pak Tani
bingung lagi bagaimana menjamu tamunya yang sangat banyak, maka
dipotonglah satu-satunya yang masih tersisa yaitu sapi – yang juga
sebelumnya mengabaikan peringatan “ada perangkap…”.
Begitulah
sikap manusia seperti kita ketika mendapatkan peringatan akan adanya
suatu bahaya. Ada yang seperti tikus yang sombong, merasa lebih pinter
dari bahaya yang akan datang. Ada yang seperti ayam, kambing dan sapi –
merasa peringatan itu bukan untuknya – bahwa dia tidak mungkin kena
bahaya itu !. Maka ketika peringatan bahaya itu diabaikan, semuanya
menjadi korban.
Begitu
banyak peringatan itu sampai ke kita dari Sang Maha Pencipta dan Yang
Maha Tahu, dari bahaya riba, judi, khamr sampai bahaya dari kerusakan
alam, ketidak adilan pemimpin, kecurangan para pengusaha/pedagang dlsb.
dlsb.
Siapkah
kita sedari dini merespon peringatan tersebut dengan mengambil langkah
yang benar sesuai petunjukNya ? atau kita abaikan juga ? Mudah-mudahan
Allah menuntun kita pada pilihan yang pertama - memberi kita petunjuk
dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar