Oleh: Muhaimin Iqbal
Krisis pangan sepanjang 2007-2008 telah melonjakkan indikator harga pangan dunia (FAO Food Price Index) dari kisaran angka 130-an ke angka di atas 200-an hingga kini. Bukan hanya masalah harga, ketika krisis itu terjadi negara-negara produsen mengerem ekspornya sehingga membuat panik negara-negara yang bahan pangannya mengandalkan produk impor. Kepanikan inilah yang kemudian memicu perburuan lahan pertanian secara global atau yang disebut land grabs.
Sementara
itu India dan China memiliki alasan yang berbeda yaitu lahan-lahan
subur yang mereka miliki sangat luas, hanya saja tetap tidak cukup untuk
memberi makan bagi penduduk mereka yang kini masing-masing mencapai
1.21 Milyar untuk India dan 1.35 milyar untuk China.
Yang
juga mendorong mereka melakukan perburuan lahan global tersebut adalah
harga sewa lahan yang luar biasa murah di negara-negara yang menjadi
target land grabs tersebut.
Seorang
Pangeran di Arab Saudi hanya perlu membayar US$ 125,000 (Rp 1.2 Milyar)
per tahun untuk 105,000 hektar lahan pertanian di Sudan Selatan – atau
hanya sekitar Rp 11,500 per hektar per tahun. Yang disewa perusahaan
India di Ethiopia seluas 311,000 hektar juga tidak jauh berbeda,
kisarannya US$ 1.2 sampai US$ 8.0 per hektar per tahun.
Dan
ternyata bukan hanya di Afrika yang harga sewa lahan begitu murahnya,
Di Amerika Latin seperti Peru – harga sewa lahan yang dilakukan
perusahaan Korea Selatan bahkan lebih murah lagi yaitu sekitar US$ 0.80
per hektar per tahun.
Lantas
apakah dengan murahnya sewa lahan di beberapa negara tersebut akan
mendorong para konglomerat Indonesia untuk ikut meramaikan global land grabs tersebut ? Menurut saya tidak perlu.
Pertama
di Indonesia masih cukup banyak lahan-lahan yang seharusnya produktif
tetapi ditelantarkan oleh para pemilik atau penguasanya. Dua gambar yang
saya sajikan pada tulisan ini adalah gambaran puluhan ribu hektar lahan
gersang di depan mata kita. Yang satu di bagian selatan Sukabumi, dan
yang kedua di bagian utara Subang dan Indramayu. Keduanya bisa ditempah
dalam sekitar 4 jam perjalanan darat dari Jakarta.
Selain
masalah harga lahan, produksi pertanian juga mencakup potensi lapangan
kerja massal yang luar biasa. Harga sewa lahan di Ethiopia, Sudan, Peru
dlsb. sangat murah karena pemerintahnya memang mendorong investasi asing
untuk masuk di industri pertanian negerinya – sehingga tercipta
lapangan kerja yang sangat banyak.
Bersamaan
dengan masuknya investor membangun pertanian di tanah yang sebelumnya
ditelantarkan tersebut juga memutar ekonomi setempat melalui pembangunan
infrastuktur, transportasi, perumahan dlsb. Hal yang kurang lebih sama
yang dilakukan oleh para pekebun kita ketika membuka lahan baru di luar
Jawa.
Dalam tulisan saya sebelumnya “Golongan Kanan…” (26/03/2013)
, saya ungkapkan bahwa saat inipun produksi pangan dunia sebenarnya
cukup untuk memberi makan lebih dari dua kali penduduk bumi. Bahwasanya
sekitar 1 milyar orang di dunia masih kelaparan dan index harga pangan
dunia melonjak hampir dua kalinya sepanjang lima tahun terakhir –
masalah utamanya bukan pada tingkat produksi.
Masalahnya
adalah pada tingkat daya beli masyarakat. Oleh karenanya solusi
kelaparan dunia bukan hanya masalah memproduksi bahan pangan yang cukup,
tetapi tidak kalah pentingnya adalah mengangkat daya beli yang cukup.
Sekarang
bayangkan di area yang kini gersang yang saya sajikan dalam dua foto
tersebut di atas. Luasan area yang kami berhasil identifikasi pemiliknya
saja tidak kurang dari 60,000 hektar di dua lokasi tersebut. Bila
digarap secara intensif dengan rata-rata per hektar menyerap dua orang
tenaga kerja saja, sudah 120,000 orang tenaga kerja bisa terserap.
Selain
penyerapan tenaga kerja, aktifitas ekonomi di daerah tersebut pasti
ikut berputar lebih cepat dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti
transportasi, perumahan, dan kebutuhan sehari-hari.
Bahwasanya ada puluhan ribu hektar di depan mata kita yang masih ditelantarkan, sementara negara-negara lain aktif berburu lahan di negeri orang – pasti ada something wrong yang perlu dicarikan pemecahan masalahnya.
Yang
pertama adalah sikap masyarakat yang harus berubah dari fokus pada hak
(milik), menjadi tanggung jawab (untuk memakmurkan). Ini tugas para
ustadz untuk menjelaskan ke masyarakat bahwa lahan-lahan yang mereka
miliki adalah amanah, yang semula hak bisa justru menjadi liability bila mereka tidak memakmurkannya. Liability di dunia karena membayari ongkosnya (pajak, penjagaan dlsb), juga liability di akhirat karena menyia-nyiakan amanah yang mestinya berguna untuk memakmurkan dirinya sendiri dan orang lain.
Yang
kedua adalah dukungan pemerintah dari pusat sampai pemerintah setempat,
bagaimana mereka bisa memfasilitasi agar masyarakat diberi insentif dan
kemudahan untuk memakmurkan lahannya. Bahkan kalau masyarakat setempat
tidak mampu, pemerintahnya harus membantu mendatangkan yang mampu baik
dari sisi teknis maupun finansial.
Pemerintah
setempat punya kepentingan dunia dan akhirat untuk melakukan hal ini.
Di dunia merupakan tanggung jawabnya untuk memutar ekonomi di daerah
yang dipimpinnya, di akhirat tanggung jawabnya pula atas kepemimpinannya
untuk bisa memakmurkan rakyatnya atau sebaliknya – malah menyusahkan
rakyatnya.
Yang
ketiga adalah tugas masyarakat umum seperti kita-kita, kita bisa
melihatnya sebagai tanggung jawab maupun sebagai peluang. Sebagai
tanggung jawab adalah karena kita wajib berbuat bila melihat
kemungkaran. Mentelantarkan lahan adalah bentuk kemungkaran masa kini -
ketika banyak rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan,
ketika pemuda-pemudi kita meninggalkan keluarganya untuk bekerja di
negeri yang jauh dan penuh resiko – kadang kehormatan dan bahkan
nyawa-pun dikorbankan.
Sebagai
peluang bagi kita bisa bersifat peluang dunia maupun akhirat. Di dunia
menjadi lahan bagi kita untuk beramal, memutar ekonomi, menghidupi
keluarga kini dan nanti. Sebagai peluang di akhirat karena kita sambut
penugasanNya – bahwa kita diciptakan dari bumi (tanah) untuk
memakmurkannya (QS Hud : 61).
Lantas apa konkritnya yang bisa kita perbuat ?, tidak mudah memang – sejak saya melontarkan ide Kepemilikan Kebuh Produktif (KKP) sekitar delapan bulan lalu – tidak terhitung jumlahnya pihak yang saya ajak bicara, tidak terhitung pula yang mendukungnya.
Namun
berbagai kendala masih kita hadapi, meskipun tentu saja kita tidak akan
menyerah. Lahan-lahan luas yang sudah mateng negosiasinya adalah
lahan-lahan yang berstatus HGU (Hak Guna Usaha) sehingga tidak mungkin
di KKP-kan – karena di KKP konsepnya adalah kepemilikan (SHM).
Bagi
yang tertarik lahan HGU dengan konsep Syirkah Private Equity (SPE),
bahkan kini Anda sudah bisa mendaftarkan minat partisipasi Anda sesuai
dengan pengumuman kami melalui tulisan tanggal 02/04/13 dengan judul “Pasar Modal Tanpa Batas…”. Bagi yang ingin menunggu KKP-pun tidak masalah, insyaAllah kami akan up-date lagi perkembangannya dalam waktu dekat.
Sebelum tangan-tangan negeri kaya yang minim lahan pertanian meng-grabs lahan-lahan pertanian kita, sebelum negeri-negeri dengan bermilyar penduduk meng-grabs lahan pertanian kita untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka yang sangat besar – mengapa tidak kita-kita sendiri meng-grabs lahan-lahan yang kini masih ditelantarkan oleh pemiliknya ? meng-grabs dengan cara yang hikmah untuk jaman ini – membeli dengan harga yang pantas.
Meng-grabs bukan untuk sekedar menguasai, tetapi lebih penting dari itu adalah untuk memakmurkan – untuk memenuhi panggilan raison d'être, alasan keberadaan kita di muka bumi – sebagi khalifah untuk memakmurkan bumiNya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar