Oleh: Muhaimin Iqbal
Hadiah paling mahal di dunia saat ini ternyata bukan hadiah Nobel yang nilai uangnya US$ 1.3 juta, tetapi Hadiah Ibrahim yang nilainya berpuluh kali dari hadiah Nobel. Hadiah ini diberikan oleh Mo Ibrahim Foundation untuk mantan-mantan pemimpin Afrika yang berfikir dan bertindak jauh kedepan untuk kepentingan rakyatnya, bukan untuk kepentingan saat dia menjabat saja. Di tengah euphoria demokrasi dan pemilihan pemimpin berdasarkan pencitraan yang dipoles, barangkali semacam Hadiah Ibrahim ini bisa menjadi salah satu solusi.
Mo Ibrahim Foundation
didirikan oleh konglomerat telekomunikasi Afrika Dr. Mohammed “Mo”
Ibrahim – dahulunya pemilik perusahaan telekomunikasi Celtel yang
beroperasi di 14 negara-negara Afrika. Setelah menjual perusahaannya ini
senilai US$ 3.4 milyar tahun 2005, dia mulai membagikan sebagian
hartanya untuk mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin berkwalitas di
Afrika.
Mo Ibrahim Foundation-pun mengeluarkan index untuk mengukur kinerja para pemimpin dan pemerintahan di Afrika dengan apa yang disebut IIAG – Ibrahim Index of African Governance atau disingkat Ibrahim Index.
Untuk
pemimpin yang berfikir panjang dan membuat kebijakan yang tepat untuk
masa depan rakyatnya, dikeluarkannyalah apa yang disebut Ibrahim Prize
atau Hadiah Ibrahim. Nilainya tidak tanggung-tanggung, US$ 5 juta
dibayar di depan kemudian setiap tahun diberikan tunjangan US$ 200,000,-
dan tambahan US$ 2 juta untuk berbagai sebab lain.
Yang
berhak menerimanya adalah para pemimpin berprestasi yang dinilai
setelah dia pensiun untuk memastikan transisi kepemimpinan yang smooth dan menghindari effect pencitraan semata. Yang sudah pernah menerima hadiah ini adalah Nelson Mandela (hadiah kehormatan), Joachuim Chissano (Mozambique, 2007), Festus Mogae (Bostwana, 2008) dan Pedro Pires (Cape Verde, 2011).
Barangkali
kita juga perlu memberikan hadiah semacam ini kepada para pemimpin kita
dari pusat sampai ke daerah, agar semasa memimpin ia tidak mementingkan
kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya. Dia harus berfikir
panjang untuk seluruh rakyatnya jauh kedepan.
Kegagalan
pemimpin dalam berfikir panjang sudah kita rasakan dampaknya. Ibu kota
yang tidak nyaman lagi untuk bekerja dan tinggal karena kemacetan ,
banjir, pencemaran air dan udara – adalah salah satu contohnya. Contoh
lain adalah Jakarta yang ambles sebagian wilayahnya (Pluit) 1.6 meter
antara tahun 2000 s/d 2010 saja, membuat daerah itu kini berada 2 meter
dibawah permukaan laut (dpl). Intrusi air laut yang terus merasek masuk
semakin jauh ke daratan sehingga air tanah tidak lagi layak minum bagi
sebagian besar penduduk Jakarta – adalah contoh tragis lainnya.
Apakah
problem-problem dalam contoh-contoh tersebut di atas tidak diketahui
sebelumnya ? saya pikir kok tidak kurang banyak ahli yang mampu
memprediksinya sejak berpuluh tahun lalu. Yang tidak ada adalah
kebijakan dan tindakan yang tepat untuk mencegah hal-hal tersebut
terjadi.
Barangkali kinilah saatnya bagi pemimpin Jakarta khususnya dan juga seluruh pemimpin di Indonesia pada umumnya untuk membuat kebijakan dan tindakan yang tepat itu. Kebijakan yang bisa mengerem laju kerusakan life support (penopang kehidupan) bagi rakyat kini dan yang akan datang. Bahkan juga kebijakan yang mampu memperbaiki life support
tersebut sehingga anak cucu kita bisa hidup lebih baik dari kita-kita
kini. Bisa menghirup udara lebih bersih, bisa memperoleh air bersih
lebih murah, bisa melahirkan generasi yang lebih sehat dlsb.
Untuk
ini diperlukan pejabat yang siap tidak populer karena membuat kebijakan
yang efek manfaatnya jangka panjang, sedangkan rakyat diajak kerja
keras dan berkontribusi sejak saat ini. Untuk mendorong ini pula saya
membuat serangkaian tulisan yang terkait dengan banjir dan perbaikan life support ini sejak beberapa tulisan sebelumnya.
Alhamdulilah
di antara serangkain tulisan tersebut, sampai pula ke sebagian pihak
yang berkompeten untuk membuat kebijakan yang terkait. Bahkan sebagian
mereka telah mengundang saya untuk menjelaskan detailnya. Sebagian dari
penjelasan detil saya tersebut adalah ilustrasi dibawah.
Teknik yang saya usulkan antara lain adalah membuat soil storage seperti yang sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya – Agar Air Tetap menjadi Sumber Kehidupan.
Ilustrasi
tersebut di atas intinya menggambarkan bahwa air yang berlimpah
sekarang yang belum lama ini menjadi musibah banjir, bila di manage dengan benar sebenarnya air itu bisa mengisi supply
bagi kelangkaan air jangka panjang kedepan – yang diprediksi McKinsey
25 juta orang akan tidak memiliki akses air bersih di Indonesia pada
tahun 2030.
Supply untuk demand
sekian tahun kedepan itu tersedia kini, maka diperlukan kebijakan dan
tindakan yang tepat oleh para pemimpin yang berkompeten saat ini – untuk
hasil yang bisa jadi hanya dirasakan sekian tahun jauh kedepan.
Selain air yang tersedia kini harus bisa menjadi supply air jangka panjang, dengan teknik soil storage
yang diterapkan mulai dari daerah resapan di Selatan Jakarta, daerah
pemukiman di pusat kota Jakarta sampai ke daerah yang sudah ambles
sekalipun – Jakarta masih mungkin untuk bisa bebas banjir , proses
turunnya permukaan tanah (ambles) mungkin masih bisa dihentikan dan
intrusi air laut-pun masih mungkin dilawan dengan resapan air hujan
melalui sejumlah biohole yang ditaburkan di seluruh wilayah terbuka hijau Jakarta.
Syaratnya
adalah hadirnya pemimpin yang benar-benar pemimpin, memimpin rakyat
untuk bersikap dan bertindak secara benar. Dan karena pemimpin seperti
ini mungkin tidak populer karena hasil kerjanya tidak segera bisa
dirasakan, dia harus siap untuk tidak dipilih lagi oleh konstituennya –
yaitu rakyat kebanyakan yang bisa jadi tidak tahu hal sangat berharga
apa yang sebenarnya telah dia lakukan.
Pemimpin
sesungguhnya tetapi tidak makmur dan tidak terus terpilih di era
demokrasi – karena kebanyakan rakyat pemilihnya tidak tahu – inilah yang
harusnya kita beri hadiah semacam Hadiah Ibrahim yang saya perkenalkan
di awal tulisan ini.
Tetapi
karena tidak ada di antara kita yang sekaya Dr. Mohammed “Mo” Ibrahim
tersbut di atas, segelintir rakyat ini bisa berpatungan membantu
kehidupan pemimpin sesungguhnya yang tidak lagi menjabat tersebut.
Karena dari rakyat yang banyak yang tidak bisa disebut satu persatu,
maka kita namai saja hadiah tersebut misalnya menjadi Hadiah Abdullah.
Hadiah dari hamba Allah untuk hamba Allah lain yang telah berbuat banyak
untuk negeri dan rakyatnya. Hadiah yang sesungguhnya bagi pemimpin yang
benar-benar pemimpin tersebut hanyalah dari Allah semata. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar