Oleh: Muhaimin Iqbal
Kita mungkin memang lagi hidup di jaman yang serba tidak enak. Harga bahan pangan terus naik, harga bahan bakar terus melambung, ke-aneka ragaman hayati terus berkurang, hujan menimbulkan banjir, kemarau menimbulkan kelangkaan air dan pendek kata masih ada segudang keluhan lainnya. Tetapi ‘alhamdulillah ‘ala kulli haal, mestinya masih tidak kurang banyaknya yang bisa kita syukuri. Bagaimana caranya ?, salah satunya dengan ‘memahami’ apa yang sedang terjadi – contohnya pada harga BBM.
Wacana
kenaikan harga BBM di media hari-hari ini memang banyak menimbulkan
keresahan di masyarakat, penyebabnya utamanya adalah masyarakat pasti
mudah menghitung dampaknya pada biaya hidup yang akan mereka pikul.
Apalagi dalam sejarah kenaikan harga BBM ini pasti juga segera diikuti
kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Keresahan ini makin menjadi-jadi ketika pihak yang berkompeten dalam memutus harga ini – yaitu pemerintah – nampak mbingungi sendiri.
Sempat muncul ide konyol dengan dua harga – sempat menggoda sebagian
rakyat untuk berfikir yang tidak-tidak, sebelum akhirnya kembali ke rute
yang lebih normal – yaitu menaikkan harga tetapi tetap satu harga.
Agar
kita bisa lebih mudah memahami bahwa memang ‘waktu’nya pemerintah
menaikkan harga ini, saya menggunakan perhitungan harga premium sebagai
contoh dengan menggunakan poin. Kalkulator poin ini dapat Anda peroleh
di www.indobarter.vom atau www.unilanx.com.
Logika
poin ini adalah karena harga kambing setara dengan 1 Dinar sejak jaman
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga kini, maka dengan timbangan
yang sama yaitu Dinar atau Emas mestinya harga barang-barang lain juga
dapat dilihat kewajarannya. Tetapi karena satuan Dinar terlalu besar
yaitu lebih dari Rp 2 juta per Dinar saat ini, saya gunakan pecahan
1/10000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar yang saya sebut 1 poin.
Harga
premium terendah yang kita nikmati saat ini yaitu Rp 4,500/liter yang
di tahun 2012 kemarin ini setara hanya dengan 20 poin saja. Kalau toh
pemerintah menaikkan menjadi Rp 6,500/liter tahun 2013 ini, dalam
hitungan poin ini hanya setara dengan 32 poin atau jauh lebih rendah
dari rata-rata harga premium dalam 40 tahun terakhir yang berada di
kisaran 54 poin/liter.
Dari
perhitungan ini kita tahu bahwa kenaikan harga dalam Rupiah adalah
hanya masalah angka, bukan masalah daya beli, angkanya tinggi tetapi
dalam daya beli riilnya rendah.
Bahwasanya
kenaikan harga BBM dalam satuan uang Rupiah selalu menjadi kontroversi
di negeri ini adalah karena perhatian kita selalu pada angka Rupiah-nya
bukan pada daya beli riil-nya.
Maka
apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar setiap penyesuaian
harga BBM (dalam angka Rupiah) tidak berdampak pada kericuhan nasional
adalah fokus pada perbaikan daya beli yang ada di masyarakat. Atau
dengan kata lain juga yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah fokus
pada pengendalian inflasi Rupiah.
Kalau
saja pemerintah bisa mengendalikan nilai Rupiah sejalan dengan nilai
emas (Dinar) dalam 40 tahun terakhir atau lebih, maka dari waktu ke
waktu pemerintah tidak perlu menimbulkan kepanikan di masyarakat dengan
menaikkan harga BBM.
Sebaliknya
pemerintah akan sering menebar kabar gembira ke masyarakat manakala
pemerintah harus menurunkan harga BBM seperti yang tercermin di garis
merah dalam grafik tersebut di atas. Hanya saja karena pemerintah tidak
melakukan yang seperti ini, maka apa salahnya kita menghibur diri dengan
memahami penurunan harga BBM itu dari kacamata Dinar atau poin kita
sendiri !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar