Oleh: Muhaimin Iqbal
Sejak konferensi tingkat tinggi Rio+20 dua tahun lalu, dunia seolah baru sadar akan pentingnya menjaga bertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi yang mengandalkan sumber daya alam yang tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batu bara disadari tidak akan bisa berkelanjutan, maka dunia rame-rame mengejar ekonomi baru yaitu green economy atau ekonomi hijau – ekonomi yang mengandalkan sumber daya dari tanam-tanaman, maka ini juga disebut Biomass Economy atau Ekonomi Biomassa. Siapa yang berpeluang unggul di era Biomass Economy ini ?
Dari
sisi geografis, 86 % produksi biomassa dunia berada di daerah tropis.
Ini meliputi sebagian kecil wilayah Afrika, sebagian Amerika Latin dan
seluruh wilayah Indonesia plus Asia Tenggara pada umumnya. Jadi ketika
ekonomi dunia bergeser dari mengandalkan energi fosil, menuju pada
energi biomassa – maka Indonesia menjadi salah satu negara yang
berpeluang terbaik di dunia.
Tetapi
Ekonomi Biomassa yang digagas oleh kapitalisme, dari awal sudah menuai
kontroversi. Bank Dunia misalnya memperkirakan 75 % penyebab kenaikan
bahan pangan biji-bijian dunia beberapa tahun terakhir adalah karena
negara-negara maju yang punya kelebihan produksi jagung, kedelai dan
berbagai bahan pangan lain – mereka bukan menjual bahan pangan tersebut
ke negara-negara yang masih kekurangan pangan, tetapi malah mengubah
bahan pangan tersebut menjadi energi.
Lebih
dari itu negara-negara maju dengan kemampuan iptek dan risetnya, malah
mulai mengubah bahan-bahan pangan menjadi apa yang mereka sebut biobased chemical and plastics.
Dengan alasan menyelamatkan lingkungan dari pencemaran kimiawi dan
plastik, mereka mengorbaankan ketersediaan pangan bagi bagian lain dari
dunia yang masih sangat membutuhkan kecukupan bahan pangan.
Maka beginilah ekonomi bila dijalankan dengan kemauan manusia yang berakal terbatas namun penuh nafsu untuk menguasai dunia itu. Menguras yang non-renewable membuat pertumbuhan ekonomi tidak bisa berkelanjutan, kemudian banting stir mengeskplorasi yang renewable-pun ternyata bisa mengorbankan kebutuhan manusia lainnya. Ecosystem kehidupan di bumi nampaknya terlalu njlimet untuk bisa dikuasai manusia bila dia hanya menggunakan akalnya semata.
Lantas
bagaimana seharusnya kita mengelola ekonomi di bumi ini, agar
manusianya bisa makmur secara berkesinambungan – tetapi daya dukung
alamnya tetap terjaga sampai setidaknya menjelang akhir jaman ? Itulah
dibutuhkannya petunjuk. Kita harus menyadari keterbatasan ilmu kita,
sehingga kita banyak-banyak mencari petunjuk dan pertolongan dari Sang
Maha Pencipta – yang telah menciptakan bumi dan langit seisinya ini
secara seimbang.
Untuk
kasus Ekonomi Biomassa – ekonomi yang mengandalkan hijauan tanaman dari
berbagi jenis dan bagiannya, insyaAllah semua petunjuknya ada dan
bahkan sebagian ilmunya juga sudah dikuasai oleh manusia.
Ketika
manusia ingin membuat energi dari tanaman misalnya, tidak masalah.
Tetapi yang dijadikan energi jangan biji-bijian yang biasa dikonsumsi
manusia seperti jagung, kedelai dlsb. Biji-bijian ini umumnya untuk
manusia, maka biarlah dia tumbuh secara cukup tetap untuk manusia.
“…Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.” (QS 36 :33)
Tanaman
yang untuk bahan bakar tersedia sendiri, yaitu pada umumnya dari
batang. Dari waktu ke waktu manusia diberi sebagian ilmuNya untuk
mengelola alam ini sesuai jamannya. Awalnya manusia ini bisa menggosok
kayu untuk menyalakan api, kemudian bisa menambang fosil (yang umumnya
juga dari kayu jutaan tahun lalu) untuk bahan bakar. Kini manusia sudah
bisa membuat bahan bakar biofuel
dari serat kayu (cellulose). Jadi api atau energi tetap bisa diproduksi
dari kayu meskipun dengan cara yang berbeda di jaman yang berbeda pula.
Kebenaran ayat-ayatNya sendiri tidak berubah :
“…yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." (QS 36 :80)
“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya ?” (QS 56:71-72).
Lantas bagaimana dengan perebutan makanan antara manusia dengan ternak – seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ketika jagung dunia tersedot habis untuk pakan ternak China ?.
Sama juga, itu terjadi karena akal manusia yang terbatas dikombinasikan
dengan nafsunya untuk menyelamatkan diri, kelompok dan negerinya
sendiri – sehingga yang seharusnya dimakan manusia lain-pun digunakan
untuk memberi makan ternak.
Hanya
dengan petunjukNyalah pemenuhan kebutuhan penduduk bumi ini – bisa
dilakukan dengan seimbang. Ada tanaman-tanaman yang untuk manusia, dan
adapula tanaman-tanaman untuk ternak.
“Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami
benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah
bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
anggur dan tanaman bergizi, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang)
lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan
untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS 80:24 -32)
Lihat
rangkaian ayat-ayatNya tersebut. Ada biji-bijian untuk manusia,
demikian pula berbagai jenis buah-buahan yang disebut namanya langsung
seperti zaitun dan kurma, maupun yang tidak disebut namanya langsung –
semuanya untuk manusia.
Adapun
rumput-rumputan, itu untuk ternak. Ternak jangan diarahkan untuk
mengambil makanan manusia karena akan bersaing dengan ketersediaannya.
Terus bagimana kalau hanya mengandalkan rumput-rumputan – apakah ternak
bisa menghasilkan daging dan susu yang cukup ?. Itulah manusia di jaman
ini juga dibukakan ilmu yang lain dengan microba pengurai dlsb, yang
dapat meningkatkan kandungan gizi rumput-rumputan dan kemudahannya untuk
diserap di perut hewan.
Maka
disitulah peluang besar umat yang tinggal di negeri tropis dengan
kekayaan alam yang luar biasa besar itu. Insyaallah kita bisa memimpin
dunia, bila kita tidak sombong dengan kemampuan akal kita dan tidak
tamak dengan nafsu kita. Kita bisa memimpin dunia bila kita mengandalkan
petunjuk dan pertolonganNya. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar