Oleh: Muhaimin Iqbal
Kota-kota besar yang menjadi pusat bisnis dan perdagangan dunia itu terus bergeser. Dari Roma, pindah ke Damaskus, pindah ke Konstantinopel yang kemudian berganti nama menjadi Istambul, kemudian pindah lagi ke Vinesia, pindah ke Antwerp, Pindah ke London dan kemudian New York. Awalnya perpindahan itu mengikuti pusat pergerakan barang, belakangan mengikuti pusat pergerakan uang. Kemana pusat bisnis dan perdagangan kemudian akan bergeser ?
Saat
ini-pun sudah sulit untuk mengambil satu kota dunia yang menjadi pusat
bisnis dan perdagangan itu. Apakah masih di New York ?, atau sudah
bergeser ke Singapore , Hongkong, Beijing dlsb ?. Kini tidak ada lagi
satu kota di dunia yang begitu dominan-nya menjadi pusat bisnis dan
perdagangan.
Orang
tidak lagi harus mengikuti pusat pergerakan barang ataupun pusat
pergerakan uang. Teknologi informasi telah memungkinkan orang bisa
tinggal dan hidup di mana dia mau, tanpa harus kehilangan jejak terhadap
pergerakan barang dan pergerakan uang yaitu usaha dan perdagangan yang
dia kendalikan.
Di
luar dugaan kita semua, ternyata banyak eksekutuf dunia yang justru
berkeinginan dan mulai tinggal dan mengendalikan usahanya dari
negara-negara yang selama ini tidak terbayangkan oleh kita seperti
Vietnam, Czech Republic, Bulgaria, Slovenia, Costa Rica, Tunisia dan
Uruguay.
Ibukota
Uruguay yaitu Montevideo misalnya, kini meiliki daya tarik tersendiri
bagi eksekutif dunia untuk berkantor karena perbedaan waktu dengan New
York yang hanya 1 atau 2 jam (tergantung daylight saving), dan perbedaan
waktu dengan London hanya 3 atau 4 jam.
Orang yang berkantor di Montevideo bisa dengan
mudah menyesuaikan irama kerjanya dengan pusat – pusat bisnis di
Amerika atau Eropa. Selain faktor perbedaan waktu, daya tarik kota atau
negara yang menjadi tujuan tempat tinggal dan bekerja baru adalah karena
faktor Human Development Index (HDI), infrastruktur, perpajakan, perijinan dan berbagai peraturan yang memudahkan.
Berpindah dari pusat-pusat bisnis dunia menuju tempat-tempat tinggal dan bekerja yang lebih disukai ini kini menjadi lifestyle baru yang eksotis yang sering menjadi impian banyak pekerja. Dalam tataran lokal, sebenarnya kita juga bisa membangun lifestyle seperti ini sambil mengatasi berbagi persoalan kota besar yang tidak kunjung bisa diselesaikan.
Apa
enaknya sih misalnya bekerja di Jakarta dengan membuang 3 sampai 4 jam
setiap hari di jalan, dengan biaya hidup yang mahal, banjir dan
kemacetan belum nampak bisa diatasi, keamanan yang tidak terjamin,
pencemaran udara dan airnya konon membuat begitu banyak anak terlahir
autis ?
Tetapi
Jakarta tetap menjadi tujuan utama anak-anak muda dari seluruh negeri
yang telah menyelesaikan pendidikannya, Jakarta menjadi tumpuan harapan
ketika di kampung tidak ada tempat kerja yang bergengsi. Disinilah
masalahnya, orang mementingkan gengsi, citra atau gaya hidup
metropolitan – meskipun hidup di metropolitannya sengsara.
Karena salah satu faktor pendorong urbanisasi itu adalah lifestyle
metropolitan yang dipamerkan melalui acara-acara televisi, dan juga
para pekerja ibukota yang tampil parlente ketika pulang kampung di musim
lebaran – maka lifestyle ini mestinya bisa dilawan pula dengan lifestyle.
Kaum pekerja kelas menengah sampai atas misalnya bisa menjadi pelopor gerakan yang saya sebut Deurbanization Lifestyle
ini. Anda yang sudah mapan di Jakarta misalnya, kemungkinan Anda punya
imaginasi untuk kerja dari kampung halaman Anda masing-masing, atau
kerja dari kota yang memiliki kenangan tersendiri bagi Anda – kota
tempat Anda bertemu pertama kali dengan calon ibunya anak-anak misalnya.
Di
posisi Anda saat ini, semua itu mestinya kini menjadi mungkin. Dengan
bantuan teknologi, Anda tidak harus bertemu dengan mitra bisnis atau
mitra kerja Anda setiap saat. Bila toh dibutuhkan sekali waktu Anda
dengan mudah bisa terbang satu dua jam ke Jakarta.
Bila orang-orang makmur seperti Anda pulang kampung, multiplier effect-nya
insyaAllah akan sangat berarti. Pertama dengan income Jakarta yang Anda
belanjakan di kota atau kampung halaman akan berdampak besar pada
ekonomi masyarakat setempat.
Kedua, dengan pengetahuan dan pengalaman Anda – Anda bisa menjadi katalisator pembangunan ekonomi di daerah-daerah. Dan ketiga, bila hal ini dilakukan rame-rame menjadi lifestyle
baru yang diidamkan oleh para pekerja – maka perkembangan ekonomi
Indonesia akan terdorong untuk menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Lantas
bagaimana memulainya ? beberapa jenis pekerjaan lebih memungkinkan dari
yang lain. Tingkat manager ke atas yang umumnya bekerja berdasarkan
target KPI (Key Performace Indicators) tertentu akan lebih mudah untuk mulainya, karena kinerja mereka bukan berdasarkan kehadiran fisik tetapi berdasarkan hasil.
Pekerjaan-pekerjaan seperti programmer, penulis (seperti yang saya lakukan !), accountant, data processing, back office administration dlsb. yang tidak secara langsung berhubungan dengan customer-nya day to day, juga lebih memungkinkan untuk membangun Deurbanization Lifestyle ini.
Selain
faktor pekerjaan individu, pemerintah-pemerintah daerah di era otonomi
daerah ini juga bisa menarik para putra daerah sukses untuk balik ke
daerah dan ikut berperan memajukan daerahnya. Pemerintah setempat bisa
memberi insentif daya tarik tertentu seperti mempermudah urusan
perpajakan dan perijinan, perbaikan infrastruktur dlsb.
Wacana
memindahkan ibukota yang sudah mulai dibicarakan sejak era Presiden
Soekarno, entah kapan akan bener-bener bisa direalisir. Sementara itu
ibukota kini sudah tidak lagi nyaman untuk tempat bekerja apalagi untuk
tempat tinggal - lantas mengapa tidak sebagian kita mengejar mimpi kita
untuk hidup, bekerja dan tinggal di kota-kota yang eksotis bagi diri
kita masing-masing ? Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar