Oleh: Muhaimin Iqbal
Selama Perang Dunia I, hampir seluruh negara Eropa terkuras tenaganya untuk perang sehingga produksi pangan terabaikan. Untuk mengatasi supply pangan impor yang berkurang drastis, Presiden Amerika waktu itu Woodrow Wilson memerintahkan agar seluruh tanah terbuka di negeri itu ditanami dengan tanaman pangan – termasuk yang di kota-kota. Hal yang sama diulangi negeri itu pada masa Perang Dunia II dengan apa yang mereka sebut National Victory Garden Program, yang secara systematis menjadikan tanah-tanah kosong di perkotaan menjadi tanah pertanian.
Langkah Amerika ini bukan yang pertama dilakukan di dunia, di awal abad 19 Jerman sudah menerapkan urban farming dengan apa yang mereka sebut allotment gardens
untuk mengatasi kemiskinan dan kekurangan pangan di kota-kota. Bahkan
konon ribuan tahun sebelumnya peradaban Babylonia telah mengenal taman
gantung yang sangat canggih di pusat kotanya.
Walhasil bertani di pusat perkotaan bukanlah barang baru, FAO-pun sudah memiliki definisinya sebagai : “Suatu
industri yang memproduksi, memproses dan memasarkan pangan dan bahan
bakar, utamanya untuk memenuhi permintaan konsumen di kota kecil maupun
kota besar (metropolis), di tanah-tanah yang menyebar di kota yang
bersangkutan ataupun sekitarnya, dengan menerapkan metoda yang intensif,
menggunakan sumber daya yang ada di kota langsung maupun daur ulang
untuk menghasilkan berbagai tanaman pangan dan peternakan.”
Taman
gantung-nya Babylonia, Allotment Gardens-nya Jerman dan Victory
Garden-nya Amerika, hanyalah bukti bahwa bertani di pusat-pusat kota itu
memungkinkan dan sudah pernah dilakukan dengan berhasil di sepanjang
sejarah peradaban manusia.
Lantas
apa relevannya kita angkat masalah ini sekarang ? Menurut Bappenas
tahun 2010 lalu sudah sekitar 50 % penduduk Indonesia tinggal di
perkotaan. Tahun 2025 (12 tahun dari sekarang !) penduduk yang tinggal
di perkotaan akan mencapai 2/3 dari total penduduk negeri ini. Bahkan
pada peringatan seabad Indonesia tahun 2045 nanti, diperkirakan 85 %
penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan.
Pertanyaannya
yang mendasar adalah lantas dari mana sumber kebutuhan pokok mereka
saat itu – utamanya pangan ? Impor seperti sekarang ? Negara-negara
produsen pangan yang sekarang meng-ekspor ke kita-pun saat itu belum
tentu bisa mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya sendiri.
Mendatangkan pangan dari desa-desa ? Wong
sekarang-pun desa-desa kita tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan
penduduk kota – sehingga harus impor – apalagi saat itu ketika jumlah
penduduk kota secara proporsional terus meningkat ketimbang yang tinggal
di desa.
Maka saat inilah waktunya kita yang hidup di jaman ini untuk mulai menyiapkan atsar –
jejak atau peninggalan yang baik – dari peradaban kita untuk anak cucu
yang akan datang. Meskipun saat ini masalah kebutuhan pokok jaman ini
diurus dengan amburadul –
kita tentu ingin anak-cucu kita kelak hidup dengan lebih baik.
InsyaAllah mereka akan bener-bener bisa hidup lebih baik bila mulai
sekarang kita rintis jalannya ke arah sana.
Salah
satu jalan untuk merintis kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat
perkotaan – yang kemungkinan besar anak cucu kita akan berada di sana
saat itu – adalah dengan merintis apa yang disebut urban farming atau bahasa kitanya saya perkenalkan dengan istilah Tani Kota.
Tani
Kota intinya adalah menggunakan seluruh sumber daya yang ada di kota –
tanah, air dan sinar matahari – untuk secara maksimal memenuhi kebutuhan
dasar penduduknya , pangan (termasuk obat), air bersih dan energi.
Lantas
apa yang secara konkrit bisa dilakukan ? rakyat seperti kita-kita dapat
mulai mengintensifkan halaman atau teras-teras kita dengan
tanaman-tanaman yang memberikan hasil berupa makanan. Kalau mau
mengikuti konsep kebun Al-Qur’an yang bukunya sudah saya sebar luaskan secara gratis, tanaman itu terdiri dari Kurma, Anggur, Zaitun, Delima dan Tin.
Alhamdulillah
semuanya sudah bisa ditanam dan dibibitkan di Indonesia, bahkan 3
(anggur, delima dan tin) dari 5 tanaman tersebut sudah terbukti berbuah
di dalam pot. InsyaAllah dua yang lain (kurma dan zaitun) menyusul.
Artinya adalah kita bisa mulai menjadikan halaman atau teras kita
sebagai lahan untuk memprodukan bahan pangan yang komplit untuk kita
sendiri.
Yang
lebih besarnya tentu adalah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah
bersama masyarakat secara luas. Tanah-tanah terbuka hijau yang selama
ini dipenuhi pohon-pohon yang sekedar hijau, secara bertahap dapat
diganti dengan pohon-pohon yang memberikan hasil pangan dan tentunya
juga tetap menjaga kehijauan.
Selain
keindahan dan udara segar, kebutuhan kita yang lebih mendasar adalah
makanan – mengapa tidak memenuhi semuanya secara sekaligus – yaitu
memenuhi kebutuhan pangan sekaligus menghadirkan kehijauan dan udara
bersih.
Lebih
dari itu, komposisi tanaman yang tepat di antara tanaman-tanaman
Al-Qur’an tersebut juga akan dapat mempertahankan air bersih tersedia
cukup di tanah. Bahkan bila
produksi lebih dari cukup untuk kebutuhan pangan, hasilnya bisa juga
untuk sumber energi. Kurma merupakan sumber yang baik untuk bioethanol sedangkan Zaitun adalah sumber yang baik untuk biodiesel.
Ilmunya
ada – bisa training gratis di Startup Center, sumber daya alamnya ada –
yaitu halaman dan teras-teras rumah kita maupun ruang-ruang terbuka
hijau, maka yang dibutuhkan tinggal satu saja yaitu kemauan kita untuk
mulai membuat perubahan.
Tentu
ini tidak bisa terjadi dalam sekejab, tetapi bila kita mulai berpikir
dan berbuat ke arah sana sekarang – insyaAllah ini akan benar-benar
menjadi atsar, jejak atau tinggalan yang baik dari generasi ini untuk generasi yang akan datang. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar