Oleh: Muhaimin Iqbal
Pada tahun 2020 – tujuh tahun dari sekarang - menurut situsnya Permanent Culture Now, kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang mendominasi dunia saat ini akan dibebani oleh hutang yang melebihi GDP masing-masing. Karena setiap negara akan berjuang habis-habisan untuk menyelamatkan negerinya sendiri, resiko perang dagang, perang dingin sampai perang yang sesungguhnya akan sulit kita bayangkan untuk saat itu. Tetapi ada cara untuk menghentikan trend buruk ini, salah satunya adalah dengan berhenti berhutang !
Perusahaan
yang berhutang dan harus membayar bunga, mereka akan memasukkan biaya
bunga ini ini pada biaya produksi baik itu barang ataupun jasa. Begitu
seterusnya ketika produk tersebut akan dipasarkan oleh jaringan
distribusi yang dibiayai dengan hutang berbunga – maka jaringan
distribusi-pun menambahkan beban biaya bunganya pada produk yang akan
dijual tersebut.
Karena
setiap mata rantai dari produsen, distributor, tansportasi, retailer
dst. semua dibiayai dengan hutang yang berbunga dan masing-masing
menambahkan biaya bunga pada produk yang akan dijual – maka harga produk
menjadi jauh lebih mahal dari yang seharusnya.
Ditengah
mahalnya produk yang dibebani mata rantai bunga tersebut, daya beli
konsumen juga menurun karena beban hutang consumers yang juga melibatkan
bunga – mulai dari credit card, cicilan rumah, cicilan mobil dlsb.
Walhasil
harga produk yang mahal tidak terjangkau oleh konsumen yang uangnya
sudah banyak berkurang untuk membayar bunga. Produk menjadi banyak yang
tidak laku, dan perlu dicarikan pasarnya.
Karena
semua negara membutuhkan pasar yang seluas-luasnya, maka perebutan
pasar inilah yang menimbulkan persaingan keras yang tidak sehat,
negara-negara membanting ongkos produksi dengan menurunkan daya beli
uangnya yang kemudian menimbulkan inflasi tinggi.
Karena semua negara melakukan hal yang nyaris sama, maka timbulah apa yang disebut tragedy of the common. Hal baik yang dilakukan satu pihak, menjadi musibah bila semua melakukannya. Dampaknya deficit
perdagangan akan melemahkan negara-negara yang dahulunya kuat, hutang
terus melambung seperti pada ilustrasi tersebut diatas, kekacauan,
perang dingin dan perang yang sesungguhnya menjadi sulit terelakkan.
Ketika
negara terlibat perang, maka sebagian besar sumber daya yang ada akan
dikerahkan untuk membiayai perang – walhasil rakyat yang sudah sengsara
dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menjadi semakin sengsara
ketika negerinya terlibat perang.
Pertanyaannya
adalah bagaimana menghentikan scenario yang buruk ini ?, salah satunya
adalah menghentikan budaya hutang baik untuk skala negara, korporasi
maupun individu. Tetapi bagaimana misalnya secara konkrit mengatasi
kebutuhan modal para korporasi yang memproduksi barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat ?.
Produsen
yang dibiayai dengan akad PLS, tidak perlu menambahkan ongkos atau
beban bunga pada harga produknya. Bila semua jalur distribusi,
transportasi sampai para retailer –nya tidak ada yang membebankan biaya
bunga (karena semua didanai dengan kontrak PLS), maka secara keseluruhan
harga produk sampai konsumen sama sekali tidak dibebani dengan biaya
bunga. Harga produk adalah harga apa adanya ditambah keuntungan yang
wajar.
Bila
harga produk yang wajar ini dipertemukan dengan konsumen yang daya beli
dari penghasilannya juga tidak digerus oleh berbagai beban bunga – maka
akan ketemulah produk-produk yang terjangkau oleh masyarakat
konsumennya.
Lho
para pemodal (shahibul mal) kan perlu dialokasikan bagi hasil juga ?
Betul, mereka mendapatkan bagi hasil yang wajar yang jumlahnya tidak
dijanjikan di depan. Jumlahnya akan tergantung pada profit margin dari
putaran barang atau jasa (turn-over), bukan pada tingginya harga jual.
Meskipun margin perdagangan sedikit – tetapi dari perputaran barang
dagangan yang cepat – akan lebih baik hasil akhirnya bagi pemodal maupun
pengusahanya sendiri.
Karena
produk habis terkonsumsi oleh pasar dalam negeri dan hanya sedikit saja
yang perlu dipertukarkan antar negara, maka persaingan di pasar akan
lebih sehat karena hanya produk-produk yang tidak dihasilkan oleh suatu
negara saja yang perlu diimpor. Harga-harga dalam jangka panjang akan
lebih stabil karena tidak ada mark-up
beban bunga, dan negara-negara tidak perlu terus menerus menurunkan
daya beli uangnya hanya untuk bersaing antar negara (currency war).
Negara
yang hanya mengimpor produk yang bener-bener tidak bisa dihasilkan oleh
negerinya akan cenderung surplus neraca perdagangannya. Negara yang
surplus akan bisa terus mengurangi beban hutangnya sampai akhirnya habis
dan bisa menjadi negara tanpa hutang. Negara tanpa hutang akan nyaman
dengan ekonominya sendiri, tidak perlu ngrusuhi negara lain. Dunia akan damai dan penduduknya akan merasakan kemakmuran.
Maka sungguh benar berita nubuwah dari Rasulullah SAW dalam hadits : " Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya tetapi
dia idak mendapatkan seorangpun yang bersedia menerima zakatnya itu.
Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan
padang-padang rumput dan sungai-sungai " (HR. Muslim).
Bahwa
umat ini akan memimpin kemakmuran dunia tersirat dari hadits tersebut
diatas – laki-laki yang pergi kemana-mana sambil membawa harta zakatnya –
siapakah yang sadar zakat ini selain seorang Muslim ?.
Tetapi
sebelum kemakmuran itu bener-bener datang, kita harus memulai hal-hal
yang akan menjadi penyebab datangnya kemakmuran itu – salah satunya
adalah ya berhenti berhutang !.
Rakyat
seperti kita berhenti berhutang kecuali untuk hal yang bener-benar
perlu, perusahaan berhenti berhutang dan menggantinya dengan pembiayaan
PLS bila mereka perlu modal, dan negara-pun berhenti berhutang dalam
membiayai segala kebutuhannya – insyaAllah masih banyak jalan bisa
ditempuh asal ada kemauan politis yang kuat. InsyaAllah !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar