Oleh: Muhaimin Iqbal
Pasti bukan kebetulan kalau negara-negara besar di dunia membiayai belanja negaranya dengan hutang, karena mereka hidup besar pasak dari tiang. Amerika misalnya berhutang sekitar 31 % dari pendapatannya, Jepang 21 %, Inggris 17 %, Canada 12%, Perancis 10%, Italy 8% dan Jerman 2 %. Hanya negara kecil atau yang kaya sumber daya alam yang mengalami surplus dalam anggarannya seperti Kuwait 52 %, Norwegia 25 % dan UAE 16 %. Bagaimana dengan kita ?
Kita
termasuk lumayan besar deficit anggarannya. Tahun 2013 ini dari Rp
1,502 trilyun pendapatan dan Rp 1,726 trilyun belanja, kita deficit 224
trilyun atau sekitar 15%. Tahun 2014 diharapkan membaik, dari Rp 1,663
trilyun pendapatan dan Rp 1,817 trilyun belanja, deficit kita tinggal Rp 154 trilyun atau ‘hanya’ 9 %.
Tentu
angka-angka perkiraan ini masih sangat mungkin meleset pada saat
realisasinya karena sejumlah faktor seperti kenaikan harga minyak dunia,
perubahan nilai tukar Rupiah dlsb.
Yang
menarik adalah negara-negara maju – termasuk kita- yang sulit sekali
meninggalkan gaya hidup besar pasak dari tiang seperti ini, ternyata
punya perilaku yang sama – yaitu ketergantungannya pada pendapatan yang
berupa pajak. Amerika yang defisitnya terbesar tersebut misalnya, 96 %
pendapatannya dari pajak. Sedangkan kita yang defisitnya hanya 9 % - 15
%, tingkat ketergantungan pajak kita memang lebih rendah yaitu hanya 76 %
pendapatan dari pajak (2013), dan menjadi sekitar 79 % pendapatan dari
pajak tahun 2014.
Jadi
bolehkah kita korelasikan bahwa semakin tinggi suatu negeri
mengandalkan pajak sebagai pendapatan, malah semakin deficit mereka ?
kalau sample-nya hanya Amerika dan Indonesia, nampaknya
korelasi tersebut benar adanya. Barangkali perlu diuji lagi untuk
seluruh negara-negara di dunia dan dipelajari korelasi pajak ini dengan
deficit – yang juga berarti hutang, korelasi dengan kemakmuran dlsb.
Apa
dampaknya bila negeri terus berhutang karena kemampuan membiayai
belanjanya semakin tidak tercukupi oleh pendapatan pajaknya ? Sudah bisa
ditebak hasilnya, negeri itu cepat atau lambat pasti akan bangkrut.
Negara adikuasa dunia modern-pun Amerika Serikat dua bulan lalu nyaris
bangkrut ketika pemerintah dan congress-nya bersitegang dengan masalah
anggaran belanja dan pendapatan yang mengandalkan pajak ini.
Sejarah
di masa lalu juga menunjukkan pelajaran yang sama, saya kutipkan dari
tulisan Ustadz Budi Ashari – yang mengambil rujukan dari Ashr al Khilafah Ar Rasyidah-nya Prof . Dr. Akram Dhiya’ tentang kejatuhan Romawi sebagi berikut : “Adapun
keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas
aturannya.Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk
wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup
hutang besar pembiayaan perang dengan Persia.
Emperium
Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya
berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis,
diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya
bangunan-bangunan.”
Ustadz Budi juga melengkapi tulisannya tentang dampak pajak pada ekonomi masyarakat, merujuk analisa Ibnu Khaldun sebagi berikut : “Perlakuan
tidak baik terhadap harta masyarakat, akan melenyapkan harapan mereka
dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka sadar, ujungnya uang
mereka akan hilang dari tangan. Jika ini terjadi, maka mereka akan
cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar
kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari
pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah
keadaan.....kedzaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan
rahasia mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara
pun runtuh dengan cepat”.
Lantas
apakah pajak ini tidak boleh dalam Islam ? ulama-ulama dari perbagai
mazhab memiliki pendapat yang berbeda-beda, namun benang merahnya kurang
lebih adalah boleh tetapi bersyarat.
Syarat itu antara lain adalah bila
dana baitul mal tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara
seperti perang dan kebutuhan lain yang jelas peruntukannya, adil
penerapannya, penggunaannya untuk maslahah umat dan bukan maksiat, dan
ada persetujuan dari orang-orang yang berkompten di bidangnya – diluar
pemerintah – agar ada kontrol terhadap penerapan pajak oleh pemerintah.
Terlepas
dari diperbolehkannya pajak tetapi bersyarat tersebut, pertanyaannya
adalah mungkinkah membangun negeri seperti kita di zaman ini tanpa atau
dengan mengurangi ketergantungan terhadap pajak ? Jawabannya adalah
mungkin.
Saya ambil contoh konkrit scenario biaya kesehatan – yang di Amerika nyaris menjadi trigger kebangkrutan negeri itu dua bulan lalu, yang kemudian di Indonesia juga ada skenarionya yang mirip dengan JKN-nya.
Dalam
scenario JKN, orang-orang yang mampu wajib dipungut iuran untuk menjadi
peserta JKN. Orang-orang yang tidak mampu iurannya dibayar oleh
pemerintah. Lantas dari mana uang pemerintah untuk membayari iuran orang
yang tidak mampu tersebut ? terbesarnya ya dari pajak pastinya – karena
mayoritas pendapatan kita memang masih dari pajak.
Bandingkan ini dengan scenario solusi syariah yang saya sebut TAWAF (Ta’awun dan Wakaf), dengan
pendekatan ini orang yang mampu bertolong menolong satu sama lain
(Ta’awun) sedangkan yang tidak mampu didanai dari hasil kegiatan Wakaf.
Lho apa bedanya bagi rakyat ?, pajak ujungnya juga uang rakyat, sedangkan wakaf juga dari rakyat.
Bedanya
adalah di niat dan pengaruhnya pada keikhlasan masyarakat dalam
mengeluarkan hartanya. Meskipun sedikit, orang bisa tidak rela bila
dipaksa membayar seperti membayar pajak – sehingga banyak yang berusaha
menghindarinya.
Sebaliknya
meskipun sangat banyak, orang tidak keberatan untuk menginfaqkan atau
mewakafkan hartanya untuk kemaslahatan umat secara sukarela tanpa ada
yang perlu memaksanya.
Apalagi orang-orang yang menyadari keberkahan prinsip 1/3 yang saya perkenalkan melalui dua tulisan (27/8/13 dan 22/11/08).
Mereka akan sukarela mengeluarkan sepertiga penghasilannya, demi untuk
memperoleh keberkahan dari penghasilannya. Padahal ketika ditarik kurang
lebih sejumlah yang sama untuk pajak mereka teriak-teriak keberatan.
Konsep
yang sama dengan TAWAF tersebut sangat mungkin diaplikasikan untuk
mengatasi bencana alam, resiko sosial, membiayai perang, membangun
fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, rumah sakit, jalan dlsb.
Walhasil
banyak jalan untuk membiayai berbagai kepentingan umat, dengan cara
yang umat paling ridlo untuk melakukannya. Baik itu memalui dana Ta’awun
dan Wakaf (TAWAF) maupun Infaq, Shadaqah dan Zakat.
Ketika
umat ini ridlo, insyaAllah Allah-pun ridlo dan negeri ini akan lebih
berkah, deficit anggarannya bisa dihindari dan artinya negeri ini juga
akan bebas dari hutang.
Dalam
sejarah Islam, penghapusan pajak ini pernah terjadi di masa Nuruddin Az
Zenky ketika tahun 566 H mengumumkan pencabutan pajak – yang saat itu
di sebagian wilayah sudah terkena pajak 45% - yang kemudian pengumuman
pencabutannya di bacakan di seluruh masjid-masjid. Bunyi pengumuman itu
adalah sbb :
“Kami
rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu,
sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Allah
dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan
dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan
semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap
sunnah (jalan) yang baik...lebih memilih balasan di kemudian hari di
bandingkan kehancuran yang segera.”
Tulisan ini saya buat bukan bermaksud men-discourage orang untuk membayar pajak, tetapi sebaliknya yaitu memberi view lain pada para (calon) penguasa negeri ini– bahwa suatu negeri bisa makmur tanpa pajak dan tanpa hutang.
Kalau
saja ada kontestan pemilu 2014 nanti yang mau memnggunakan strategy
memakmurkan negeri tanpa pajak dan tanpa hutang – saya yakin dia akan
langsung menang karena rakyat akan ridlo dengannya.
Maka
saya menunggu suatu saat nanti, pengumuman seperti pengumumannya Az
Zenky tersebut dibacakan oleh wakil-wakil penguasa negeri ini di
masjid-masjid di sekitar kita. Kemudian ketika khatib-khatib naik
mimbar, mereka rame-rame menyerukan utamanya umat untuk ber-ta’awun,
berinfaq, shadaqah, zakat dan wakaf. Maka sumber ke-(tidak)-makmuran
umat dari pajak akan segera tergantikan oleh sumber-sumber kemakmuran
dari dana-dana TAWAF maupun ZISWAF, InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar